Selasa, 12 Juli 2011

Memorabilia

Aku lahir dan besar untuk menyaksikan masyarakatku berkembang modern, berumah tembok, dan bermotor Jepang. Sementara para gadis dan ibu-ibunya berlomba-lomba dengan tren fesyen, Revlon dan Elle, serta dagelan Sinetron yang diputar berulang-ulang.
Kampungku tumbuh dalam himpitan modernisasi yang dipaksakan, karena ketika uang menjadi kebutuhan primer, setiap warga merasa bertanggung jawab untuk bisa seperti atau lebih dari tetangganya.
Tengoklah, sebelah rumahku telah lengang dalam lima tahun ini ketika pemiliknya mengadu untung ke Malaysia, atau ke tanah yang dijanjikan, Saudi Arabia. Tua, muda, laki-laki, perempuan berbondong menjadi pahlawan keluarga atas nama uang dan harapan untuk bisa lebih sejahtera.
Maka tengoklah sekarang!
Dalam 10 tahun, kampungku mengalami perombakan besar-besaran, baik dari segi fisik maupun moral.
Rumah-rumah yang semula beranyam bambu beralas tikar kini berganti tembok batu bata yang kokoh, tambah berkilau dengan jendela kaca dan perabotan elektronik di dalamnya. Antena yang mulanya antena "gareng" kini berganti payung-payung parabola yang membuat inak-inak disini bisa mengakses info tentang artis kesukaannya secepat yang bisa diterima gadis-gadis di Jakarta sana.
Topografi telah berubah. Jalan yang sekarang bukan lagi setapak seperti yang biasa kulalui. Jalan yang sekarang telah dipoles aspal, meski harus kuakui proyeknya mungkin dikorupsi, karena setelah tiga bulan mulai muncul rumpang disana-sini.
Dan di kebun sebelah utara lapangan, yang semula rerimbunan perdu tempatku dan kawan mencuri ubi jalar kini berubah menjadi sekolah negeri. Sebuah Madrasah Aliyah berdiri disini, dan aku ada di dalamnya.
Tengoklah bagaimana modernisasi merusak keleluasaan bocah-bocah kecil bermain layangan. Jalan-jalan yang semula lengang kini disesaki lilitan kabel-kabel listrik yang membuatku miris setiap kali menyaksikan mimik kecewa karena tali kekang layangan terhalang tiang-tiang penyangga.
Lihatlah betapa gawatnya jalan di kampungku sekarang. 15 tahun yang lalu masih bisa kuhitung dengan jari pemilik motor jepang disini. Sebut saja Mamik Lah, Mamik Suhir, Mamik Mahlun, dan Mamik Nurdin. Tidak ada yang perlu kami kuatirkan saat bermain di jalan. Sepanjang hari jalan-jalan sepi, dan dengan kebebasan penuh jalan kami kuasai untuk bermain tali karet, kelereng, atau bahkan sepakbola. Setiap anak laki-laki dan perempuan akan tumpah ruah di jalan menjelang senja. Dan ini layaknya karnaval sederhana kami. Coba saja kesini, dan akan kalian temukan berbagai macam permainan tersedia. Aku ingat masa-masa bahagia itu. Satu-satunya yang akan mengusik ketenangan kami adalah lewatnya salah satu motor jepang tersebut atau truk pengangkut kayu. Begitu keduanya lenyap di tikungan, kami akan kembali larut dalam permainan yang seru.
Tapi tengoklah sekarang!
Setiap rumah punya satu motor jepang. Dan kini jalan-jalan tidak bersahabat lagi. Jalan yang sekarang diaspal, ditambah motor yang melaju kencang membuat bocah-bocah penerusku kekurangan tempat bermain. Kulihat semburat kecewa di wajah mereka, ketika hendak bermain bola namun terhalang iring-iringan truk pengangkut bambu.
Dan lihatlah betapa jahatnya jalan ini merenggut nyawa ayam peliharaanku. Ia terlindas tepat di tengah leher, tidak sempat kusembelih karena terlebih dulu meregang nyawa. Tidak terhitung peristiwa yang juga nyaris mencelakakan bocah-bocah yang belum tahu benar arti waspada. Motor-motor jepang melaju sekehendak hati, tentu mengira ini jalan moyangnya.
Orang-orang yang bekerja sebagai TKI di luar negeri adalah pahlawan bagi kami. Aku masih ingat, bagaimana aku bersuka ria saat menerima sebuah kaset tape yang bertuliskan SEARCH. Baru kutahu kemudian bahwa di dalamnya berisi lagu-lagu yang kerap diputar oleh radio FM di kecamatan. Dan aku sangat berbangga hati karenanya.
Tahun 1996 adalah awal dari perombakan besar-besaran di kampungku. Pada tahun itu, diresmikan sebuah madrasah tsanawiyah negeri tepat di selatan lapangan bola. Semenjak itu, perubahan mulai tampak terutama dari para kawan seusiaku seperti Andi, Abeng, atau Caang. Mereka tidak lagi harus menganggur atau buru-buru menjadi TKI ke luar negeri. Aku katakan demikian karena biasanya itu yang terjadi. Di Karang Baru dan Aikmel memang ada sekolah negeri setingkat SMP. Tapi begitulah, masyarakat kami kebanyakan memiliki tiga pertimbangan untuk menyekolahkan anaknya. Pertama, ada dana untuk menyekolahkan. Kedua, lokasi sekolah tersebut dekat dengan tempat tinggal, dan ketiga, sekolah tersebut adalah sekolah agama.
Oleh karenanya, keberadaan MTs Negeri disini layaknya berkah tidak hanya bagi teman-teman bocahku, tapi juga para orang tua kami disini yang menganggap sekolah baru tersebut memenuhi ketiga pertimbangan tadi.
Sejak berdirinya, MTs Negeri yang kemudian dilabeli nama kecamatan kami, Aikmel, telah mendorong terjadinya banyak perubahan. Jalan kampung mulai diaspal, guru-guru baru mulai berdatangan, termasuk para siswa dari kampung sekitar.
Tanpa disadari, kampung ini pun mulai berbenah. Dan perubahannya secara fisik telah kuceritakan.
Lantas bagaimana dengan perubahan perilaku kami?
Baiklah, mari kuberitahu.
Bermula dari masuknya listrik yang membuat kami menggemari Dunia Dalam Berita di TVRI, keberadaan televisi perlahan-lahan membuat kami meninggalkan permainan yang biasanya kami lakukan. Sebut saja, sebuah serial yang kemudian baru kuketahui bernama telenovela berjudul "Hati Yang Mendua" telah membuat kami meninggalkan kebiasaan tidur di musholla, atau bermain petak umpet, memasak ubi, dan tidur terlentang sambil menghitung bintang-bintang.
Televisi tiba-tiba menjadi mainan baru yang sangat berharga, jauh lebih penting ketimbang mengganggu teman-teman perempuan kami yang sedang belajar. Terlebih ketika kami mengenal TPI yang tayangannya tidak melulu berita seperti TVRI. Kebersamaan sepulang sekolah, saat sore, dan di malam hari sontak berkurang. Kami masing-masing lebih banyak berada di depan tv, atau dalam istilah Pihir, temanku, "Layar Kaca Anda."
Begitulah, keberadaan televisi membuat kami lupa waktu. Lupa makan, lupa sholat, dan bahkan beberapa temanku lupa pada pekerjaan sampingannya - mengambil rumput untuk ternak peliharaan mereka. Sering kami diusir oleh tuan rumah, tentu saja dengan petuah bahwa kami harus membantu orang tua. Mendengar itu, maka kami pun akan pergi. Tapi, hanya sebentar saja. Setelah itu kami akan kembali dan menunggu tuan rumah membukakan pintu. Dan kuyakin kalian tahu reaksinya.
Saking gemasnya, atau mungkin sudah tidak ada lagi alasan untuk menyuruh kami pergi, maka kami pun "dimanfaatkan" untuk membantu apa saja pekerjaan sang pemilik. Mulai dari menyapu, mengangkut kayu, sampai menyiapkan hasil-hasil pertanian yang hendak dijual. Dari pekerjaan mendadak ini, aku memberi julukan bagi adik perempuan kakek sebagai Ninik Tuan Langsuna.
Beliau adalah salah seorang pemilik tv pertama di kampung ini. Gelar Tuan di kampungku, diberikan kepada mereka yang sudah naik haji. Dan karena mereka haji, tentu mereka kaya. Dan karena mereka kaya, biasanya mereka memiliki banyak barang atau uang. Demikian pula anggapanku terhadap beliau. Dan seperti para pemilik tv lainnya, oleh beliau kami juga dimanfaatkan untuk membantu mengupas serta mengikat langsuna (bawah putih).
Hidup semasa bocah di kampungku memang sangat menyenangkan. Tapi, bukan berarti sekarang tidak. Disini, kami berkembang dalam lingkungan yang sederhana, terbatas. Namun karena itu, penjelajahan kami terhadap sebegitu banyak hal menjadi kian menggila. Dan setelah 20 tahun keberadaan listrik disini, lingkungan itu telah berubah. Masih kukenal, tapi sepertinya ia terlalu cepat dewasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Lack of happiness