Selasa, 12 Juli 2011

Tikus-Tikus Politik

Apakah kalian tahu mengapa istilah politikus sekarang lebih banyak diucapkan sebagai politisi? Begini alasannya. Merunut pada bahasa aslinya 'politician', yang kemudian diturunkan ke bahasa Indonesia menjadi 'politikus', kata derivatif ini dianggap menyimpang justru bukan oleh para ahli bahasa melainkan oleh para wakil rakyat di DPR. Resistensi atau penolakan ini jelas masuk akal karena sejatinya para wakil rakyat tidak mau disamakan dengan binatang pengerat (baca: pencuri, maling, klepto) yang merugikan orang lain. Tikus sebagai dua suku kata terakhir dari po-li-ti-kus, sesuai 'common sense' sebagian besar masyarakat dunia, tidak hanya akan merugikan secara rohani tetapi juga jasmani. Buktinya, tidak cukup dengan menggondol harta benda milik orang lain, tikus juga meninggalkan efek samping yang jauh lebih berbahaya yakni penyakit sampar/pes.
Jadi, beralasan kemudian para wakil rakyat menolak istilah ini dan lebih setuju dengan istilah politisi. Lagipula, siapa yang mau menampakkan diri sebagai tikus meskipun mungkin bersifat seperti tikus? Siapa juga yang mau disebut sebagai kawanan tikus (baca: poli = banyak, tikus = tikus) yang beramai-ramai menggerogoti milik orang lain?
Hehe, hanya mencoba mengajak untuk melihat fenomena dari sisi yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Lack of happiness