Selasa, 12 Juli 2011

Tentang Gender


Bagian 1
Mengonstruksi, Mendekonstruksi, dan Merekonstruksi Gender

            Kita selalu terkungkung oleh tradisi gender bahkan sejak kita masih kecil. Gender hadir di tengah-tengah percakapan, gurauan, dan sering juga menjadi akar perselisihan. Gender juga dapat menjelaskan semuanya; mulai dari gaya mengemudi hingga ke pilihan makanan. Pengaruh gender tertanam kuat di dalam berbagai institusi, tindakan, keyakinan, dan keinginan kita sehingga seringkali dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Dunia dipenuhi oleh berbagai gagasan mengenai gender. Ide-ide tersebut terlalu umum sifatnya sehingga kerap dianggap benar. Tugas kita sebagai ilmuwan dan peneliti adalah mengungkapkan apa yang seringkali tampak sebagai kebenaran umum; bukan demi pretensi menemukan kebenaran yang ada di baliknya melainkan untuk menjelaskan bagaimana hal tersebut bisa dianggap benar. Karena konsep gender tampak begitu alami dan kepercayaan terhadap konsep tersebut terlalu sering dianggap benar, sangat penting bagi kita untuk menelusuri dan mempelajarinya dengan cara pandang yang sama sekali baru. Kegiatan ini akan sangat mungkin menimbulkan perasaan risih terutama jika bersinggungan dengan keyakinan dasar kita. Hal ini tidaklah mudah dilakukan mengingat gender berada pada posisi sentral (jika dihubungkan dengan pemahaman kita terhadap diri sendiri dan juga terhadap dunia) sehingga sulit untuk memahaminya dari perspektif baru.  Justru, hal terakhir seharusnya memberi bukti bahwa gender cukup menarik untuk dipelajari. Studi tersebut akan sangat berperan dalam mengungkap proses konstruksi dari apa yang selama ini kita anggap alami dan tidak dapat ditawar (mempelajari gender bukan sebagai yang terberi melainkan sebagai suatu pencapaian dan menganggapnya sebagai suatu sebab bukan akibat). Hasil dari pengamatan ceroboh terhadap permasalah ini tidak hanya terlihat pada media populer tetapi juga pada berbagai penelitian ilmiah mengenai bahasa dan gender sendiri. Contoh nyata dapat kita lihat pada seorang ilmuwan gender yang malah semakin memperkuat dan melanggengkan keyakinan gender melalui studinya.

Kelamin dan Gender.
            Gender bukanlah sesuatu yang kita dapatkan semenjak lahir dan bukan juga sesuatu yang kita miliki melainkan sesuatu yang kita lakukan (West dan Zimmerman. 1987), sesuatu yang kita tampilkan (Butler. 1990). Bayangkan seorang anak yang dengan bangga mengikuti ayahnya! Dia membusungkan dadanya ketika berjalan berharap agar bisa menjadi seperti ayahnya; seorang laki-laki sejati. Anggap saja ayahnya tidak membusungkan dada; si anak tetap saja akan menciptakan bayangan yang dikaguminya sendiri misalnya saja seorang model laki-laki. Hal yang sama juga terjadi pada seorang gadis kecil yang memakai sepatu hak tinggi milik ibunya, memoleskan riasan di wajahnya dan lalu berlenggak-lenggok mengitari ruangan. Bayangkan jika kelak mereka sudah dewasa; mereka tidak akan lagi membusung atau pun melenggok sebagaimana saat mereka masih kecil tetapi apa yang mereka lakukan dahulu akan muncul, tentu saja, pada kebiasaan yang akan mereka lakukan ketika dewasa. Bayangkan saja jika si anak perempuan tadi melakukan kebiasaan membusung; orang dewasa tidak akan menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang “manis”. Sama halnya ketika seorang anak laki-laki mencoba untuk berlenggok barang sedikit saja; dia sama sekali tidak akan dianggap “keren”. Dengan kata lain, gender melekat pada dan mempengaruhi penampilan setiap orang sehingga nantinya akan muncul semacam sikap otoriter pada penampilan persona-persona tersebut. Dan saat ini adalah saat dimana seks dan gender menyatu yaitu melalui pandangan masyarakat yang mencoba untuk memadu-padankan cara bertindak dengan kodrat biologis.
            Kelamin merupakan penggolongan biologis yang didasarkan pada sifat reproduksi potensial. Kelamin berlainan dengan gender yang merupakan elaborasi sosial dari sifat biologis. Gender membangun sifat biologis; dari yang tadinya bersifat alami, kemudian melebih-lebihkannya, dan pada akhirnya menempatkannya pada posisi yang sama sekali tidak relevan. Contohnya, sama sekali tidak ada alasan biologis yang dapat menjelaskan mengapa para perempuan harus berlenggok dan para laki-laki harus membusung atau, mengapa perempuan harus memakai kutek di kakinya sedangkan laki-laki tidak. Walau demikian, batas bahwa kelamin bersifat biologis dan gender bersifat sosial terlalu samar. Orang-orang beranggapan jika gender diwariskan melalui praktik pengasuhan anak sehingga hal tersebut bersifat sosial sedangkan kelamin langsung diturunkan secara biologis. Adalah sama sekali sulit untuk mengatakan bahwa kelamin dan gender adalah hal yang sama sekali berbeda mengingat tidak ada kriteria objektif untuk menggolongkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Kelamin adalah kombinasi unsur-unsur anatomis, endokrin, dan kromosom. Seleksi pada kriteria-kriteria tersebut erat hubungannya dengan kepercayaan kultural tentang bagaimana mengatakan seseorang dengan sebutan laki-laki atau perempuan. Hal tersebut adalah awal mula pembedaan biologis antara laki-laki dan perempuan; pemahaman orang mengenai diri mereka sendiri baik sebagai laki-laki atau perempuan amat bersifat sosial. Anne-Fausto Sterling (2000) menggambarkan situasi yang demikian dengan:

Menamai seseorang dengan label laki-laki atau perempuan tak lebih merupakan keputusan yang bersifat sosial. Kita dapat saja menggunakan bantuan pengetahuan ilmiah untuk membuatnya masuk akal namun hanya kepercayaan gender kitalah yang dapat mendefinisikan jenis kelamin kita. Bahkan, sejak awal-mula, kepercayaan gender mempengaruhi pengetahuan yang dicapai oleh para ilmuwan.  

            Biologi menawarkan dua prototipe berlawanan jenis yaitu laki-laki dan perempuan. Di luar hal tersebut, biologi juga memperlihatkan berbagai macam individu yang tidak memenuhi berbagai persyaratan untuk dikategorikan seperti salah satu di antaranya. Blackless (et al. 2000) memperkirakan bahwa sedikitnya ada satu dari seratus bayi yang dilahirkan dengan tubuh berbeda dari standar tubuh bayi laki-laki atau perempuan normal. Bayi tersebut mengalami kelainan kromosom (satu dari seribu bayi laki-laki dilahirkan dengan kromosom X), perbedaan hormonal seperti misalnya insensitivitas terhadap androgen (satu dari tiga belas ribu kelahiran), atu bermacam kelainan organ genital dan reproduksi. Kasus bayi kelamin ganda menunjukkan bahwa ada satu dari enampuluh enam anak perempuan mengalami pertumbuhan klitoris di masa kanak-kanak atau remaja (hal ini sering disebut sebagai onset adrenal hyperplasia tingkat lanjut).
            Ketika bayi-bayi berkelainan dilahirkan, usaha pembedahan atau rekayasa endokrin dapat dilakukan sebagai salah satu jalan untuk lebih memperjelas jenis kelamin mereka; laki-laki atau perempuan. Jalan keluar ini menawarkan syarat yang ketat pada bayi laki-laki atau perempuan bersangkutan; penis yang berukuran kurang dari dua setengah sentimeter ketika memanjang atau klitoris yang memiliki panjang lebih dari satu sentimeter, keduanya bisa dioperasi sehingga dapat dianggap berukuran normal (Dreger. 1998). Seperti apa yang telah diteliti oleh para ilmuwan (e.g. Dreger. 1998), standar yang dipersyaratkan untuk kelamin laki-laki lebih ketat bila dibandingkan dengan perempuan. Operasi yang paling sering dilakukan adalah mengubah penis yang tidak “diinginkan” menjadi klitoris tanpa harus mempertimbangkan unsur seksual lain atau menciptakan vagina tiruan dengan menggunakan jaringan yang diambil dari usus besar. Selama beberapa tahun terakhir, organisasi Intersex Society of North America dianggap menjadi kelompok pelindung paling berpengaruh untuk orang-orang berkelamin ganda.
            Di perkumpulan ini. Kasus bayi hermafrodit atau interseks atau berkelamin ganda sangat kerap terjadi, kadang yang bersangkutan diberi status selain laki-laki atau perempuan. Walau begitu, anggapan aneh tentang adanya jenis kelamin di luar dari dua yang diakui masih juga ada.
            Pertanyaan mengenai; apakah perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan sangat menentukan perbedaan gender, telah lama menjadi topik pembicaraan. Argumentasi yang dijadikan dasar adalah bahwa hal pertama dianggap menentukan hal kedua sejauh kaitannya dengan kemampuan dan watak. Tingkat testosteron yang tinggi misalnya, menjadi alasan mengapa laki-laki menjadi lebih agresif dibanding perempuan. Selain itu, otak kiri yang lebih dominan dianggap telah menjadikan laki-laki lebih “rasional” sedangkan pada perempuan yang dianggap lebih “emosional” otak tersebut lebih sedikit berfungsi. Walau begitu, kesimpulan kesimpulan berkenaan dengan hubungan antara fisiologi dan kebiasaan tersebut tidak selalu benar adanya, bahkan hal itu dapat dikatakan terlalu menyederhanakan genderisasi yang telah ada. Telah dibuktikan bila tingkat hormon, pola aktivitas otak, dan anatomi otak dapat menjadi sebab maupun akibat munculnya aktivitas yang berbeda dari biasanya. Sebagai contoh, suatu percobaan pada monyet rhesus (Rose et.al. 1972) dan ikan (Fox et.al. 1997) menunjukkan adanya perubahan hormon yang yang diakibatkan oleh perubahan status pada level sosial. Dampak yang ditimbulkan aktivitas pembedaan jenis kelamin terhadap otak malahan kerap terjadi pada fase awal, dengan begitu apa yang telah dipaparkan oleh Anne-Fausto Sterling (2000) di dalam penjelasannya dapat dianggap terbukti. Penemuan yang sebenarnya sangat penting di sini adalah bahwa corpus callosum perempuan, jalur yang menghubungkan dua sisi otak mereka, lebih luas dari yang dimiliki laki-laki. Corpus callosum laki-laki lebih lateral, berbeda dengan milik perempuan yang lebih menghubungkan dua belahan otak sehingga mendukung fungsi visual-spasial mereka. Namun demikian, bukti pada manusia yang menunjukkan bahwa aktivitas otak sering terpengaruh oleh perbedaan jenis kelamin masih terlampau sedikit karena sampel seringkali diambil dari populasi yang sakit atau tidak normal. Jadi, generalisasi berdasarkan unsur perbedaan jenis kelamin masih meragukan. Di samping itu, hanya sedikit hal yang bisa diketahui berhubungan dengan fisiologi otak dan dan kemampuan kognisi oleh karena itu perlu diamati lebih lanjut oleh para peneliti. Hasil penelitian yang mendukung perbedaan fisiologis antara laki-laki dan perempuan dapat dicocokkan dengan berbagai stereotip gender bahkan dengan cara yang sama sekali tidak masuk akal. Hasil penelitian dimaksud dikembalikan lagi ke kehidupan sosial, pendidikan, dan berbagai kebijakan sehingga seolah-olah membuat gagasan persamaan gender menjadi mustahil direalisasikan.
            Keinginan para ilmuwan untuk membangun dasar biologis bagi perbedaan gender dan juga keinginan publik untuk mengangkat penemuan ini menunjukkan bahwa kita selalu berusaha keras untuk memaksakan, membuat, dan mempraktikkan kategori dikotomis laki-laki dengan perempuan. Dalam prosesnya, perbedaan atau persamaan yang menghilangkan batas nyata dari dua kategori tersebut atau bahkan potensial untuk memunculkan kategori lain, dianggap tidak ada atau lebih parah lagi; ditutup-tutupi.
            Problem yang mengemuka di sini bukanlah masalah ada atau tidak adanya hubungan perbedaan jenis kelamin dan perbedaan biologis yang berpengaruh pada unsur kognitif. Apa yang menjadi topik bahasan di sini adalah ekses dari penelitian seperti di atas terhadap praktik sosial dan keilmuan. Perbedaan jenis kelamin selalu diposisikan pada tempat yang sentral; sama halnya dengan meragukan tentang adanya bukti hubungan antara perbedaan biologis dengan stereotip behavioristis. Dampak yang terjadi bahkan seringkali muncul pada media-media yang dianggap sebagai patokan oleh sebagian besar orang. Fakta ini jelas menunjukkan bila setiap orang, mulai dari ilmuwan, wartawan, sampai pembaca, sangat berselera ketika berhadapan dengan berita tentang permasalahan gender; lebih lagi yang bombastis. Kesimpulannya, gender adalah pusat kehidupan sosial. Bukti biologis yang terserap oleh masyarakat, selanjutnya, akan menjadi semacam penjelasan atau alasan pembenaran bagi apa yang mereka duga sebelumnya.
            Dengan cara apapun orang mengaitkan gender dengan fakta biologis, tetap saja konsep ini tidak begitu saja muncul dari dalam tubuh manusia. Kromosom, hormon, organ genital, dan prasangka tentang “jenis kelamin kedua” tak dapat semerta-merta menentukan pekerjaan, cara berjalan, atau pilihan warna seseorang. Dan di saat pola kebotakan pada laki-laki menghindarkan mereka dari berbagai jenis riasan rambut dan begitu banyaknya olok-olok dilontarkan pada laki-laki pesolek tetap saja tidak ada satupun premis biologis dapat melarang perempuan untuk mencukur gundul rambut mereka. Gender merupakan dampak proses dikotomis yang dibuahkan dari peniadaan persamaan dan penekanan berlebih terhadap perbedaan. Jika benar-benar ada perbedaan biologis, kemunculannya ke permukaan terlampau sering dilebih-lebihkan demi melayani kebutuhan akan konstruksi gender. Perbedaan selalu berbobot seimbang dengan persamaan, tak ada alasan untuk menempatkan manusia dengan pola dikotomis karena laki-laki dan perempuan pada hakikatnya adalah sama.
            Perhatikan saja suara-suara kita! Biasanya, bidang suara laki-laki lebih panjang dari suara perempuan sehingga menghasilkan suara yang lebih rendah. Namun demikian, nada suara seseorang ketika berbicara di tengah-tengah masyarakatnya tidak selalu seiring dengan ukuran bidang suara. Pada umur empat sampai lima tahun contohnya, jauh sebelum pubertas mengubah bdang suara laki-laki dan perempuan, anak laki-laki selalu dengan sadar atau tidak sadar menurunkan suara mereka; hal serupa terjadi juga pada anak perempuan yang meninggikan suara mereka. Akhirnya, orang lain akan selalu dapat membedakan seorang anak laki-laki dengan perempuan hanya berdasar pada tinggi rendah suara mereka dan bukan pada panjang pendek bidang suara yang dimiliki.
            Entitas fisik adalah hal lain yang sering dimunculkan dan dilebih-lebihkan untuk memproduksi konsep gender. Kira-kira separuh perempuan dan laki-laki di AS (Kuczmarski et.al. 2000) bertinggi enampuluh empat hingga tujuh puluh inci. Dengan kenyataan ini, dapat diambil sampel secara acak yang menunjukkan bila perempuan tumbuh lebih tinggi dibanding dengan laki-laki. Dalam kenyataannya, pasangan heteroseks lebih sering menganggap tinggi badan sebagai unsur penting dalam memilih jodoh sehingga peluang untuk menemukan perbedaan pilihan pada mereka sangatlah sulit. Walau tak satupun hasil penelitian biologis menunjukkan bahwa perempuan harus lebih pendek dibanding dengan pasangannya, banyak sekali pasangan yang menganggap tinggi badan sebagai problem serius; kasus ini lebih sering terjadi dibanding dengan model pola seleksi tinggi badan lainnya (Goffman. 1976). Bukti bahkan tidak hanya memperlihatkan bahwa seorang perempuan berharap pasangannya lebih tinggi tetapi juga melihatnya lebih tinggi dibanding dirinya. Salah satu contoh telah dibahas dalam penelitian Biernat, Manis, dan Nielson (dikutip dari Valian. 1998) yang menghadapkan beberapa mahasiswa dengan foto-foto berisi item-item lain seperti pintu atau meja sehingga memungkinkan si mahasiswa untuk membandingkan tinggi badan orang-orang di dalamnya. Walau foto laki-laki yang dipadankan dengan foto perempuan bertinggi badan sama (atau juga sebaliknya) masih saja si mahasiswa menilai bahwa si laki-laki lebih tinggi dibanding dengan si perempuan. Para responden tersebut menganggap jika laki-laki selalu lebih tinggi dan perempuan selalu lebih pendek dari sebenarnya.
            Buku ini akan memfokuskan diri pada permasalahan gender sebagai semacam konstruksi sosial karena hal tersebut merupakan salah satu contoh yang menunjukkan bila masyarakat selalu menggayutkan aturan-aturan gender pada berbagai diferensiasi yang ada. Bila biologi telah memperlihatkan kaitan antara unsur fisiologi dengan kenyataan gender yang terjadi, studi yang akan dibahas di sini akan mengkhususkan diri pada masalah sosial sepenuhnya. Para pembaca akan menyusuri buku ini untuk melacak asal-muasal dan signifikansi gender pada keyakinan mereka selama ini. Para pembaca mungkin memiliki kompetensi tertentu mengenai gender dalam kaitannya dengan ilmu medis atau biologi. Mereka dapat pula menganut keyakinan gender tertentu. Prasangka sosial terhadap jenis kelamin tertentu tidaklah cocok dengan fakta biologis dan agama; perbedaan muncul saat yang pertama hilang dan menjadi bakal bagi yang kedua. Kita akan mulai bertanya kepada para pembaca, apakah mereka betul-betul telah siap menghadapi bukti-bukti dan alasan yang dikemukakan? Pandangan kita mengenai gender telah berkembang dan berubah seiring berjalannya waktu dan tentu saja hal itu juga akan terkena imbas dari apa yang akan kita eksplorasi melalui berbagai penelitian dan penerapan langsung di dalam kehidupan. Kita akan menelaah pelbagai problem gender melalui cara pandang feminis yang luas. Bila pemahaman kita atas dasar tersebut dapat dipertanggungjawabkan, tak pelak kemampuan dasar, hak dan kewajiban perempuan serta laki-laki tak perlu laki dikontrakan satusama lain. Dengan cara yang sama, dari perspektif tersebut juga dapat disimpulkan bila perlakuan masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan, pengalaman serta harapan mereka untuk diri mereka sendiri dan untuk orang lain, betul-betul tidak seperti apa yang telah diasumsikan sebelumnya. Di dalam buku ini akan dibeberkan berbagai fakta bahwa apa yang selama ini terjadi pada perempuan dan laki-laki adalah semata didasarkan pada kepercayaan masyarakat mengenai dikotomi jenis kelamin, penafsiran dari apa yang tersirat, dan kepercayaan tanpa dasar terhadapnya demi memenuhi keinginan untuk melakukan pembenaran atas bermacam perlakuan yang dikenakan pada laki-laki dan perempuan.

Belajar Untuk Di-gender-kan
Permulaan yang dikotomis. Anakku laki-laki! Anakku perempuan!
            Di dalam istilah Simone de Beavuoir, “Perempuan tidak dilahirkan, mereka dibuat.” Sama dengan apa yang terjadi pada laki-laki. Terciptanya seorang laki-laki atau seorang perempuan merupakan semacam proses tanpa henti yang dimulai sebelum terjadinya kelahiran; dimulai dari ketika orang membayangkan apakah bayi yang dikandung berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Ritual yang berjalan pun tak lebih merupakan perjalanan dari seorang yang tak memiliki jenis kelamin (bahasa Inggris: it) sampai menjadi laki-laki (he) atau perempuan (she) (Butler. 1993), sebagai status seumur hidup baginya untuk menjadi laki-laki atau perempuan. Pelabelan semacam ini dibuat menjadi umum adanya dan bahkan bertahan melalui salah satu aktivitas kebahasaan yaitu pemberian nama. Menamakan bayi dengan nama Mary salah satu cara termudah bagi para penutur bahasa Inggris untuk menandai jenis kelamin perempuan. Di dalam masyarakat penutur bahasa Inggris, tidak semua nama berkaitan secara eksklusif dengan jenis kelamin tertentu (eg. Chris, Kim, Pat), bahkan kadangkala terjadi juga perubahan klasifikasi gender karena nama. Salah satu contoh, di Inggris dulu, nama Evelyn dikenal sebagai nama yang diperuntukkan bagi laki-laki sebelum akhirnya di Amerika dijadikan nama perempuan. Sebelumnya, nama Whitney merupakan nama yang secara eksklusif digunakan pada laki-laki di Amerika, sekarang nama itu dipakai untuk menamai seorang anak perempuan. Pada tempat dan masa tertentu, negara atau institusi keagamaan bahkan melarang pemberian nama yang mengakibatkan kerancuan pada pengenalan jenis kelamin. Finlandia contohnya, membuat serangkaian daftar nama dari laki-laki atau perempuan yang harus dikonsultasikan terlebih dahulu sebelum dinyatakan sah dan resmi. Kesimpulannya, penempatan dikotomis perempuan dan laki-laki yang selama ini kita bangun dimulai sejak proses kelahiran terjadi. Aktivitas kebahasaan semacam ini seolah-olah mengatur bagaimana cara dia untuk menjadi laki-laki atau perempuan, dan juga mengajar bagaimana cara dia memandang orang lain sebagai perempuan atau laki-laki. Sama sekali tak ada cara lain yang dianggap pantas untuk berpikir tentang diri sendiri atau orang lain; dan akhirnya kita akan memolakan setiap hal yang ada pada kita sehingga menjadi suatu fungsi bagi dikotomi di atas. Pada awalnya, orang dewasa akan menerapkan praktik gender pada anak-anak; memperlakukan mereka sebagai laki-laki atau perempuan, dan menafsirkan segala yang dilakukan oleh anak itu sebagai kelaki-lakian atau keperempuan-perempuanan. Akhirnya, setelah berlangsung selama bertahun-tahun, si anak akan mengambil alih apa yang dahulu dilakukan oleh orang dewasa tadi dan mempraktikkannya pada orang lain juga. Hal pertama yang dilakukan orang terhadap bayi adalah mengetahui jenis kelaminnya dan konvensi masyarakat mengajarkan bila hal ini tidak perlu lagi dipertanyakan. Sampai saat ini pun, seiring dengan pertumbuhan si anak, hal itu masih tetap berlangsung. Saat kelahiran terjadi, rumah sakit bersalin kerap menyediakan topi wol untuk bayi-bayi yang baru dilahirkan; topi berwarna merah muda untuk bayi perempuan dan topi berwarna biru untuk bayi laki-laki. Cara lain yang sering dilakukan adalah memberi tanda khusus bagi bayi sesuai jenis kelaminnya. Walau tanda berupa warna tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan kualitas perawatan yang diberikan pada bayi-bayi bersangkutan, hal ini biasa terjadi di masyarakat. Cobalah anda pergi membeli bingkisan untuk bayi yang baru lahir ke salah satu toko kelengkapan bayi di AS, anda akan segera ditanya; “Laki-laki atau perempuan?” Bila jawaban yang anda berikan adalah; “Saya tidak tahu.” atau lebih parah lagi; “Saya tidak peduli.” Si penjaga toko tentu akan sangat kesulitan. Membeli pakaian overall untuk bayi perempuan tidak akan jadi masalah (walau mungkin sebenarnya akan lebih baik jika berwarna merah muda  atau berornamen bunga-bungaan sebagai tanda sifat feminin) tapi kebebasan gender toh hanya sampai sejauh itu. Akan sangat mustahil bagi anda membeli overall berornamen kendaraan untuk seorang bayi perempuan, atau mungkin membeli gaun dengan lengan beraksen atau overall bergambar bunga-bungaan untuk seorang bayi laki-laki. Saat sedang membeli pakaian bagi seorang bayi yang tidak anda ketahui jenis kelaminnya, pramuniaga toko akan memberi saran untuk membeli sesuatu yang netral (polos) dan berwarna kuning, hijau, atau putih. Posisi warna sangatlah integral di dalam cara berpikir kita mengenai gender. Pelabelan yang bersifat gender berpengaruh banyak pada cara pandang kita terhadap warna-warna tertentu sampai-sampai orang percaya bahwa merah muda merupakan warna yang lebih “lembut” dengan biru. Contoh di atas adalah proses naturalisasi untuk membentuk tanda yang sifatnya arbitrer. Di Amerika pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, Anne-Fausto Sterling (2000) mencatat bahwa warna lebih condong ke anak perempuan sedangkan merah muda lebih diperuntukkan bagi anak laki-laki.  
            Bila konsep gender benar-benar diturunkan langsung dari jenis kelamin berarti kita dapat membiarkan seorang bayi untuk tumbuh menjadi perempuan atau laki-laki dengan sendirinya. Tetapi nyatanya, sifat deterministik jenis kelamin inilah yang mengatur proses penggenderan hingga dapat menjadikannya sedemikian rupa secara bertahap. Dimulai saat seorang anak dilahirkan, hingga saat anak tersebut belajar untuk menjadi laki-laki atau perempuan. Nama dan pakaian hanyalah dua contoh aktivitas simbolisasi yang digunakan untuk melegitimasi konsep gender agar selalu konsisten. Dari fakta-fakta tersebut dapat disimpulkan bila atribut seksual (organ-organ seksual dsb) lebih dari sekedar karakteristik yang ada pada tubuh. Menjadi seorang laki-laki atau perempuan bukanlah suatu keadaan yang stabil sifatnya melainkan sebuah proses yang berjalan terus-menerus; semacam jalan yang ditempuh oleh orang yang bersangkutan, sebuah pilihan yang bermula dari penggolongan-penggolongan masyarakat berkaitan dengan orang tersebut. Seorang anak yang baru dilahirkan selalu menempati posisi sebagai objek penggenderan oleh orang lain di sekelilingnya melalui bermacam cara. Cara tersebut tidak hanya dilakukan oleh si orang bersangkutan sebagai individu namun juga sebagai bagian dari komunitas sosial terstruktur yang menghubungkan individu-individu dengan institusi-institusi sosial dan berbagai ideologi kultural. Sangatlah mungkin untuk mengatakan bahwa gender, pada fase awal kehidupan ini, dibentuk melalui kolaborasi. Seseorang haruslah memilih dan bersikap sebagai laki-laki atau perempuan dan bahwa pilihan dan sikapnya itu memerlukan legitimasi dari lingkungannya.
            Kita tak akan pernah bisa berinteraksi dan berbicara dengan dan tentang manusia lain (atau mungkin juga spesies lain), serta menilai mereka tanpa memakaikan atribut gender terlebih dahulu. Gender terlampau tertanam kuat di dalam praktik sosial kita selain juga di dalam pemahaman kita terhadap diri kita sendiri dan terhadap orang lain sampai-sampai, gender diperlukan saat kita sedang berhadapan dengan orang lain. Walau hanya sedikit dari kita yang acuh akan penerapan praktik ini di dalam kehidupan sehari-hari, jelas sekali terlihat jika kita sendiri telah memasukkan performa gender kita dan atribusi gender kita terhadap orang lain di dalam sebagian besar interaksi yang kita jalani.
            Dari sejak masa kanak-kanak, anak laki-laki dan perempuan telah ditafsirkan dengan cara yang berbeda. Eksperimen telah menunjukkan bila perspektif orang dewasa terhadap bayi sangat dipengaruhi oleh keyakinan mereka terhadap jenis kelamin bayi dimaksud. Condry dan Condry (1976) menemukan bukti bahwa seorang dewasa yang melihat film tentang seorang bayi merasa bahwa si bayi sedang menangis karena marah. Hal ini terjadi ketika si orang dewasa yakin bila si bayi berjenis kelamin laki-laki. Hal berlainan akan terjadi ketika si orang dewasa yakin jika si bayi berjenis kelamin perempuan; mereka berpendapat bahwa tangisan si bayi adalah karena merasa ketakutan. Melalui eksperimen yang hampir mirip terbukti bahwa orang dewasa beranggapan jika seorang bayi yang berumur duapuluh empat jam nantinya akan berbadan besar. Asumsi ini muncul jika si orang dewasa yakin si bayi berjenis kelamin laki-laki. Sebaliknya, orang dewasa akan beranggapan bahwa si bayi akan berbadan lebih kecil; itu bila mereka yakin bahwa si bayi berjenis kelamin perempuan (Rubin, Provenzano, dan Luria. 1974). Penilaian semacam ini masuk ke dalam praktik-praktik interaksi orang dewasa ketika berhadapan dengan bayi maupun anak kecil. Orang akan memperlakukan bayi lebih lembut ketika tahu bahwa si bayi berjenis kelamin perempuan sebaliknya mereka akan sedikit lebih longgar ketika tahu bahwa si bayi berjenis kelamin laki-laki.
            Orang dewasa pun berbicara kepada mereka dengan cara yang berbeda. Orang tua akan lebih banyak menggunakan istilah diminutif ketika berbicara pada anak perempuan (bahasa Inggris: kitty, doggie) dibanding ketika berbicara pada seorang anak laki-laki (Gleason et.al. 1994). Orang tua juga akan lebih kerap menggunakan istilah yang lebih “ke dalam hati” (senang, sedih) ketika berbicara dengan seorang anak perempuan (Ely et.al. 1995). Mereka akan lebih sering menggunakan larangan langsung (don’t do that!) terhadap anak laki-laki dan larangan empatik (no!no!no!) ketika menghadapi seorang anak perempuan (Bellinger dan Gleason. 1982). Alasan yang mendasari perlakuan mereka (larangan), mungkin hanya sebatas anggapan bahwa anak laki-laki lebih condong untuk berbuat nakal dibanding dengan anak perempuan. Namun, Bellinger dan Gleason membuktikan bila perlakuan ini sama sekali tidak bergantung pada apa yang dilakukan oleh si anak melainkan lebih condong pada kepercayaan tentang perbedaan jenis kelamin yang dianut oleh si orang dewasa.
            Melalui diferensiasi perlakuan, anak laki-laki dan perempuan akan belajar untuk menjadi berbeda. Fakta sebenarnya, bayi laki-laki dan perempuan menangis dalam intensitas yang sama (Maccoby dan Jacklin. 1974). Tetapi seiring dengan munculnya kedewasaan, anak laki-laki akan menjadi lebih jarang menangis dibandingkan dengan perempuan. Ada beberapa temuan menunjukkan jika diferensiasi perlakuan orang dewasa sangat potensial menjadi pemicu adanya perbedaan gender dini pada anak-anak. Perbedaan kualitatif pada kebiasaan juga tidak jauh beda. Sebuah penelitian terhadap pengasuhan anak berusia tiga belas bulan (Fagot et.al 1985) membuktikan bahwa si pengasuh akan merespons ketika anak-anak perempuan berbicara, berceloteh atau bergerak-gerak. Lain halnya dengan anak laki-laki yang akan lebih ditanggapi oleh para pengasuh ketika mereka merengek, berteriak, atau bila meminta diperhatikan. Sembilan sampai sebelas bulan kemudian, anak-anak perempuan di atas akan lebih sering berbicara sedangkan anak laki-lakinya akan lebih kerap merengek, berteriak, atau meminta perhatian dibanding dengan anak-anak perempuan. Perilaku keseharian anak-anak tersebut, yang terlihat memiliki perbedaan, merupakan produk langsung dari diferensiasi perlakuan yang dipraktikkan oleh orang dewasa yang acap terbukti menimbulkan dampak mirip. Anak-anak tersebut belajar untuk mempraktikkan konsep gender pada diri mereka sendiri; tentu saja masih tetap dengan maksud untuk menghasilkan perilaku-perilaku yang terdiferensiasi oleh jenis kelamin mereka dan tanpa bertujuan mendikotomikan pola keajegan yang mereka miliki itu.
            Unsur suara, seperti yang sudah kita bahas sebelumnya, menunjukkan bukti kuat akan adanya konsep gender yang dipraktikkan oleh anak-anak. Pada usia empat atau lima tahun, tanpa mempertimbangkan piranti berbicara mereka, anak laki-laki dan perempuan belajar untuk membedakan nada suara yang dihasilkan. Anak laki-laki selalu mencoba untuk membulatkan dan memonyongkan bibir serta memanjangkan bidang suara mereka sedangkan anak perempuan selalu berusaha membentangkan bibir (dengan senyuman contohnya) dan memendekkan bidang suara mereka. Anak perempuan selalu menaikkan nada suara mereka sedangkan anak laki-laki selalu merendahkannya. Orang dewasa akan lebih menyukai anak perempuan yang berbicara dengan nada tinggi. Penghargaan secara terselubung terhadap diferensiasi suara sangat mungkin terjadi. Anak-anak selalu memperhatikan perbedaan suara yang ada pada orang dewasa atau mungkin juga; permainan-permainan tertentu (drama misalnya) mengharuskan mereka untuk membedakan suara karena peran-peran tertentu. Elaine Andersen (1990. Hal: 24—25) membuktikan jika anak-anak akan cenderung meninggikan nada bicara mereka ketika menggunakan boneka bayi dalam bermain peran. Beberapa anak berbicara dengan nada suara yang diinginkan oleh lawan jenisnya dan begitupun sebaliknya, sebagaimana yang terjadi pada proses gender lain walaupun sama sekali tidak ada dikotomisasi sempurna yang mampu mengklasifikasikan tinggi rendah nada suara (pada orang dewasa, beberapa jenis suara tak masuk golongan manapun). Jadi, kenyataan menunjukkan bahwa terjadi produksi nada berbeda melalui organ yang sama.
            Polemik tentang luasnya dampak lanjutan dari perlakuan orang dewasa yang berbeda terhadap anak-anak telah sering dibahas oleh para ahli. Sebabnya tak lain karena adanya bukti yang menunjukkan jika unsur persamaan pada keduanya sebenarnya lebih banyak dibandingkan dengan perbedaannya. Penelitian pada masa awal perkembangan gender (sebenarnya penelitian ini, secara umum, berkutat pada masalah perbedaan gender) banyak dilakukan oleh psikolog. Hasilnya, penelitian tersebut di atas lebih banyak berbicara tentang perilaku (dalam skup yang terbatas) yang diamati di laboratorium, tempat tinggal, atau masa prasekolah. Karena penelitian ini lebih berkecimpung pada lahan yang terbatas dan bukannya pada situasi normal dan berbagai pola interaksi, perhitungan kumulatif yang dilakukan sangat mungkin meleset dan melupakan hal-hal detil. Perbedaan kecil yang tersebar di sana-sini sangat cukup bagi anak-anak untuk menjadi laki-laki atau perempuan di tengah-tengah masyarakat.
            Siginifikansi perbedaan-perbedaan di atas dapat juga diteliti dari sudut pandang lain. Literatur psikologi sering menempatkan anak-anak lebih sebagai objek daripada subjek. Anak-anak yang sedang dalam proses belajar itu akan memperlakukan orang tua, orang dewasa lain, dan kawan sebaya mereka sebagai agen sosialisasi primer. Hanya baru-baru ini, para ahli mulai mencoba untuk mengeksplorasi strategi khas anak-anak terhadap dunia yang mereka hadapi. Eleanor Maccoby (2002) telah membuktikan jika anak-anak memiliki pengetahuan cukup luas mengenai konsep gender mereka (apakah sebagai laki-laki atau perempuan) sejak saat berusia tiga tahun. Tidak jelas terlihat seberapa besar intensitas yang diperlukan oleh anak-anak tersebut untuk belajar tentang konsep gender mereka. Apa yang paling utama berpengaruh pada mereka adalah gagasan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda dan gagasan tersebut ada di mana-mana.
            Jelas terbukti jika anak-anak adalah aktor utama dalam perkembangan mereka sendiri. Dari saat mereka menganggap diri sebagai makhluk sosial, mulailah pandangan mengenai bagaimana untuk “tumbuh dewasa”. Pada beberapa sisi, mereka mungkin mengalami perkembangan gender seperti yang sedang kita bicarakan di sini tetapi mereka akan menganggapnya bukan sebagai sesuatu yang gender melainkan lebih kepada cara untuk “tumbuh dewasa”. Tabu paling memalukan adalah tetap menjadi “bayi” namun hal yang paling penting malah tergenderkan. Proses menjadi dewasa dan meninggalkan kehidupan bayi bermakna lebih banyak pada anak laki-laki dibanding pada anak perempuan. Dan fakta bahwa pertumbuhan begitu banyak melibatkan diferensiasi gender tersurat pada kata-kata yang dipakai saat perkembangan diamati; anak-anak tidak berlaku sebagai orang baik atau orang jahat tetapi sebagai “anak laki-laki yang baik” (good boys) atau “anak perempuan yang baik” (good girls) yang kemudian tumbuh menjadi “anak laki-laki besar” (big boys) dan “anak perempuan besar” (big girls). Dengan kata lain, mereka tidak mengenal pilihan untuk menjadi “orang” tetapi hanya menjadi laki-laki atau perempuan. Hal ini bukan berarti mereka paham akan apa yang mereka lakukan dengan istilah-istilah gender tersebut. Sangatlah mungkin ketika anak laki-laki atau perempuan mengubah frekuensi suara, mereka tidak mencoba untuk seperti “anak laki-laki” atau “anak perempuan” namun lebih pada bagaimana menyerap sifat-sifat yang telah tergenderkan; sebagai semacam kekuatan atau agar “keren” saja. Tentu saja, apa yang diinginkan oleh anak-anak tersebut tidak membutuhkan alasan karena sekedar sebagai semacam “keinginan” atau “hasrat” ; proyeksi diri pada bentuk-bentuk partisipasi tertentu yang berperan di dunia masyarakat. “Keinginan” atau “hasrat” merupakan kekuatan hebat dalam proyeksi diri pada apa yang diinginkan di masa datang; pembentukan diri secara kontinyu untuk tumbuh dewasa.
            Pada usia sekitar dua tahun, anak laki-laki dan perempuan menunjukkan perilaku bermain yang tak jauh beda. Setelah melalui fase tersebut, mulai muncul adanya pemisahan kelompok bermain, pemilihan alat permainan, dan aktivitas bermain yang berbeda. Pada fase ini, anak-anak mulai berusaha untuk mengamati pola permainan satu sama lain dan menerapkan ketidaksetujuan pada permainan yang tidak dianggap sesuai secara gender. Sering ditemukan jika anak laki-laki tampak lebih menderita dibandingkan dengan anak perempuan; banyak yang menghubungkan hal ini dengan sistem hormon dan evolusi (lihat Maccoby 2000 untuk melihat secara singkat berbagai pendapat tentang masalah ini). Tetapi, sekuat apapun pengaruh biologis tetap saja pemisahan yang terjadi dikarenakan pengaruh sistem sosial. Seiring dengan pertumbuhannya, kebiasaan bermain anak-anak diawasi dan didiferensiasi oleh pertama; orang dewasa, dan selanjutnya oleh; kawan-kawan sebaya. Acap terlihat bila orang tua akan lebih senang ketika melihat anak-anaknya memilih mainan yang cocok dengan gender mereka (mobil untuk anak laki-laki, boneka untuk anak perempuan) (Langlois dan Downs. 1980). Walaupun dorongan orang tua terhadap perilaku tergender anak-anak tidaklah selalu terjadi dan tidak selalu didasari sebagai usaha sosialisasi gender, kekuatan perilaku anak-anak masih menjadi pemicu terkuat. Atau mungkin bila si orang tua adalah penganut persamaan gender dan mengaku tak pernah memaksa anak-anak mereka untuk berada di posisi yang tergenderkan, tetap saja mereka melakukan hal yang sama dilakukan oleh orang tua lain.

Belajar Berbeda.
            Walaupun perkembangan gender dipacu oleh masyarakat, pada praktiknya, tak semua partisipan di dalamnya berperan sama. Riset pada satu masyarakat gender menunjukkan bila laki-laki; baik anak-anak atau dewasa, lebih berperan dalam penerapan perbedaan gender jika dibandingkan dengan perempuan. Contohnya dapat kita lihat seperti penelitian yang dilakukan oleh Rubin et.al di atas; ayah bersikap lebih dibandingkan dengan ibu terutama pada hal yang berkaitan dengan standar yang dibutuhkan ketika berhadapan dengan anak-anak. laki-laki, dibandingkan dengan perempuan, bersikap keras pada anak laki-laki dan bersikap lebih lembut pada anak-anak perempuan. Seorang ayah, bila dibandingkan dengan ibu, kerap menggunakan bahasa yang berbeda ketika berbicara pada anak laki-laki dan perempuan. Dan terakhir, laki-laki lebih sering meminta pada anak-anak untuk memilih mainan yang sesuai dengan jenis kelamin mereka. Saat ini, banyak buku yang dijual dimaksudkan agar para laki-laki dapat lebih menjadi orang tua bagi anak-anak mereka. Walau begitu, pesan yang disampaikan masih tetap sama yaitu bahwa menjadi orang tua bagi anak laki-laki berbeda adanya dibanding menjadi orang tua bagi anak perempuan. Jelas sekali terlihat pada sebuah toko buku bahwa “Bagaimana Menjadi Ayah Bagi Putri Anda: 365 Cara Untuk Memperlihatkan Padanya Bahwa Anda Peduli” oleh Dan Bolin (1993) berada tepat di samping “Bagaimana Menjadi Ayah Bagi Pria Kecil Anda: 365 Hal Untuk Dilakukan Bersama Putra Anda” oleh Dan Bolin dan Ken Sutterfield (1993).
            Bukan cuma laki-laki yang lebih sering menjadi subjek penerapan gender dibanding dengan perempuan. Laki-laki juga lebih kerap menjadi objek penerapan gender. Orang dewasa lebih menginginkan anak laki-laki memilih mainan yang sesuai dengan jenis kelaminnya dan seorang ayah lebih berkenan pilihan itu dilakukan oleh putra mereka. Anak laki-laki, berkebalikan dengan anak perempuan, lebih ketat dalam memilih mainan dan mereka pun bersikap lebih keras terhadap anak laki-laki lain yang memilih mainan yang tidak sesuai dengan aturan gender yang harus mereka ikuti jika dibandingkan dengan perlakuan mereka terhadap anak perempuan. Sebuah penelitian pada anak usia tiga sampai lima tahun (Langlois dan Downs. 1980) menunjukkan; bila anak perempuan mencoba untuk bersikap netral terhadap pilihan anak perempuan lain, anak laki-laki lebih menunjukkan sikap positif ketika tahu anak laki-laki lain memilih mainan yang sesuai dengan jenis kelaminnya dan menunjukkan sikap negatif ketika melihat kawan laki-laki sebaya mereka bermain dengan mainan perempuan. Kesimpulan yang dapat diambil adalah; jika kegiatan dan perilaku milik laki-laki dianggap tidak bermasalah ketika dilakukan oleh perempuan sebagaimana jika dilakukan oleh laki-laki, hal yang sama pada perempuan dianggap pantas dilakukan oleh perempuan saja. Salah satu cara untuk melihat dan memahami hal ini adalah bahwa kegiatan dan perilaku perempuan cenderung untuk “diberi cap” atau hanya diperuntukkan pada populasi tertentu sedangkan pada laki-laki, kegiatan dan perilakunya lebih dikatakan “tidak diberi cap” atau “normal”. Hal ini, nantinya, akan berperan banyak terhadap munculnya pandangan gender androsentris (terpusat pada laki-laki) yang akan kita bicarakan pada bab selanjutnya.
            Pola asimetri yang sedang kita pebincangkan di sini, pada bagian-bagian tertentu mendevaluasi kultur perempuan dan sifat feminin. Dengan cara ini atau yang lain, kebanyakan anak laki-laki dan perempuan akan belajar memandang jika kegiatan dan aktivitas anak laki-laki lebih berharga daripada apa yang dilakukan dan telah menjadi kebiasaan perempuan. Selain itu, akan muncul pandangan meremehkan terhadap anak laki-laki yang melakukan kegiatan keperempuan-perempuanan. Walau sama sekali tak ada pandangan yang diutarakan secara eksplisit, kebanyakan anak akan menganggap bahwa laki-laki, ketika dewasa, lebih layak melakukan hal-hal “penting” (berpendapat, menentukan sesuatu yang efeknya langsung mengarah ke masyarakat dsb) bila dibanding dengan perempuan. Bukti mengenai tekanan pada kesesuaian gender yang tak simetris di atas sangatlah mengejutkan.
            Pola tak simetris ini pun terjadi pada bermacam ranah. Perempuan dapat saja memakai pakaian untuk laki-laki tapi tidak begitu adanya pada laki-laki karena akan memunculkan stigma negatif; perempuan di Barat acap mengenakan jins tetapi mengapa laki-lakinya tidak menggunakan rok? Masalah nama juga berlangsung demikian rupa; semua nama laki-laki tampaknya cocok saja bila dipakaikan pada perempuan tapi tidak sebaliknya. Ada perempuan dinamai Christopher tapi tak ada laki-laki dinamai Christine. Seorang perempuan mungkin akan mendapat cibiran ketika bertingkah seperti “anak laki-laki”; biasanya menjurus ke arah agresivtas berlebih atau bila berkelahi karena hal itu dianggap tidak “perempuan” atau tidak “manis”. Memang benar ada kategorisasi “tomboi” untuk perempuan yang berlagak kasar dan tangkas bak laki-laki; biasanya diwujudkan dengan tingkah yang tidak menunjukkan rasa takut dan penolakan untuk bermain dengan boneka. Walaupun pada taraf tertentu kategori ini masih dianggap negatif, pada masyarakat Barat umumnya hal ini malah mengundang rasa hormat dan kagum. Sebaliknya, laki-laki yang mengadopsi tingkah polah perempuan akan mendapat sanksi lebih berat. Istilah “banci” digunakan untuk menyebut anak laki-laki yang tidak mempraktikkan nilai-nilai maskulin dengan benar (sebenarnya, seorang “banci” adalah seorang anak laki-laki yang tidak menunjukkan sifat “khusus” yang menjadikan anak perempuan sebagai “tomboi”).
            Seorang anak yang diperintahkan untuk melakukan lebih banyak pekerjaan rumah tangga atau tidak diperbolehkan menjadi astronot ketika besar karena ia perempuan kerap menunjukkan pendapat tidak setuju dengan; “Itu tidak adil!” Seorang anak laki-laki yang dilarang bermain dengan boneka atau dilarang menjadi sekretaris ketika besar nanti mungkin akan berpendapat serupa. Seorang anak laki-laki akan dinasihati bahwa ia tak bisa menjadi perawat ketika dewasa nanti karena ia terlalu berharga untuk melakukan pekerjaan itu. Sedangkan bagi anak perempuan, ia bisa menjadi seorang dokter. Hal ini bukanlah sebuah kesimpulan untuk mengatakan bila risiko berat akan menimpa anak laki-laki yang bermain boneka dan ingin jadi perawat. Yang bersangkutan merasa bahwa hak-haknya dan keadilan yang bersifat lebih luas di dalam masyarakat telah benar-benar tercabut. Di lain pihak, pembedaan gender seperti di atas telah menunjukkan bahwa apa yang dilakukan laki-laki tampak lebih baik dari apa yang dilakukan oleh perempuan dan anak-anak telah belajar tentangnya sejak usia dini.
            Berlawanan dengan fakta di atas, saat ini, banyak sekali contoh-contoh lain ditunjukkan oleh para feminis dan pengikut pergerakan hak-hak gay. Beberapa laki-laki mencoba mengambil alih pekerjaan yang dahulu lebih kerap dilakukan oleh perempuan misalnya mengganti popok bayi atau memasak. Segelintir lain mulai berani memakai anting di telinga dan kalung di leher mereka seperti yang kala dahulu dilakukan perempuan saat remaja. Namun demikian, tetap saja, pola dominan masih terus menghambat laki-laki untuk beralih ke daerah yang dianggap sebagai “dunia perempuan”.

Pemisahan.
            Membedakan suatu kultur dengan kultur lain, satu budaya dengan budaya lain membutuhkan separasi (pemisahan). Anak laki-laki bermain dengan anak laki-laki dan begitu pula perempuan. Pola dimaksud selalu terulang dan terulang dengan pola kultur bersilang (bahasa Inggris: cross-culurally), di masyarakat industri maupun nonindustri (Whiting dan Edwards. 1998). Pola bermain anak-anak semacam ini bahkan makin merajalela terutama di masyarakat industri Barat, sekali lagi, masih terkait dengan gender dan usia kawan sebaya yang bersangkutan. Beberapa anak terlihat lebih sering melewatkan waktu dengan kawan sebaya pada salah satu fase perkembangan mereka dan hal ini akan lebih jarang terjadi pada fase lainnya. Fakta yang ada membuktikan; bagaimanapun membaurnya pola bermain seorang anak, tetap ada tendensi padanya untuk mencari atau memaksa mencari kawan yang sejenis. Pembatasan ini berlangsung lebih ketat pada anak laki-laki; anak perempuan yang lebih memilih untuk bermain dengan teman laki-laki cukup mendapatkan toleransi atau malah dihormati tetapi hal ini tidak berlangsung secara terbalik.
            Pendekatan psikologis menunjukkan bahwa di Amerika, anak-anak mulai memilih bermain dengan kawan sebaya yang sejenis pada saat mendekati usia tiga tahun (Maccoby. 1998). Fase perkembangan ini adalah tahapan dimana mereka mulai mengembangkan kejelasan gender mereka sendiri yang akan berkembang seiring dengan kedewasaan. Eleanor Maccoby menemukan bila pola gender muncul melalui pengaturan institusional; perawatan keseharian, masa prasekolah, sekolah dasar (saat dimana anak-anak lebih banyak berinteraksi dengan kawan sebaya). Pada topik sama, Thorne (1993) menemukan bila di sekolah terdapat populasi lebih dari cukup untuk lebih memungkinkan adanya pemisahan jenis kelamin (hal ini lebih jarang terjadi di lingkungan tempat tinggal karena tentu saja; terlampau sedikitnya pilihan).
            Walau pada situasi di atas anak-anak lebih memilih untuk berada pada kelompok sejenis, anak-anak akan lebih sering terlihat membaur bila sedang berada di luar institusi- institusi tersebut (Howes. 1998). Penting sekali untuk diketahui bila kecenderungan untuk berada pada kelompok sejenis tidaklah absolut. Fakta telah jelas memperlihatkan jika anak-anak juga sering beraktivitas di dalam kelompok campuran. Penelitian Maccoby dan Jacklin (1987) terhadap anak-anak usia empat setengah tahun pada institusi prasekolah menunjukkan bahwa mereka melewatkan waktu empatpuluh tujuh persen di kelompok sejenis, tigapuluh lima di kelompok campuran, dan delapan belas persen di kelompok lain (si anak adalah satu-satunya yang jenis kelaminnya berbeda). Walaupun angka di atas menunjukkan pola pembauran yang cukup menggembirakan, tetap saja prosentase bermain dengan  kawan sejenis lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang lain. Pada usia enam setengah tahun, anak-anak yang sama dari penelitian di atas akan meluangkan enampuluh tujuh persen waktu mereka di kelompok sejenis. Maccoby (1998. Hal:22—23) menyimpulkan bahwa apa yang terjadi di sekolah merupakan cara si anak untuk mendapatkan kepastian dan perasaan aman ketika berada pada situasi lain yang lebih terbuka (saat si anak bermain dengan permainan gender baku bersama anak lain). Permasalahan tersebut menghadapkan kita pada problem filosofis mengenai ayam dan telur. Selain demi mengakomodasi kebutuhan akan pola permainan yang tergenderisasi dan interaksi, pemisahan kelompok juga berpotensi memproduksi dan mereproduksi diferensiasi gender. Pandangan bahwa perilaku anak laki-laki lebih agresif dari perempuan memang telah benar-benar terkonstruksi sedemikian rupa. Meski demikian, hasil eksperimen dan observasi telah menunjukkan bila proses diferensiasi terjadi tepat pada saat pola permainan gender dalam kelompok sejenis dimulai. Maccoby menekankan bahwa model bermain gender yang terbatas pada jenis kelamin sama mencapai puncaknya saat anak laki-laki berusia sekitar empat tahun dan ini menunjukkan bila terdapat hubungan kompleks antara munculnya penggenderan model permainan dengan kelompok bermain berjenis kelamin sama.
            Pola pemisahan anak-anak ke dalam kelompok bermain berbeda mendorong teoritikus gender untuk mengemukakan pandangan bahwa pola tersebut telah tertanam pada usia sangat menentukan atau dengan kata lain anak laki-laki dan perempuan telah tersosialisasikan ke dalam kultur teman sebaya yang satu sama lain berlainan pada usia dini. Mereka mengembangkan perilaku, norma, dan pandangan dunia yang berlainan ketika berada di dalam kelompok bermain sejenis. Daniel Maltz dan Ruth Bolker (1982) berpendapat bahwa anak laki-laki dan perempuan mengembangkan kultur verbal berbeda karena proses pemisahan ini; cara yang berbeda dalam melakukan interaksi verbal dan tatanan yang berbeda dalam menafsirkan cara berinteraksi. Sekali lagi mereka berpendapat bahwa hal ini dapat menjadi biang keladi miskomunikasi antara kultur (cross-culture miscommunication) laki-laki dengan perempuan. Deborah Tannen (1990) juga berpendapat sama; perilaku seperti di atas semakin mendorong terjadinya kesalahpahaman. Pemisahan kultur gender tidak hanya akan menelurkan sengketa antar jenis kelamin walau jelas sekali terlihat bermacam kemungkinan untuk menuju ke sana. Tentu saja, bila anak laki-laki dan perempuan terpecah pada dua basis reguler, dapat diramalkan kalau mereka akan melakukan hal berbeda dan memahami dunia dengan berlainan. Perluasan yang mungkin terjadi selanjutnya bergantung pada sifat pemisahannya sendiri; kapan, dalam konteks apa, dan kegiatan apa (berkenaan dengan hubungan laki-laki dengan perempuan). Dengan kata lain, kaitan antara pemisahan dan perluasan yang terjadi darinya terjadi karena pemisahan tersebut telah terstruktur sedemikian rupa (setiap komunitas memiliki pola strukturisasi yang berlainan). Hal lain yang timbul dari proses di atas adalah munculnya berbagai batasan jelas untuk kelompoknya dan terhadap kelompok lain.
            Model miskomunikasi yang diusulkan oleh Maltz dan Borker dan dikembangkan oleh Tannen telah dikembangkan hingga ke taraf yang lebih tinggi lagi oleh John Gumperz dengan perbedaan subkultur etnisnya (e.g. Gumperz. 1982). Teori tersebut berpendapat bahwa pemahaman dan interaksi laki-laki serta perempuan pada dasarnya memang berbeda dan lebih parah lagi; keduanya tidak mengetahui perbedaan-perbedaan itu dan keduanya juga yakin bila dasar dari apa yang mereka lakukan adalah sama. Unsur ketidaktahuan mungkin menjadi asumsi paling problematis dalam pendekatan terhadap miskomunikasi (atau konflik) gender ini. Keyakinan gender yang tertanam secara massal pada anak-anak ketika bermain dengan kawan sebayanya mengharuskan terjadinya pemisahan berlebihan tanpa alasan jelas. Pemisahan gender pada masa kanak-kanak hampir selalu memegang peranan penting dalam perkembangan genderisasi paraktik verbal. Namun dalam proses pemahaman gender, pemisahan bukan segalanya. Di masyarakat Barat, pemisahan gender selalu tampak pada kegiatan-kegiatan yang mengharuskan kedua jenis berada pada tempat sama. Selain itu, pemisahan gender juga kerap terjadi pada berbagai aktivitas yang dapat menimbulkan perbedaan penafsiran walau kenyataannya, ada banyak persamaan padanya.
            Semakin jauh kita bergerak maju maka semakin rumit dan berliku pula penjelasan mengenai perbedaan gender. Saat anak-anak menghabiskan lebih banyak waktu bersama dengan teman sebaya dan saat mereka mulai menghadapi beragam situasi dengan teman sebaya, tidak hanya keseimbangan antara pengaruh orang dewasa dan teman sebaya yang berubah karena sifat pengaruh dari teman sebaya juga berubah. Komunitas antarkawan sebaya menjadi semakin bertambah kompleks dan beberapa hal malah terlalu cepat berkembang. Gagasan eksplisit tentang gender lalu mulai merambah pada pilihan dan kesempatan anak-anak. Apapun faktor penyebab meningkatnya proses pemisahan gender, pemisahan itu sendiri telah berubah menjadi semacam aktivitas dan isu sosial utama. Barrie Thorne (1993) menandaskan bila pengelompokan pada beberapa kegiatan sekolah menjadi pemicu adanya pemisahan gender. Bisa kita lihat dengan jelas adanya permainan tim yang membutuhkan anggota sejenis walau ada model permainan lain yang lebih condong beranggota campuran. Pemisahan dapat menjadi dampak timbulnya rivalitas antara kelompok laki-laki dengan kelompok perempuan; contohnya dapat kita temukan di sekolah dasar di mana terjadi “anak perempuan mengejar anak laki-laki” (Thorne. 1993). Kegiatan seperti itu dapat menjadi tempat bernaung bagi konstruksi perbedaan yang mengklaim bila laki-laki atau perempuan lebih baik pada apapun. Dengan demikian, keyakinan mengenai perbedaan kemampuan alami laki-laki dan perempuan sudah dipelajari pada masa yang sangat dini dan bahkan hal tersebut kemudian menjadi semacam kebenaran umum. Namun demikian, ekses perluasan dari perilaku dan kegiatan anak-anak yang bersifat individual atau sosial tidak semua jelas tampak di depan mata.

Market Hetereoseks.
            Pada akhir masa sekolah dasar, aktivitas penjodohan antara laki-laki dengan perempuan semakin kentara terlihat. Kegiatan ini bukan hanya dilakukan oleh orang per orang dan bukan pula satu kegiatan yang muncul seperti apa adanya atau semerta-merta merupakan “masalah sehari-hari”. Lebih dari apa yang terpikirkan sebelumnya, kegiatan ini adalah bentuk awal market sosial yang memberi dasar bagi orde sosial pertemanan (Eckert. 1996). Dan melalui market ini pulalah muncul perubahan mendasar yang berkaitan dengan pemisahan gender dan diferensiasi.
            Pada masa-masa tertentu, orang dewasa selalu mengawasi perilaku anak-anak. Sejalan dengan berkembangnya orde sosial pertemanan, muncul pula inisiatif bagi anak-anak untuk mengorganisasikan kontrol sosial mereka sendiri. Perilaku heteroseks diorganisasikan oleh orde sosial pertemanan sedangkan market heteroseks (Thorne. 1993) menjadi pusat tumbuhnya orde sosial pertemanan. Sampai saat inipun, anak laki-laki dan perempuan sama-sama beranggapan bila mereka memang berbeda dan tidak dapat disatukan. Di dalam konteks market lawan jenis, anak laki-laki dan perempuan berpandangan bahwa mereka adalah unsur yang saling melengkapi dan bekerja sama.
            Masalah ini tak bisa dipandang remeh karena market lawan jenis adalah satu dari sekian banyak market sosial di mana prinsip pengikutnya dapat pula masuk ke dalam jaringan lain seperti misalnya market akademis atau market kerja. Di sinilah tempat yang cocok bagi anak-anak untuk melihat diri mereka sebagai salah satu elemen dari suatu sistem evaluasi sosial yang telah terstrukturkan. Anak-anak yang berpartisipasi di dalam satu market lawan jenis dapat berperan sebagai komoditas atau makelar (mereka dapat menjadi objek penjodohan dan mereka juga dapat berlaku sebagai “mak comblang” bagi teman-teman lain). Pasangan yang disatuka dari market ini tidak bertahan dalam kurun waktu lama (satu pasangan dapat “bersatu” selama beberapa jam, beberapa hari, seminggu, atau lebih lama lagi). Intensitas dari “perdagangan” ini semakin mendongkrak harga dan kualitas pelaku yang bersangkutan. Rasa ketertarikan para pelaku dan para pengamat terhadap market ini sendiri sering juga diasosiasikan dengan ketertarikan terhadap lawan jenis atau heteroseksualitas.
            Sangatlah penting untuk ditekankan bahwa bagi para pelakunya, market lawan jenis hanyalah awal dari aktivitas heteroseks (yang berwujud kencan selama satu atau dua tahun) walaupun pasangan bersangkutan tidak memperlihatkan rasa saling tertarik. Kegiatan ini membangun sistem dan hierarki pemilihan jodoh sebagai permulaan hasrat dan aktivitas heteroseks yang dianggap “jelas”. “Nilai” seseorang di dalam market ini berperan sebagai salah satu “fungsi” bagi penjodohan dan diciptakan untuk kepentingan orang bersangkutan. Sistem status yang membentuk market ini akan menelurkan inti orde sosial selanjutnya yaitu orde sosial remaja. Pada kasus ini, orde sosial yang ada benar-benar berorientasi pada lawan jenis. Orde baru ini telah secara ajaib mengubah aturan gender pelakunya. Apa yang telah mengubah anak laki-laki dan perempuan menjadi individu berjenis kelamin laki-laki atau perempuan menempatkan mereka pada posisi terhormat di hadapan orde sosial. Harga mereka sebagai seorang manusia dan hubungan mereka dengan orang lain benar-benar bergayut pada keyaknan mereka terhadap norma gender. Selanjutnya, diferensiasi dari norma gender ini akan semakin kokoh, memunculkan diferensiasi antara laki-laki dan perempuan yang berujung pada pandangan bahwa laki-laki dan perempuan adalah berjodoh.
            Para pembaca yang memiliki kecenderungan pada lesbianisme dan gay pada fase hidup di atas mungkin akan merasakan ketimpangan terkait dengan studi ini. Inti yang ingin diajukan adalah bahwa tidak semua orang aktif di dalam market heteroseks dan bahwa belum tentu orang yang terlibat dalam kegiatan ini adalah benar-benar berorientasi heteroseks. Market ini tak lain merupakan salah satu piranti sosial yang digunakan untuk melanggengkan perilaku heteroseks dan meminggirkan serta mengaburkan penyimpangan seksual yang ada. Terkadang ada pula market lain yang dapat mendongkrak nilai dan status misalnya market akademis. Namun demikian, gambaran kenyataan telah menunjukkan bahwa tirani perilaku heteroseks telah menyebarkan pengaruhnya hingga ke berbagai sudut kehidupan. Posisi sentral heteroseksualitas di dalam benak para penganutnya berpengaruh pada segala hal, bahkan pada anasir-anasir yang nyata-nyata menunjukkan perlawanan.
            Ada beberapa konteks kultur di mana perilaku penjodohan heteroseks tidak terlalu memegang peranan penting dalam perkembangan. Bahkan pada dua tahun belakangan di AS, market heteroseks tidak terlalu tampak pada segelintir anak. Pada hampir semua kultur, pernikahan telah menjadi pencapaian sosial utama berkaitan dengan kedewasaan. Pemikiran di atas tetap menggelinding pada alurnya yang past meskipun orang yang bersangkutan tidak terlalu berperan di dalam merajut jaring heteroseksualitas. Hampir semua kultur memiliki institusi-institusi yang mengorganisasikan hasrat pada lawan jenis di antara pemuda-pemudinya hingga mereka menikah nantinya. Perempuan Tamang di Nepal yang diwawancarai oleh Kathryn March (2002) bercerita dengan bahagia ketika mengenang masa mudanya. Si perempuan dan kawan sebayanya menyanyikan lagu untuk kelompok anak laki-laki dan begitupun sebaliknya. Salah satu bagian dari nyanyian tersebut dimaksudkan sebagai rayuan bagi pasangannya agar bersedia diajak menikah.
            Di Amerika, perbedaan gender dan heteroseksualitas tertanam kuat (terjalin) pada berbegai perkumpulan remaja dan institusi formal sekolah yang menyatukan mereka. Pasangan yang berlainan jenis memiliki status khusus ketika berada di SMA, popularitas erat hubungannya dengan jaringan heteroseksual dan pasangan yang “terkenal” akan menjadi semakin tersohor serta menjadi contoh bagi pengikutnya (Eckert. 1989). Perbedaan dan pemisahan gender semakin menjadi-jadi lewat pemakaian istilah “paling ngetop”, “paling dikejar-kejar”, dan kategori lain yang serupa. Apa yang ingin diutarakan di sini adalah bahwa standar kesuksesan dan kepopuleran bagi laki-laki dan perempuan berbeda adanya (istilah-istilah yang digunakan sebagai status pada standarisasi tersebut menjadi tergenderkan). Selain hal itu, ada pula institusi macam “pesta dansa” dan pemilihan raja serta ratunya yang makin menekankan pentingnya jaringan heteroseks sehingga status jaringan tersebut terangkat menjadi status institusional. Ada juga praktik lawas berupa penjodohan seorang pemain bola dengan seorang pemandu sorak di mana si perempuan menjadi figur penyokong si laki-laki saat sedang berjuang membela sekolahnya.

Mengembangkan Hasrat.
            Selama kurun perkembangan hingga kemunculan market heteroseks, tekanan terhadap perbedaan telah berubah menjadi gagasan oposisi. Market heteroseks membawa perubahan penting pada sifat dikotomi gender; lawan jenis tiba-tiba menjadi subjek ketertarikan. Oposisi berarti saling melengkapi. Jika dulu perempuan dan laki-laki berhubungan dalam konflik maka mereka sekarang menjadi partner. Dan bersama dengan mengemukanya hal baru ini muncullah kesadaran gender tentang hasrat.
            Sejauh mata memandang, kita melihat citra tentang pasangan sempurna. (untuk menyimak diskusi tentang konstruksi laki-laki dan perempuan di periklanan, lihat Goffman. 1976). Mereka berorientasi heteroseks. Si laki-laki lebih tinggi dan berkulit lebih gelap dibanding si perempuan. Mereka terlihat dalam pose tertentu; si laki-laki memandang ke depan, percaya diri, dan yakin sedangkan perempuan memandang ke bawah atau menerawang bak sedang melamun. Si perempuan selalu tampak lebih pendek; saat duduk atau berdiri. Dia bersandar pada sang laki-laki, atau terselip di bawah lengannya, atau memandang padanya. Sejak saat dini, anak-anak membayangkan berjodoh dengan pasangan sempurna dari jenis berlainan. Anak perempuan belajar memandang pada pacarnya. Dia juga belajar melihat dirinya bersandar di pundak kekasihnya. Lain daripada itu, ia membayangkan kekasih yang menciumnya dan juga berbisik di telingnya. Si perempuan juga belajar untuk jadi penakut sehingga sang kekasih dapat melindunginya; belajar menangis hingga habis air matanya. Anak-anak perempuan mengenakan pakaian pria yang kedodoran hingga tampak makin kecil. Pemusatan hasrat atu cathexis ini (Connell. 1987) adalah kekuatan luar biasa yang melanggengkan orde gender. Hal ini tak cuma mengatur ketertarikan seseorang terhadap lawan jenis tetapi juga mencetak orang tersebut agar menjadi menarik bagi lawan jenis. Anak-anak perempuan mendamba jadi kecil dan lembut sedangkan anak laki-laki menjadi besar dan kuat. Semua hal di atas adalah contoh dominasi pencitraan diri yang didukung oleh masyarakat. Pencitraan kadang tak sejalan dengan perkembangan olahraga oleh perempuan yang memerlukan kekuatan, tinggi dan bobot tubuh. Seorang atlet perempuan muda bahkan dibentuk agar menjadi menarik bagi laki-laki dan diiklankan melalui pelbagai publikasi seperti pada “Sport Illustrated for Women.” Diet, tata rambut, cukur rambut (kaki dan kepala), obat penghilang nafsu makan, steroid, tato, tindik, rias wajah; semuanya demi memenuhi diri yang didambakan. Sikap konsumtif pada segala hal dikontrol oleh hasrat. Dan hebatnya, hasrat pun telah tergenderkan. Pakaian, riasan, kendaraan, rumah, perabot, kebun, makanan, rekreasi adalah perwujudan diri yang disetir oleh hasrat.
            Kita menganggap emosi dan hasrat namun faktanya, keduanya didapat melalui proses belajar dan sangat terstruktur. Tabu pria untuk tak menangis dan menunjukkan rasa takut mengharuskan mereka mengontrol emosi. Hal ini benar adanya dan banyak laki-laki membuktikan bahwa kadang hal itu sulit juga dilakukan. Sekilas mengenang Tragedi 11 September 2001; warga Amerika telah menyaksikan para laki-laki pemberani dari Departemen Kepolisian New York dan pemadam kebakaran menangis tanpa malu demi mengetahui kawan dan rekan mereka serta orang-orang meninggal di World Trade Center. Sejak saat itu, media massa meramalkan bahwa saat ini kita sedang menuju era baru di mana laki-laki tak perlu lagi segan menitikkan air mata. Ini tentu akan diterima bila terjadi pada konteks khusus namun begitu tetap masih akan ada larangan gender untuk menangis dan menunjukkan ekspresi kerapuhan emosi.
            Fokus pada kontrol emosi laki-laki melupakan kenyataan keterlibatan sosialisasi tertentu pada perempuan berhubungan dengan keterbukaan emosi mereka; kapan harus menangis dan memperlihatkan rasa takut. Bukan masalah bagi perempuan untuk menangis di depan umum (saat pemakaman kawan misalnya) dan menunjukkan wajah penuh rasa takut ketika mendapat ancaman fisik. Pantas pula bagi perempuan untuk mengekspresikan hal di atas pada situasi yang hanya dibayangkan; saat membaca novel atau menonton film contohnya. Ada satu saat tertentu di mana perempuan memaksa menangis untuk sesuatu yang tidak benar-benar “menyentuh” dan mungkin ini dilakukan untuk meyakinkan diri sendiri bahwa mereka telah tersentuh. Berpura-pura takut saat menonton film horor atau laga adalah keahlian mereka. Belajar untuk menjadi kebal atau takut pada situasi-situasi tersebut adalah kemungkinan-kemungkinan pilihan yang telah tergenderkan. Pilihan terhadap alternatif tertentu ditopang oleh strukturasi hasrat. Manusia tak begitu saja belajar tentang respons emosional yang sesuai untuk mereka; mereka belajar untuk menginginkannya dan belajar untuk menjadi “jenis orang” yang memiliki respons itu. Laki-laki dan perempuan membayangkan berada dalam situasi tertentu dan menyesuaikan diri di dalamnya. Pemandangan umum terlihat saat sejoli berlainan jenis berkencan di gedung film. Adegan sedih dan menakutkan membuat si perempuan bersembunyi di pelukan pacarnya; menyembunyikan kepala ke dalam jaket. Dia mengerudungi kepala dan terisak dengan sengaja demi memperlihatkan kelemahannya. Film hanyalah alasan bagi pasangan ini untuk menunjukkan peran gender mereka. Film juga mengaktivasi jaringan rumit romantika, heteroseksualitas, gender, dan gagasan rasa takut serta perlindungan darinya. Kita akan membahasnya pada paragraf berikut.
            Perkembangan gender tidak selesai pada taraf kanak-kanak dan remaja. Gender bertransformasi seiring pergerakan kita menuju wilayah market; saat kita belajar jadi sekretaris, pengacara, manager, atau pegawai kebersihan. Dan gender terus-menerus bertransformasi sejalan perubahan status kekeluargaan; saat kita belajar menjadi istri atau suami, ibu atau ayah, oom atau tante, adik atau kakak, nenek atau kakek. Seiring bertambahnya umur, kita belajar cara baru menjadi laki-laki dan perempuan; apa yang diinginkan gadis remaja berbeda dengan perempuan usia empat puluhan, dan keduanya akan sangat berlainan dengan harapan seorang perempuan berumur delapan puluhan. Apa yang tampak tak terakomodasi pada jaringan heteroseks juga dicapai melalui pengharapan gender. Perempuan yang mencari partner lesbian misalnya; mereka mencari pelamar yang “feminin”, yang “kasar” tidak dibutuhkan sama sekali (Livia. 2002). Ada juga laki-laki yang mencari pasangan atau bertingkah “feminin” pada suatu perkumpulan gay.
            Semua hal di atas menunjukkan bahwa belajar menjadi laki-laki atau perempuan melibatkan tingkah dan pandangan-pandangan tertentu; belajar berpartisipasi dalam suatu komunitas atau hubungan tertentu dan belajar memandang dunia melalui perspektif tertentu pula. Kita condong mengamati kebiasaan, pilihan, dan keyakinan hanya sebagai hasil sejarah individual dan bukannya sebagai dampak posisi kita dalam suatu orde sosial. Kebiasaan, pilihan, dan keyakinan berkembang melalui respons terhadap pengalaman. Pada perluasannya, orde sosial menstrukturkan pengalaman kita dan padanya terdapat pola mengenai “siapa” mengembangkan “apa”. Bukan berarti perempuan dan laki-laki adalah kelompok-kelompok homogen karena nyatanya ada laki-laki yang mudah menangis atau perempuan yang sulit menitikkan air mata. Tak semua orang melakukan hal serupa. Fase berkembang bukan berarti penyembunyian watak individual sebenarnya tetapi merupakan penjabaran nilai-nilai, harapan, dan kesempatan yang bergantung pada kategori gender dan kategori-kategori lain.
            Gender bukan satu-satunya aspek identitas sosial yang harus dipelajari seorang individu dalam berkembang. Gender erat kaitannya dengan hierarki lain yang dikonstruksi secara sosial oleh berbagai kategori seperti kelas, usia, etnisitas, dan ras. Sebagai contoh, sangat sering didapati rasisme seksual dan seksisme rasialis di masyarakat. Bagian ini akan memfokuskan diri pada; bagaimana anak-anak mempelajari status sosial ekonomi, ras dan etnisitas, tipe tubuh, dan kemampuan membaca mereka. Kita akan melanjutkannya dengan menelaah berbagai kombinasi gender, kelas, ras, dan kategori sosial lain yang ada karena kombinasi inilah yang dipelajari orang-orang dan bukannya unsur lain.
            Bagian ini juga membicarakan perbedaan tentang bagaimana gender dan kategori lain terstrukturkan. Penting diketahui bahwa tidak ada analogi yang jelas mengaitkan market heteroseks dengan tatanan heteroseks lain atau polarisasi gender dengan prasangka kelengkapan gender yang didukungnya. Norma gender mematrikan hasrat seseorang untuk berpasangan dengan lawan jenis. Diluar dari yang disebut ada banyak kasus menunjukkan adanya hubungan kelas dan ras dengan pembentukan suatu keluarga. Ada semacam tekanan untuk mencari jodoh berlawanan jenis dari kelas dan ras yang sama. Cara terakhir adalah bukti bahwa gender, ras, dan kelas berkaitan erat. Jadi benar bila heterogenitas kelas dan ras sangat jarang ditemukan pada sebuah keluarga lalu bagaimana korelasi antara gender dengan usia? Gender dan usia adalah kategori lain yang menstruktur kehidupan keluarga secara sistematis. Kita akan selalu dapat mencari detil keterkaitan gender dengan berbagai prinsip pembagian sosial dan ketaksetaraan. Hierarki sosial mengubah dan berinteraksi satu sama lain; saling menciptakan pandangan sempit yang berpotensi menyesatkan.
            Diskusi di atas telah mengembangkan beberapa prinsip fundamental. Pertama, jelas bahwa gender dipelajari. Karena gender memunculkan batasan memilih (berhubungan dengan perilaku gender dan asimetri) maka gender harus juga diajarkan dan dipaksakan. Prinsip kedua, gender adalah hasil kolaborasi. Gender berkorelasi dengan atribusi individual misalnya; apakah seseorang berjenis kelamin laki-laki atau perempuan, apakah orang tersebut berkarakter femini atau maskulin, atau apakah yang bersangkutan memenuhi perannya sebagai laki-laki atau perempuan. Jadi kesimpulannya; gender tak dapat dipakaikan pada diri oleh diri sendiri (butuh orang lain untuk melabelkannya). Gender bukan sebuah proyek individual tetapi suatu kolaborasi yang menghubungkan si individu dengan orde sosialnya. Anak-anak mulai belajar gender saat orang dewasa memakaikannya pada mereka. Anak-anak tersebut, kemudian, bertanggungjawab terhadap perilaku gender mereka sendiri sembari men-support gender orang lain. Dukungan macam ini memerlukan tindak koersif (memaksa) langsung. Tetapi biasanya, gender justru terbangun dalam cara bertindak dan berinteraksi kita yang paling sederhana dengan orang lain sehingga luput dari perhatian.
            Kita menuju pada prinsip ketiga; gender bukanlah sesuatu yang kita miliki namun sesuatu yang kita lakukan. Anak-anak kerap mempraktikkan gender dengan sadar (sangat jelas bahwa anak laki-laki yang membusung dan anak perempuan yang melenggak-lenggok memperlihatkan performa gender). Seiring bertambahnya usia, penampilan gender anak-anak menjadi semakin matang namun lebih penting lagi; model penampilan itu berubah menjadi sifat kedua mereka. Fakta memperlihatkan bahwa gender butuh suatu usaha dan bila aspek tersebut tidak ditampilkan secara konsisten dalam masyarakat maka orang yang bersangkutan sedang dalam masalah besar. Aspek ini mendorong Judith Butler (1990) menyusun teori “performativitas gender” yang kita bahas pada bab empat dan sembilan. Terakhir, gender bersifat asimetris. Seseorang mungkin berpikir bila gender adalah hasil orde sosial namun nyatanya; laki-laki dan perempuan adalah dua sisi mata uang yang berlainan. Ketaksetaraan terbangun dalam gender sejak tingkat paling dasar. Kate Bornstein (1998) mengatakan bila gender adalah sebuah sistem untuk menjustifikasi ketaksetaraan dan untuk membela keyakinan universal bahwa laki-laki lebih superior. Sherry Ortner dan Harriet Whitehead (1981. Hal: 16) berpendapat mirip; “(a) sistem gender adalah srtuktur prestise yang pertama dan utama.” Pada karya terbaru, Ortner (1990,1996) menawarkan pandangan gender lebih kompleks tentang keberadaan berbagai poros nilai sosial dan aturan prestise dalam masyarakat tertentu yang menempatkan laki-laki atau perempuan paa posisi utama secara bergantian. Beberapa di antara poros tersebut sangat kuat terpatri ke dalam kehidupan sosial dan pemikiran-pemikiran. Hal terpenting adalah bahwa kekuatan dan pengaruh tidak selamanya sejalan dengan prestise. Satu gambar kartun dari pertengahan abad ke-20 telah mengetengahkannya dengan amat sempurna; seorang laki-laki berkata pada anaknya “Aku memutuskan semua hal penting seperti; apakah Tuhan telah mati atau apakah PBB harus mengakui komunis Cina, dan aku akan membiarkan ibumu untuk menentukan sekolah apa yang kau masuki atau rumah mana yang harus kita beli.” Asimetri gender tidak berjalan apa adanya.

Melestarikan Gender: orde gender.
            Gender tidak diturunkan langsung melalui ciri biologis atau prakecenderungan seseorang untuk menjadi manusia dengan jenis tertentu. Gender juga bukan kepemilikan individual. Gender adalah pengaturan sosial dan setiap gender individu terbangun dalam orde sosial. Demi alasan ini, kita akan melacak balik orde gender dan keterkaitan individu padanya. Usaha ini dilakukan sebagai persiapan studi peran bahasa terhadap perubahan dan pelestarian orde gender.
            Hal paling menarik berkenaan dengan perkembangan manusia adalah bahwa gender tersebar di sana-sini. Anak-anak memperoleh konsep ini dari mana saja. Gender mengandung pola relasi yangberkembang terus-menerus masih dalam fungsinya mendefinisikan laki-laki dan perempuan atau maskulinitas dan feminitas serta menstruktur dan mengatur hubungan orang-orang dengan masyarakat. Gender menancap di setiap aspek masyarakat; institusi, wilayah publik, seni, sandang, pergerakan-pergerakan. Gender tertanam dalam pengalaman-pengalaman yang ber-setting, mulai dari kantor pemerintahan hingga permainan. Gender terpatri dalam keluarga, lingkungan, gereja, sekolah, dan media. Gender ada pada cara berjalan, cara makan di restoran, dan cara memakai toilet. Seluruh latar dan situasi di atas terhubung satu sama lain dalam kebiasaan-kebiasaan yang terstruktur. Gender terorganisasi secara intrinsik dalam setiap tingkatan pengalaman sehingga seperti memunculkan kaitan tak berlapis antara misalnya; keinginan seorang anak perempuan memakai gaun pesta dengan kontrol laki-laki atas alat produksi. Apa yang kita alami sebagai hasrat individual muncul dari dalam orde gender yang tak terjamah; sebuah orde yang mendukung dan didukung hasrat bersangkutan. Keterkaitan tak berlapis inilah yang menjadikan bahasa penting bagi gender dan juga sebaliknya. Interaksi-interaksi terkecil kita terilhami oleh gender dan perilaku kita saat menjalaninya makin memperkuat perannya dalam mendukung gender. Saat seorang gadis menginginkan gaun pesta berjumbai warna merah jambu dan memaksakan untuk memiliki atau memakainya, dia menampilkan perilaku gender yang memperbarui makna-makna gender berkaitan dengan warna merah jambu, jumbai, gaun, dan pakaian pesta. Dampak berbeda akan timbul dari seorang anak perempuan yang berkeras mengenakan overall lusuh. Hal paling menarik, orang kerap membiarkan apa yang mereka pandang sebagai “pengecualian” ini (anak perempuan memakai overall lusuh) sehingga dampak darinya tidak begitu terlihat. Bagian ini akan menjelaskan beberapa hal berkaitan dengan gaun pesta warna merah jambu dan kontrol laki-laki atas alat-alat produksi yaitu penjelasan tentang penstrukturan ketersebaran gender dan dominasi laki-laki.
            Gender yang mendikotomi bersemayam di pusat orde sosial karena kita mempertahankannya di situ. Kelangsungan hidup manusia tidak bergantung pada laki-laki yang memakai pakaian biru atau perempuan yang mengenakan baju merah muda; manusia adalah spesies reflektif (kita dapat berbicara satu sama lain). Diferensiasi kontinyu antara laki-laki dan perempuan bukan demi menjamin reproduksi biologis tetapi untuk menjamin reproduksi sosial (untuk mengafirmasi pengaturan sosial yang bergantung pada penggolongan laki-laki dan perempuan). Kategori dikotomis merupakan pencapaian terus-menerus dari jenis manusia dan demi alasan itu, studi bahasa kita akan menempatkan bahasa bukan sebagai kategori praeksis berefleksi tetapi sebagai suatu bagian yang mengonstruksi dan melestarikan kategori ini.

Konvensi dan Ideologi.
            Orde gender adalah sistem alokasi yang didasarkan pada ketentuan jenis kelamin mengenai hak dan kewajiban, kebebasan dan larangan, batas dan kemungkinan, serta kekuatan dan subordinasi. Orde gender didukung dan mendukung struktur konvensi, ideologi, emosi, dan hasrat. Rapatnya jalinan yang dibentuk oleh gender membuatnya sulit terpisahkan dari aspek-aspek kehidupan lain. Kekuatan konvensi atau adat tampak pada fakta bahwa kita belajar menjadi seseorang dengan melakukan sesuatu tanpa memikirkan alasan yang mendasarinya dan tanpa memahami struktur besar yang melingkupinya. Seiring perubahan konvensi, anggota-anggota masyarakat beranggapan bila konvensi individual adalah perlu dan tak mengenal waktu dan diperlakukan sebagai kunci pengaturan. Unsur penting konvensi terletak pada sifatnya yang tak kenal waktu. Salah satu bagian proses konvensionalisasi berwujud penghilangan situasi aktual dari suatu hal yang sedang terjadi contohnya, kita secara spontan menyebut “Tuan dan Nyonya Jones” dan bukan “Nyonya dan Tuan Jones” atau “suami dan istri” dan bukan “istri dan suami”. Konvensi mengatur secara eksplisit bahwa laki-laki harus disebut sebelum perempuan berkaitan dengan superioritasnya. Pada awal abad ke-16, para ahli tata bahasa berpendapat bila laki-laki harus disebut dahulu sebelum perempuan; “Mari kita lestarikan aturan alam dan menempatkan pria sebelum wanita demi kebaikan pria” (Wilson. 1560. Hal: 189; dikutip di Bodine. 1975. Hal: 134). “Gender maskulin lebih berharga dari feminin” (Poole. 1646. Hal: 21; dikutip di Bodine. 1975. Hal: 134). Ini adalah salah satu kasus yang menunjukkan bahwa konvensi linguistik jelas terdeterminasi ideologi gender dan sebaliknya; mendukung ideologi gender tersebut secara samar.
            Ideologi merupakan suatu sistem keyakinan yang digunakan orang untuk menerangkan, menjelaskan, dan membenarkan tingkah-lakunya serta menafsirkan dan menilai tingkah-laku orang lain. Ideologi gender merupakan seperangkat keyakinan yang mengatur partisipasi orang-orang dalam orde gender. Dengannya pula orang-orang menjelaskan dan membenarkan apa yang mereka lakukan. Ideologi gender mengatur perbedaan sifat laki-laki dan perempuan, keadilan, sifat alamiah, asal-muasal, dan berbagai aspek orde gender. Ideologi mengatur apakah perbedaan bersifat fundamental atau haruskah dilestarikan, dan bisakah atau haruskah dipertahankan tanpa kesetaraan. Beberapa orang menerima perbedaan sebagai yang terberi; sebagai pembenaran serta sebagai konseksuensi dari ketaksetaraan. Beberapa yang lain menganggapnya sebagai produk pendukung hierarki. Untuk sebagian orang, pelestarian orde gender adalah aturan moral: bersifat ilahiah atau semata merupakan konvensi. Sedangkan sebagian yang lain memandangnya sebagai suatu kenyamanan; seperti sesuatu yang “jangan diperbaiki bia tak rusak”. Tentu saja, rusak atau tidaknya tergantung pada perspektif orang yang memandang.

“Esensi” dan Asal-Muasal Dikotomi.
            Kita mulai diskusi tentang orde gender dengan gambaran singkat mengenai beberapa hal yang dianggap sebagai unsur utema ideologi gender dominan di masyarakat (pandangan gender mendapat tempat istimewa di masyarakat luas dimana dikotomi pria-wanita dipahami secara umum dan acapkali dijustifikasi). Anggota masyarakat industri manapun akan mampu menghasilkan serangkaian oposisi berikut; laki-laki kuat sedangkan perempuan lemah, laki-laki pemberani dan perempuan penakut, laki-laki agresif dan perempuan pasif, laki-laki dikendalikan seks dan perempuan dikendalikan hubungan, laki-laki tak berperasaan sedangkan perempuan emosional, laki-laki rasional sedangkan perempuan irrasional, laki-laki berterus terang sedangkan perempuan tidak, laki-laki kompetitif dan perempuan kooperatif, laki-laki bekerja dan perempuan mengasuh, laki-laki kasar dan perempuan lembut (perhatikan beberapa karakteristik di mana laki-laki terlihat positif dan begitu sebaliknya). Daftar ini menjadi semakin panjang dan sejalan dengannya akan muncul berbagai model laki-laki dan perempuan (Superman dan Scarlett O’Hara). Walau banyak (hampir semua) orang atau kelompok menolak sebagian atau seluruh contoh di atas sebagai aktualisasi dan idealisme, semua pembaca akan menganggapnya sebagai pencitraan terhadap laki-laki dan perempuan yang terlanjur ada. Ideologi dominan tak langsung memastikan bila laki-laki dan perempuan “harus” berbeda. Ideologi tesebut menekankan bahwa laki-laki dan perempuan “memang” berbeda. Ideologi menjelaskan bila perbedaan-perbedaan yang ada diturunkan dari kualitas esensial laki-laki dan perempuan. Pandangan ini dinamakan esensialisme.
            Oposisi ini sangat kuat karena posisinya dalam ideologi gender dan karena caranya menampilkan sesuatu benar-benar telah merasuk ke dalam masyarakat. Pertama, oposisi ini muncul sebagai satu kesatuan; penjelasan bagi semua hal yang berkenaan dengan hal lain. Oposisi ini tidak terhubung secara intrinsik tetapi jaring asosiasi yang melingkupi telah menyatukannya ke dalam gagasan-gagasan populer. Kaitan ukuran tubuh, kekuatan fisik, dan keberanian mungkin jelas terlihat (dengan catatan bahwa kita membatasi definisi “keberanian” menjadi “keberanian terhadap ancaman fisik”). Kaitan antara kekuatan fisik dengan agresivitas tak tampak jelas, sama halnya jika keduanya dihubungkan dengan emosi, rasionalitas, keterusterangan, dan sifat kompetitif. Korelasi antara “tak berperasaan” dengan “rasionalitas” mengasumsikan ketakmampuan orang yang bersifat emosional untuk menjadi rasional (dengan catatan bahwa emosional adalah keadaan di mana akal dan kontrol kurang bekerja). Pandangan emosional macam apakah ini? Pembaca akan belajar mengamati hubungan-hubungan di antara berbagai oposisi ini, dan mencari keberkaitannya dalam ideologi dominan.
            Menyebarnya pandangan oposisionalitas laki-laki dan perempuan tampak pada ungkapan bahasa Inggris “the opposie sex” (lawan jenis). Sangat jarang didengar ungkapan lain seperti “the other sex” (jenis kelamin milik orang lain). Lebih jarang lagi ungkapan “another sex” (jenis kelamin lain). Oposisi gender tak hanya terfokus pada perbedaan saja tetapi juga paa konflik, kesalahpahaman, dan mistifikasi; pertarungan antar jenis kelamin, jurang gender. Tapi, seiring berjalannya kolaborasi pria-wanita melalui kegiatan heteroseks, oposisi mengandung unsur baru yaitu “saling melengkapi” (komplementer). Seperti terlihat pada ungkapan “my better half” (belahan jiwaku), ideologi komplementer menekankan karakter dan peran saling tergantung yang diperlukan sebagai syarat ekologis. Rasa ketertarikan (oposisi yang menimbulkan rasa ketertarikan) dan kenyataan bahwa seseorang dibutuhkan orang lainnya makin menekankan bila diferensiasi gender inilah yang menjaga komunikasi agar teratur. Pandangan yang menganggap diferensiasi gender sebagai sentral fungsi sosial dinamakan fungsionalisme. Di samping itu, diferensiasi gender juga merupakan salah satu komponen penting ideologi gender yang penting artinya bagi diskursus gender konservatif.
            Oposisi gender terdapat di mana-mana, meresap ke dalam berbagai pengalaman; muncul di berbagai tempat dan dalam berbagai bentuk. Kita telah berbicara mengenai kekuatan sosial yang melebih-lebihkan ukuran statistik laki-laki dan perempuan. Kita juga telah membahas citra laki-laki atas perempuan dalam media berkaitan dengan pembentukan hasrat terhadap pasangan idaman tertentu. Benar adanya bila tinggi badan rata-rata perempuan lebih sedikit dibanding laki-laki, nyatanya hanya terjadi pada sebagian kecil pasangan heteroseks di mana si laki-laki tidak lebih tinggi dari si perempuan. Tak bisa dipungkiri, fakta ini membuktikan kekuatan citra gender.
Oposisi gender sangat mungkin dilekatkan pada apa saja. Oposisi besar-kecil tidak hanya mendiferensiasi laki-laki dan perempuan tetapi juga beroperasi di dalam kategori laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang lebih kecil dibanding laki-laki lain dianggap kurang maskulin sedangkan perempuan yang lebih besar dibanding perempuan lain dipandang kurang feminin. Susan Gal dan Judith Irvine (1995) menamakan oposisi macam ini dengan istilah rekursif (bahasa Inggris: recursiveness). Recursiveness merupakan salah satu unsur kekuatan dalam pemaksaan gender; orang-orang mencoba membandingkan diri mereka bukan dengan orang-orang lain gender melainkan dengan orang-orang dari gender mereka sendiri. Lelaki yang dianggap feminin (atau keperempuan-perempuanan) dan perempuan yang dianggap maskulin (atau kelelaki-lakian) dikatakan sebagai laki-laki dan perempuan inferior. Mereka kerap dipandang sebagai manusia yang berusaha (karena tersesat) menjadi orang yang lebih dihargai. Apa yang telah diceritakan di atas menunjukkan bila perilaku maskulin pada perempuan tidak terlalu mendapat stigma bila dibanding dengan dengan perilaku feminin pada laki-laki. Gender dan heteroseksualitas juga berasosiasi pada paradigma ketaknormalan gender yaitu dengan homoseksualitas terutama pada anak laki-laki dan pria dewasa. Pada masyarakat Barat modern, pengaturan gender sangat erat kaitannya dengan pengaturan pilihan seksual. Anak usia empat tahun akan dihindarkan dari kelambu bermotif bunga-bungaan dan diberi yang bermotif garis-garis karena ayahnya tak ingin ia menjadi gay.

Pembagian Kerja.
Oposisi gender tradisional seperti yang disebutkan sangat terkait dengan pembagian kerja pada setiap strata dalam masyarakat. Praktik bukan hanya berwujud pembagian kerja secara fisik tetapi juga secara emosional. Pembagian kerja bukan semata pembagian aktivitas (dimana aktivitas mendeterminasi pola asosiasi, pergerakan, dan penggunaan ruang). Pembagian kerja mengarah pada dan menanamkan kualitas gender yang oposisional. Misalnya, oposisi tersebut dimuati oleh pandangan tentang kebutuhan dasar orang lain sehingga hanya bisa berfungsi bila berorientsi pada orang lain (dimaksudkan agar bisa berpadu-padan dengan tubuh dan pikiran orang lain dan apa saja yang mereka kerjakan). Pada saat bersamaan, pekerjaan macam ini akan menjadikan seseorang terbiasa pada pekerjaan dan kebutuhan orang lain.  
Pembagian kerja dapat juga berarti pembagian nilai (mengingat beberapa pekerjaan dan jangkauan yang dimilikinya mengandung kekuatan dan prestise lebih dibanding lainnya). Pada bermacam masyarakat, pembagian kerja bergender melibatkan kekuatan dan status diferensial. Pekerjaan laki-laki (atau yang lebih dikenal sebagai “wilayah” laki-laki) memiliki kekuatan kemasyarakatan yang lebih besar dan masuk melalui penempatan barang, jasa, serta kontrol ritual. Laki-laki, pada sebagian besar budaya, memiliki akses pada posisi publik (berkaitan dengan kekuatan dan pengaruh) lebih kuat dibanding perempuan. Sedangkan bagi perempuan, pengaruhnya lebih condong pada wilayah domestik dan nonpublik. Pada keduanya, pengaruh yang ada dibatasi oleh wilayah masing-masing. Karena wilayah privat bergantung pada tempatnya di tengah-tengah wilayah publik, posisi puncak seorang perempuan domestik di dalam orde sosial bergantung pada posisi partner laki-laki nya di tengah masyarakat. Kemampuan perempuan dalam menggunakan pengaruh dan kekuatannya di wilayah privat bergantung pada bagaimana si laki-laki mengalokasikan kepemilikan yang mereka punya di tengah-tengah publik.
Di masyarakat Barat, pembagian kerja tergender sangat berhubungan dengan alokasi fungsi perempuan di wilayah domestik atau privat dan alokasi kekuasaan perempuan pada kekuasaan publik laki-laki. Orang-orang kerap mengkorelasikan pembagian kerja model seperti ini dengan peran reproduksi. Perempuan, sebagai subjek yang mengandung anak, tak hanya bertugas melahirkan namun juga membesarkan. Untuk urusan pemeliharaan, pekerjaan perempuan tidak hanya dilakukan untuk anak-anak melainkan juga seluruh keluarga. Selain itu, perempuan dibebani tugas merawat rumah tempat tinggal mereka. Bila pembagian kerja hanya mengacu pada jenis kelamin maka perempuan bertugas mengandung dan mengasuh anak sedangkan si laki-laki tidak. Perempuan tentunya, tidak akan diperbolehkan melakukan pekerjaan lain saat mengandung dan mengasuh. Di balik semua hal di atas, pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin bukan bergayut pada fungsi reproduksi yang terjadi secara berkala atau tidak sama sekali dalam kehidupan seorang perempuan. Pembagian kerja secara seksual di area manapun terjustifikasi (secara standar) oleh keperluan biologis sebagai ayah atau ibu. Tentu saja, potensialitas reproduksi bukan hal yang membenarkan pembagian kerja secara seksual (perempuan dijauhkan dari pekerjaan tertentu karena dianggap kurang mampu melakukannya bahkan bila aktivitas itu tidak membutuhkan kekuatan fisik). Ada juga perbedaan keseimbangan jenis kelamin pada alokasi kerja karena keseimbangan ini dibutuhkan demi mencapai maksud yang diinginkan (pekerjaan tertentu yang membutuhkan kemampuan fisik di luar kebiasaan akan dikenakan pada orang-orang kuat; seringkali laki-laki tapi ada pula yang perempuan). Maka dari itu dapat dikatakan bila masyarakat di seluruh dunia telah mengatur alokasi aktivitas dan tanggungjawab secara murni dengan basis gender tanpa memperhatikan aktivitas reproduksi dan ukuran tubuh. Kesimpulannya, pembagian kerja secara seksual hanya sedikit atau bahkan tak berkorelasi sama sekali dengan aktivitas reproduksi dan ukuran tubuh. Eksistensi pembagian kerja bersifat universal tetapi tidak bagi detil pembagiannya (hal ini tidak terlalu mengejutkan). Apa yang dikatakan sebagai pekerjaan atau peran laki-laki di suatu masyarakat dapat dianggap sebagai milik perempuan.
Pada pembagian sektor privat dan publik, perempuan biasanya ditugasi untuk memenuhi kebutuhan harian setiap orang (seperti sandang, pangan, kebersihan, pemeliharaan anak) dan merawat semuanya (orang-orang dan tempat tinggal). Sampai sekarang, model pembagian semacam ini telah menjauhkan perempuan dari sektor publik. Walaupun saat ini banyak perempuan Barat yang bekerja di luar rumah, pekerjaan mereka tak lebih merupakan perluasan dari sektor domestik. Pekerjaan perempuan tradisional berkutat pada bidang jasa yang tak jauh-jauh dari peran sebagai pengasuh, pelayan, dan pendukung seperti guru bagi anak-anak, perawat, sekretaris, dan pramugari. Disamping itu, ada pula pembagian kerja secara emosional. Di manapun mereka berada, perempuan lebih diharapkan untuk mengingatkan hari ulang tahun, menenangkan anak yang terluka, dan menunjukkan perhatian ke orang lain daripada laki-laki. Lelaki, di sisi lain, lebih diinginkan untuk mengambil keputusan, memberi saran dan mempraktikkan keahlian, atau memecahkan problem yang berhubungan dengan mekanika.
Sangat mungkin untuk menyambung daftar ini sampai panjang; penjual hardware, penjual sandang dan sepatu pria, dan komputer. Walau kerap didapati laki-laki penjual sepatu wanita, jarang dari mereka ditemukan menjual gaun atau pakaian dalam perempuan. Lain untuk wanita yang sering ditemui menjual pakaian pria (apapun itu). Saleswomen menjual peralatan memasak, pakaian dalam, dan bunga. Laki-laki membangun atau membuat sesuatu dari kayu dan logam sedangkan perempuan dengan plastik. Laki-laki melakukan olahraga yang memungkinkan banyak terjadi kontak fisik sedangkan perempuan melakukan yang sebaliknya (atau olahraga perorangan). Di rumah, perempuan memasak, membersihkan rumah, dan merawat anak sedangkan laki-laki berkebun, merawat mobil, dan memperbaiki rumah. Daftar ini masih dapat diperpanjang, berdasarkan pertimbangan situasi atau stereotip. Dibandingkan dahulu, saat ini lebih sering ditemukan laki-laki yang memasak atau merawat anak dan perempuan yang mengganti oli atau membersihkan toilet tetapi pembagian kerja tergender masih saja tertanam dalam berbagai kesempatan. Pada beberapa universitas, para administrator lebih memprioritaskan cuti hamil perempuan dibanding cuti untuk laki-laki karena mereka takut para laki-laki tersebut akan mempunyai waktu lebih longgar untuk melakukan penelitian sendiri. Perempuan masih sering mendapat penolakan ketika berniat kerja sebagai mekanik atau tukang ledeng. Dan bila kita mencermati buku ini lebih teliti, praktik menyangkut perbedaan jenis kelamin (terutama bila dikaitkan dengan penggunaan keyakinan mengenai perbedaan untuk menjelaskan dan menginterpretasikan orang dan pekerjaannya) merupakan cara ampuh yang menjadikan gender sangat kuat di tengah masyarakat.
Korelasi pembagian kerja dengan prasangka kualitas laki-laki dan perempuan menempatkan pembagian tersebut pada posisi problematis. Atribut “mengasuh” tampak selalu mengikuti aktivitas perempuan. Seorang perempuan yang menyiapkan makanan dianggap sedang “merawat” keluarganya namun tak sama halnya dengan laki-laki yang sedang memasak barbecue. Aktivitas perempuan acap dipandang sebagai “pengasuhan” walau yang bersangkutan tak bermaksud untuk “mengasuh”. Aktivitas laki-laki dapat mendatangkan prestise hanya dengan mengasosiasikan pekerjaan itu dengan laki-laki yang bersangkutan (tanpa memperhatikan nilai inheren pekerjaan dimaksud). Bila perempuan memasak untuk keperluan domestik maka laki-laki memasak karena ia menjadi koki profesional (biasanya di haute cuisine). Proses genderisasi kerja ini semakin nyata terlihat saat pekerjaan yang sebelumnya ditangani oleh laki-laki diambil alih oleh perempuan; pekerjaan tersebut kehilangan kekuatan dan prestise. Kita dapat melihat contohnya pada Perang Dunia II saat para laki-laki dipanggil untuk mengikuti wajib militer dan perempuan mengambil alih pekerjaan yang mereka lakukan sebelumnya. Perempuan menjadi kasir bank; sebuah pekerjaan yang diperuntukkan bagi laki-laki semasa praperang, dengan asumsi hanya laki-lakilah yang mampu menangani uang dalam jumlah besar. Setelah perang usai, perempuan tetap berada pada posisi ini hanya saja pekerjaan di atas menjadi “pekerjaan khusus perempuan” dan dipandang sebagai semata kerja ketatausahaan.
Peran domestik juga membatasi alokasi waktu. Memberi makan, membersihkan, menyiapkan pakaian, dan tugas rumah tangga lain sangat memakan waktu. Jadi, bisa disimpulkan bila waktu yang dipunyai perempuan diatur oleh kebutuhan hidup tanpa henti orang lain. Di lain pihak, tugas yang dilakukan laki-laki dalam lingkar domestik kelas menengah sifatnya berkala. Membuang sampah, memelihara kebun, memperbaiki kerusakan adalah jenis pekerjaan yang dapat diatur jadwalnya jika dikaitkan dengan pekerjaan-pekerjaan lain yang harus dilakukan oleh orang bersangkutan. Waktu yang dibutuhkan perempuan di pekerjaan domestiknya menjadikan mereka kesulitan berkarya (layaknya si laki-laki) di sektor publik.
Peran domestik perempuan mempersempit ruang privat mereka dan menjadikan laki-laki dominan di ruang publik. Hal ini juga berdampak pada aktivitas perempuan di rumah; dalam kerangka kerja dan ruang tentunya. Sedangkan bagi laki-laki, keuntungan ini berimbas pada banyaknya kegiatan luar rumah yang bisa mereka kerjakan serta mobilitas dan akses yang lebih longgar menuju ruang publik. Dalam sejarahnya, eksklusi perempuan dari situasi publik telah menjadi semacam praktik penggabungan gender dan kelas. Pada masa Victoria di Inggris, perempuan “baik-baik” (bahasa Inggris: nice) tak membaca koran, mendengar pidato, atau pergi ke tempat-tempat di mana masalah kemasyarakatan didiskusikan. “Baik-baik”, pada kasus kali ini, disinonimkan dengan “berkelas” (bahasa Inggris: elite). Jika perempuan kelas kaya selalu dihindarkan dari masyarakat maka lain dengan kelas miskin yang tak pernah mempraktikkan pola diskriminatif macam ini pada perempuan-perempuan mereka. Perempuan miskin jaman Victoria pergi ke jalan-jalan, bekerja di pasar, dan mengetahui apa yang terjadi di dunia luar. Berdasar atas ketidakmampuan ekonomi, mereka dianggap sebagai bukan “baik-baik” (bahasa Inggris: nice) melalui standar yang diatur oleh kelas penguasa. Hal ini adalah salah satu contoh dari apa yang telah kita sebutkan pada bab sebelumnya bahwa gender tidak pernah dapat independen dari kategorisasi sosial lain yang lebih menonjol (dalam kasus kita kali ini adalah kelas). Perempuan masa kini, dari kelas apapun, dan tentu saja dengan cara apapun, ikut ambil bagian dalam ranah publik. Namun demikian, perempuan tersebut kerap diingatkan bila wilayah itu bukan milik mereka. Mereka juga sering dinasihati agar ditemani oleh laki-laki agar lebih terlindungi.
Dikotomi privat/publik berdampak pada berbagai hal bahkan yang dikategorikan pas untuk perempuan. Perempuan di jaman Victoria didorong untuk mengikuti perkembangan seni rupa dan musik namun mereka hanya dianjurkan untuk melakukannya secara tertutup. Linda Nochlin (1992) meneliti mengapa hanya sedikit seniman perempuan “besar”. Yang bersangkutan menyimpulkan; pada era di mana subjek artis “besar” bersifat religius dan pada saat seni difokuskan sebatas pada penggambaran tubuh manusia, hanya laki-lakilah yang diperbolehkan mempelajari sang model (baik laki-laki maupun perempuan). Karena alasan itulah, perempuan tak mampu mengembangkan keahlian yang dibutuhkan untuk memproduksi citraan (lukisan) macam Rembrandt. Selepas masa itu, seni impresionistis terpusat pada situasi di mana perempuan tidak memiliki akses untuk menuju ke sana seperti rumah pelacuran, belakang panggung balet, dan kedai minuman. Dua seniwati masa itu yaitu Mary Cassat dan Rosa Bonheur terfokus pada latar domestik (perempuan dan anak-anak di tempat tinggal mereka) di mana mereka memiliki akses untuk memasukinya. Bukan suatu kebetulan jika karya bertema semacam ini dianggap “karya besar” yang tak bernilai.

Ideologi, Kepercayaan, dan Kekuasaan.
            Kepercayaan dan pandangan dunia orang-orang tergantung pada posisi mereka di masyarakat; seorang perempuan yang dilahirkan dari kelas pekerja berkulit hitam memiliki kehidupan yang berbeda dengan seorang laki-laki yang berasal dari kelas menengah ke atas berkulit putih. Perbedaan pengalaman ini melahirkan perbedaan pengetahuan, perbedaan kesempatan, dan perbedaan pandangan dunia. Pierre Bourdieu (1977b) menggunakan kata habitus untuk mengistilahkan seperangkat  kepercayaan dan kecenderungan yang dikembangkan oleh seseorang sebagai hasil akumulasi pengalaman yang didapatkan di posisi tertentu dalam masyarakat. Tergantung pada posisinya dalam masyarakat, orang bersangkutan akan memandang dan mengalami hal yang berlainan dan mengenal orang-orang, mengembangkan pengetahuan, serta keahlian yang berbeda. Orang tersebut juga akan berpartisipasi dalam percakapan dan mendengar pembicaraan yang berbeda (mereka akan ikut andil dalam diskursus yang berlainan). Diskursus adalah aktivitas bermakna sosial (paling sering berupa pembicaraan tapi selain itu, kegiatan nonverbal juga termasuk di dalamnya) di mana gagasan terkonstruksi terus-menerus. Ketika berbicara mengenai sebuah diskursus (atau wacana) tertentu, kita mengacu pada sejarah tertentu sebuah pembicaraan yang berkaitan dengan gagasan atau seperangkat gagasan tertentu pula. Jadi, ketika berbicara tentang satu atau bermacam wacana gender, kita sedang mengacu pada hasil kerja seperangkat gagasan tentang gender dalam satu atau beberapa bagian masyarakat.
            Setiap posisi sosial memiliki perspektif dan kepentingan sendiri-sendiri. Pemahaman orang mengenai apa yang benar dan pantas dan mengenai apa yang baik bagi mereka, sekeliling mereka, dan dunia seluruhnya berbeda satu sama lain. Tak ada “pengetahuan”, “fakta”, atau “kebenaran umum” yang tak termediasi oleh suatu posisi tertentu dan kepentingan yang diembannya. Perbedaan pengalaman antara perempuan kelas pekerja berkulit hitam dengan laki-laki kelas menengah ke atas berkulit putih mendorong mereka untuk memiliki perbedaan pengertian terhadap dunia dan untuk berpartisipasi dalam wacana yang berlainan. Kita telah berbicara tentang ideologi sebagai sebuah sistem kepercayaan yang ditujukan untuk menjelaskan, membenarkan, menafsirkan, dan menilai orang dan aktivitas mereka. Bagi sebagian orang (e.g. Foucault. 1972) ideologi dan wacana tidak bisa dibedakan; keduanya adalah proyeksi kepentingan orang-orang dalam suatu lokasi sosial tertentu. Yang lain mengartikan ideologi sebagai sebuah wacana yangmempertemukan pertarungan kekuatan sentral. Terry Eagleton (1991. Hal: 8) berpendapat bahwa: “pertengkaran suami istri di waktu makan pagi mengenai siapa yang harus membalik toast bukanlah persoalan ideologis, hal ini akan menjadi ideologis saat, misalnya mulai mengikutkan kekuasaan seksual, kepercayaan gender, peran dan sebagainya”. Namun demikian, Eagleton tak terlalu jeli dalam mengaitkan sebuah wacana dengan idelogi tertentu. Wacana gender tak hanya muncul dari pembicaraan eksplisit tentang gender tetapi juga muncul melalui perbincangan mengenai hal-hal tertentu (seperti toast yang gosong) yang lalu bercabang ke gender. Terlalu banyak gurauan tentang kecanggungan laki-laki di dapur; peran perempuan sebagai koki semakin teruji seiring dengan ketidakmampuan laki-laki di dapur. Fakta bahwa masalah gender ini muncul dalam gurauan menjadikannya established status (status yang tak terbantahkan); sebagai gagasan lama yang menaturalisasi korelasi antara gender dan kegiatan dapur. Konsekuensi yang didapat terbawa hingga ke luar dapur. Pada sebuah kantor misalnya, di mana seorang sekretaris membuatkan kopi; sekretaris perempuan yang meracik kopi berasa tak enak akan dianggap tak berkompetensi di dalam kerjanya bila dibanding dengan sekretaris laki-laki. Sekretaris perempuan bersangkutan akan dipandang tak mampu melaksanakan fungsi “alami” sedangkan si sekretaris laki-laki akan dimaafkan karena pekerjaan membuat kopi tersebut tidak sesuai dengan fungsi “alami”nya. Seorang laki-laki yang memasak di rumah akan mendapat “pujian” lebih (dan lebih banyak bantuan dari orang lain) dibanding dengan perempuan; si perempuan dianggap hanya melakukan yang sudah seharusnya ia kerjakan sedang si laki-laki dipandang telah melakukan apa yang tak semestinya ia lakukan.
            Cara berpikir tertentu akan menjadi kebenaran umum ketika tak ditelusuri asal-muasalnya. Hal ini terjadi saat cara-cara tersebut terlampau sering muncul dalam wacana keseharian. Sebuah wacana akan mendapatkan status istimewa berkat kekuatan orang-orang yang berinteraksi di dalamnya. Wacana ini akan lebih sering terdengar di berbagai tempat dan akan mendapat “jam siar” lebih berkaitan dengan otoritas tertentu. Dan karena wacana dimaksud merembes ke dalam institusi-institusi, kekuatannya mampu bermetamorfosa menjadi “pengetahuan”, “fakta”, atau “kebenaran umum”. Berkat posisi penyokong aslinya, sebuah wacana malah dapat menghapuskan sejarahnya sendiri (seiring dengan persebarannya) dan menutupi fakta bahwa dirinya adalah ideologi. Sebuah ideologi ditanamkan melalui penerapan kekuasaan dari atas ke bawah. Kita dapat melihat satu contoh yang dipraktikkan oleh pemerintah Taliban di Afghanistan; mereka menempatkan perempuan pada posisi subordinatif di hadapan hukum. Sebuah ideologi dominan bisa menuai keberhasilan bukan dengan pemaksaan kekuatan secara kasar atau penanaman gagasan secara sadar. Ideologi ini menebar pengaruh melalui kemampuannya untuk meyakinkan orang-orang bahwa dirinya bukanlah ideologi melainkan sesuatu yang memang “apa adanya” dan “alami”. Proses semacam ini diistilahkan sebagai naturalisasi. Pemakaian kata “naturalisasi” ini bukan dimaksudkan sebagai sifat-sifat biologis melainkan sebagai satu cara untuk meyakinkan nalar orang-orang yang tak memerlukan penjelasan.
            Teori hegemoni Anton Gramsci (1971) menyatakan bila kekuatan ini berada dalam struktur rutin harian. Teori ini menekankan bahwa bentuk paling efektif dominasi berwujud asimilasi populasi yang lebih besar ke dalam pandangan dunia seseorang. Hegemoni bukan cuma masalah persebaran gagasan tetapi juga menyertakan organisasi kehidupan sosial secara lebih general. Sembari mengutip dan mengembangkan teori dari Gramsci, Raymond Williams (1977. Hal: 109) menyatakan:

Di dalam hal pengakuan terhadap keseluruhan proseslah konsep hegemoni mampu melampaui ideologi. Hal yang menentukan bukan cuma sistem sadar tentang gagasan dan kepercayaan melainkan seluruh proses sosial terhidupi yang secara praktis diorganisasikan oleh makna dan nilai-nilai yang dominan dan spesifik.

            Williams menekankan bahwa hegemoni tak pernah bersifat total. Sherry Ortner (1990) bergayut pada ketaktotalan ini untuk berbicara mengenai “ketaksesuaian” hegemoni gender yang dapat “dipelajari interaksi jangka pendek dan panjangnya antara satu dengan/untuk lainnya”.
            Di dalam buku ini, “ketaksesuaian” akan sangat sering dibahas dengan tujuan mengamati hegemoni kuat yang ada di masyarakat kita. Dengan...

Institusi.
Kategori seperti usia, kelas, gender, dan etnisitas tertulis di atas kertas karena memang sengaja dibangun ke dalam institusi formal kita. Kita diminta untuk mengisikannya di atas selembar kertas. Beberapa diantaranya menentukan status sipil, dan hak, serta kewajiban kita. Seiring dengan perubahan masyarakat, beberapa kategori di atas berkurang maupun bertambah tingkat kepentingannya. Selain itu, cara pencantumannya di dalam institusi juga berubah. Sampai sekarang, kategori rasial negro yang ditentukan dari ada atau tidaknya darah Afrika di dalam tubuh seseorang masih merupakan kategori yang menjadi status legal bagi orang tertentu di beberapa bagian AS. Walau status spesifik (seperti juga nama) dari kategori rasial ini berubah dari tahun ke tahun, status legal melalui pemantauan jumlah populasi (e.g. sensus) dan status informal masih juga berlaku di Amerika. Kategori rasial ini lebih merupakan kategori yang didasarkan pada kriteria biologis dan  bukannya pada jenis kelamin atau gender. Tak seorang pun mampu mengidentifikasi “darah Afrika”; kriteria yang dipakai untuk memberi label rasial selalu bertolak dari penampilan fisik atau pengetahuan-pengetahuan tertentu (yang dipergunakan untuk mengakali penampilan fisik yang tidak sesuai). Oleh karena itu dapat dikatakan jika identifikasi karakteristik fisik “Afrika” sangat bersifat subjektif. Rasialisme telah tertanam di dalam wacana identitas dan hidup seseorang dan apa yang jadi masalah adalah pengalaman menjadi “kulit hitam”, “kulit putih”, “orang Asia”. 
Rezim gender (Connel. 1987) institusi global seperti korporasi dan pemerintahan menciptakan semacam lokus “resmi” bagi orde gender. Hingga abad terakhir, peran perempuan, baik dalam korporasi maupun pemerintahan, sama sekali tak dapat dinafikan. Perempuan Amerika tidak memilih pada pemilu sampai tahun 1919. walau perlahan perempuan mulai memasuki dunia kerja, penempatan mereka sebatas pada posisi yang rendah. Bahkan saat dunia mulai memasuki abad ke-21, hanya sedikit dari mereka yang menempati posisi sebagai pejabat eksekutif 500 perusahaan terbaik Amerika (di tahun 2001, hanya 4 perempuan yang masuk ke dalam 500 besar) dan lebih dari itu, peran perempuan dalam posisi pemerintahan juga sangat minor. Institusi-institusi terkuat di AS didominasi dan dipimpin oleh laki-laki. Walau detil dan perluasannya beragam, asimetri gender paa berbagai otoritas institusional dapat ditemukan di seluruh pojok dunia (bahkan di tempat-tempat yang jelas terdapat ideologi persamaan gender).
Di dalam institusi-institusi besar, gender tak cuma muncul lewat struktur institusional tetapi juga melalui keseimbangan aktivitas yang terjadi pada basis sehari-hari. Siapa yang memberi atau menerima perintah; siapa yang harus menjawab telepon dan percakapan macam apa yang mereka lakukan? Siapa yang memimpin rapat, siapa yang diharapkan dapat memberi komentar, dan siapa yang tidak? Pendapat siapa yang diterima dan dipuji oleh orang lain? Oposisi tentang makna gender sangat tertanam ke dalam ideologi tempat kerja. Laki-laki yang dianggap “rasional” dan “tak berperasaan”lebih diperlukan sebagai manajer. Pada saat yang sama, seiring dengan pergerakan perempuan menuju ke puncak kepemimpinan perusahaan, kualitas yang mereka hadirkan dalam bekerja pun berubah (semakin banyak kualitas baru yang dimiliki, perempuan bersangkutan akan semakin dianggap “bernilai”). Banyak pendapat timbul dari pemakaian nilai-nilai tertentu macam “pengasuh” dan “kooperatif” ke dalam perusahaan dan sejalan dengan ini, istilah seperti “intelegensi emosional” pun mulai memasuki wilayah manajerial. Dengan kata lain, nilai perempuan terhadap bisnis berkaitan langsung pada kemampuan mereka untuk mengubah dan mengembangkan kultur bisnis. Benar adanya jika perempuan dianggap membawa keahlian baru ke tempat kerja sehingga mereka layak dinilai tinggi. Namun, fokus lebih pada “kemampuan khusus perempuan” dapat dikatakan menggenderkan jenis keahlian tertentu dan memaksa posisi tertentu pada perempuan yang bekerja di perusahaan. Menghubungkan nilai perempuan dengan tempat kerja di mana keahlian baru dipraktikkan secara efektif di sana telah meniadakan kemampuan mereka untuk melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan laki-laki. Institusi pendidikan juga mereproduksi gender dengan berbagai cara. Sebagai tempat bersosialisasi, sekolah adalah institusi utama di mana konstruksi gender dipraktikkan. Sekolah dasar (beberapa waktu lalu) memisahkan anak laki-laki dengan perempuan; menjajarkan mereka secara terpisah, mempertemukan mereka di dalam kompetisi, dan memisahkan mereka untuk pendidikan fisik. Saat ini, sekolah-sekolah mulai menggalakkan persamaan gender, melarang adanya permainan sejenis, mengurangi perbedaan gender di dalam kelas, dan memberikan sanksi pada perilaku gender diskriminatif yang dilakukan anak-anak. Usaha sadar untuk menanamkan persamaan gender ini, sebenarnya, malah telah tergenderkan. Kita dapat melihatnya sebagai praktik awal yang menunjukkan adanya perbedaan gender. Anak-anak bersangkutan seringkali disadarkan bila penyampuran anak laki-laki dan perempuan yang dilakukan guru mereka memiliki tujuan tertentu. Aktivitas ini semakin menegaskan bahwa anak-anak tersebut memang memiliki kelompok jenis kelamin tertentu.
Karena proses belajar-mengajar lebih kerap dilakukan dengan berbicara, praktik gender verbal sering terjadi di sekolah. Dikotomi gender ditekankan setiap saat si guru menyebut sekelompok anak-anak dengan istilah “girls and boys”. Selain itu, gender juga sering dimanfaatkan untuk menerangkan konsep oposisi seperti hitam/putih, baik/buruk, atau laki-laki/perempuan. Ketika gender digunakan sebagai metafora untuk mempelajari sesuatu, terjadilah pemaksaan padanya sehingga memunculkan materi-materi gender baru. Beberapa guru mengajarkan cara membedakan huruf dengan atribusi gender yaitu maskulin untuk huruf konsonan dan feminin untuk huruf vokal seperti; “Nyonya A, Tuan B, Tuan C, Tuan D, Nyonya E, dan sebagainya”.
Dalam sistem pendidikan, laki-laki lebih diharapkan daripada perempuan untuk berada di posisi administratif utama. Disamping itu, keseimbangan gender pada posisi sebagai pengajar juga berubah secara mengejutkan. Kita dapat melihatnya ketika seseorang bersekolah mulai dari masa prasekolah, sekolah dasar, sekolah menengah, sampai universitas (perempuan lebih sering diberi tugas untuk mendidik anak-anak kecil sedangkan laki-laki akan menangani mereka ketika sudah beranjak dewasa). Pandangan bahwa perempuan adalah pengasuh tertanam terlampau dalam pada keyakinan umum sehingga mereka dianggap lebih cocok mengajar anak-anak. Perlunya menambah guru laki-laki pada sekolah dasar berpatokan pada klaim bahwa anak-anak (terutama laki-laki) tak terlalu memerlukan “pengasuhan” dan lingkungan yang kekanak-kanakan. Dianalogikan dengan tren akses lebih perempuan pada perusahaan, laki-laki mampu memasuki posisi edukasional perempuan bukan karena mereka bisa mengasuh tetapi karena mereka mengusung peran penting sebagai laki-laki ke dalam praktik pendidikan. Pengalihan gender serupa terjadi di institusi pendidikan dan masalah yang ada pun semakin bersifat teknis. Laki-laki lebih sering mengajarkan ilmu alam, matematika, dan teknik sedangkan perempuan mengajarkan ilmu humaniora dan (jarang sekali) ilmu sosial. Bahkan lebih dari itu, perempuan lebih kerap menjadi biolog daripada fisikawan. Metafora ilmu “keras” dan “lembut” telah mengikat pembagian kerja intelektual (seperti yang terjadi pada huruf vokal dan konsonan) dengan karakteristik tubuh dan tipe kepribadian (pada kasus ini, rasionalitas laki-laki mengemuka). Kesimpulannya, pandangan esensialis bila perempuan lebih bersifat “mengasuh” dan laki-laki adalah “rasioanal” telah tertanam pada institusi pengetahuan kita dan cara kita berbicara tentangnya.
Selain institusi formal, ada pula institusi-institusi informal yang mempraktikkan hal serupa seperti pemandian bayi, pesta sweet sixteen, dan pesta khusus laki-laki. Jadi, dapat daat dibayangkan berapa jumlah institusi yang tak tergenderkan. Banyak institusi informal yang ditata dengan formal. Olahraga baseball, misalnya, merupakan salah satu contoh institusi Amerika. Walau dimaksudkan sebagai kegiatan informal, baseball distruktur secara formal mulai dari tingkat lokal hingga liga profesional. Status institusional keluarga yang bersifat kompleks bermula pada pendapat tentang apa sebenarnya yang menjadikan sebuah keluarga. Beberapa orang berpendapat bahwa pernikahan adalah dasar moral danlegal sebuah keluarga. Pernikahan, dari perspektif ini, mengatur hubungan heteroseks antara seorang perempuan dan laki-laki. Pernikahan menjadikan mereka bertanggung jawab atas keturunan yang dihasilkan. Jadi, keluarga bisa dimaknai sebagai sebuah unit yang terdiri atas suami, istri, dan anak. Beberapa berkeras bahwa percampuran atau komitmen yang dilakukan oleh dua orang dewasa serta anak yang mungkin dihasilkan dapat disebut sebagai keluarga. Selain itu, ada yang berpendapat bila berkumpulnya beberapa teman dekat (walau tanpa hubungan saudara) dalam sebuah ikatan adalah juga sebuah keluarga. Isu mengenai apa sebenarnya yang menjadikan sebuah keluarga berada di inti perbincangan tentang gender mengingat keluarga adalah situs primer terlegitimasi di mana reproduksi biologis dan sosial terjadi. Banyaknya usaha untuk melegalkan (dan menentang) perkawinan sejenis di Amerika menunjukkan bagaimana pentingnya institusi formal seperti pernikahan dan keluarga bagi orde gender.

Maskulinitas dan Feminitas.
            Pada bagian awal, kita telah menekankan bahwa generalisasi gender dapat dengan mudah meniadakan pengalaman-pengalaman gender yang ada. Semakin sering gender terjadi melalui praktik sosial dalam berbagai masyarakat, tak dapat dipungkiri bila konsep tersebut bersifat monolitik. Laki-laki dan perempuan, maskulinitas dan feminitas, di manapun berada, tidak dapat disamakan begitu rupa. Hal tersebut juga tidak dialami dan didefinisikan dengan cara yang sama.
            Di dalam bukunya yang bertajuk “Masculinities” (bahasa Indonesia: Maskulinitas), Robert Connell (1995) menentang gagasan true masculinities (bahasa Indonesia: Maskulinitas yang benar) dengan berargumen bahwa maskulinitas (seperti juga feminitas) bukanlah objek keheren melainkan hanya satu bagian dari struktur yang lebih besar. Dengan mengacu pada struktur inilah, Connell membedakan dan merinci dua jenis maskulinitas yaitu maskulinitas fisik kelas pekerja dan maskulinitas teknis kelas menengah ke atas. Connell menyimpulkan bahwa maskulinitas kelas pekerja selalu diasosiasikan dengan kekuatan fisik sedangkan maskulinitas kelas menengah ke atas dikaitkan dengan kekuatan teknis (ilmiah atau politis). Bukan maksud Connel untuk mengatakan bila kekuatan fisik tak begitu penting bagi laki-laki kelas menengah ke atas (maskulinitas ideal di masyarakat mengandaikan adanya kekuatan fisik). Kekuatan fisik sangat berarti penting untuk maskulinitas kelas pekerja karena kekuatan maskulin yang tertanam ke dalam market global hanya bersifat fisik. Beberapa laki-laki global lebih nyaman bila memiliki kekuatan fisik tertentu. Fakta terpenting adalah bahwa mereka mengatur kekuatan fisik para laki-laki lain di market global. Tentara dan buruh merupakan kekuatan fisik laki-laki global. Keperluan akan kemurnian pada konteks global telah membatasi kekuatan fisik laki-laki. laki-laki global harus selalu tampak pas dalam berpakaian, tangannya harus bersih dan tidak kapalan, dan gerakannya pun harus selalu anggun. Dua jenis maskulinitas di atas sudah sangat kuno, perkembangan teknologi telah mengurangi kaitan antara maskulinitas dan kekuatan fisik seiring dengan peningkatan kemakmuran finansial para laki-laki yang yang beranggapan bila mereka bekerja menggunakan otak. Berhubungan dengan konstruksi di atas, ada juga pencitraan kelas yang dipakaikan pada perempuan. Perempuan di market global diharapkan agar lebih kecil dan halus (dengan tubuh yang terawat bahkan sampai bagian terkecil). Bila kekuatan fisik diharapkan dimiliki oleh semua laki-laki, karakteristik “halus” ini juga diharapkan dimiliki oleh perempuan. Karena kerja fisik dan kemampuan membela diri sangat penting artinya bagi banyak perempuan di market lokal (di luar atau di dalam tempat kerja), fisik “halus” tidak begitu dihargai di wilayah ini (kombinasi menarik sifat feminin “halus” dan kuat dapat kita temui melalui perantara teknologi rekayasa kuku. Kuku panjang telah disimbolkan selama berabad lamanya sebagai indikasi ketakmampuan menjalani kerja kasar. Saat ini, perempuan yang bekerja kasar dapat menirunya dengan bantuan kuku palsu walaupun kelebihan ini sangat mungkin disalahgunakan).
            Ketakpedulian terhadap berbiaknya maskulinitas dan feminitas akan meniadakan pengalaman banyak orang. Salah satu contoh dapat diamati melalui sebuah penelitian terhadap anak-anak perempuan yang mendaftar di sekolah privat Emma Willard di AS bagian selatan. Psikolog Carol Gilligan dan koleganya (e.g. Gilligan, Lyons, dan Hanmer. 1990) menemukan bahwa saat anak-anak tesebut menginjak remaja mereka semakin tidak percaya diri, rendah diri, diferensial, dan secara umum kehilangan rasa setia kawan yang saat kanak-kanak dulu mereka punyai. Krisis kepercayaan diri yang ada pada anak-anak perempuan ini telah menjadi semacam konstruksi gender, dianggap sebagai kecenderungan perkembangan yang dialami semua anak perempuan. Statistik telah menunjukkan bila krisis macam ini memang benar-benar terjadi pada anak-anak perempuan kelas menengah; seperti yang mendatangi sekolah di mana Gilligan et.al. mengadakan observasinya. Tetapi, hasil ini hanya mencakup sejumlah kecil populasi. Angka statistik yang diambil dari anak-anak perempuan Afro-Amerika pada fase perkembangan yang setingkat menunjukkan kontradiksi; anak-anak bersangkutan tidak mengalami krisi tetapi malah semakin percaya diri (AAUW. 1992. Hal: 13). Dapat dikatakan bila perbedaan ini merupakan dampak perbedaan wacana gender dan heteroseksualitas (antara gadis-gadis Eropa-Amerika dengan Afro-Amerika). Anak perempuan Eropa-Amerika, setidaknya yang berada di kelas menengah, secara general dibesarkan dalam  wacana subordinasi perempuan dan ketergantungan material pada laki-laki (khususnya ketika membesarkan anak). Berbeda dengan mereka, anak-anak perempuan Afro-Amerika secara umum dibesarkan dalam wacana efektivitas perempuan dengan harapan bahwa mereka akan bertanggung jawab penuh terhadap diri sendiri dan terhadap anak-anak mereka nantinya (Dill. 1979. Ladner. 1971. Staples. 1973). Usia di mana murid-murid sekolah privat Emma Willard mulai kehilangan rasa setia kawan berkaitan dengan kemunculan market heteroseks (seperti sudah dijelaskan di atas). Saat anak mulai melihat dirinya sebagai agen market heteroseks, wacana gender dan heteroseksualitas mulai menginfiltrasi gagasan keberadaan mereka di dunia. Wacana heteroseksualitas yang beriring dengan perkembangan gadis-gadis di atas melemahkan anak-anak perempuan Eropa-Amerika dan menguatkan anak-anak perempuan Afro-Amerika. Faktanya, para pendidik paham jika anak perempuan Afro-Amerika menjadi cukup percaya diri selama periode ini. Walau begitu, karena kepercayaan diri bukanlah hal yang dominan dalam wilayah gender perempuan, mereka mencoba menghubungkannya dengan ras. Asumsi mengenai pengalaman gender memudahkan kita untuk menggeneralisasikan pengalaman yang terjadi pada suatu kelompok. Dan bukan kebetulan bila pengalaman yang dijadikan model berasal dari anak-anak perempuan kelas menengah berkulit putih dan bukannya anak-anak perempuan dari kelas pekerja atau Afro-Amerika.  
            Apa yang dilakukan oleh orang-orang tertentu akan lebih berdampak global berkat posisi mereka dalam masyarakat (diskursus gender orang-orang tertentu juga akan berefek sama). Karena alasan inilah gadis-gadis menderita krisis kepercayaan diri masa remaja di mana Gilligan menemukan adanya model kehidupan normatif; gadis “manis” (bahasa Inggris: nice) selalu bersikap diferensial (mengutamakan orang lain), pendiam, dan tak berpendirian. Hasilnya, perilaku asertif yang ditinjukkan oleh anak-anak perempuan Afro-Amerika di usia ini dipandang kurang tepat dan tidak feminin. Di sekolah-sekolah, anak perempuan Afro-Amerika sering terpinggirkan karena guru berkulit putih menganggap mereka berperilaku antisosial. Hal ini ironis sekali mengingat para gadis kulit putih yang mengalami “krisis percaya diri” seharusnya lebih ditolong. Fakta bahwa gadis-gadis kulit putih itu seharusnya meniru apa yang dilakukan saudari-saudari mereka tampaknya tak begitu jelas dipahami. Anehnya, banyak orang mengadakan program untuk membantu pemulihan krisis anak-anak perempuan Afro-Amerika (krisis yang mungkin malah tak mereka alami).
            Dengan ini, perempuan dan gadis Afro-Amerika tampak tak terlihat dalam diskusi tentang gender yang totaliter. Konstruksi krisis kepercayaan diri gadis-gadis remaja menghapus krisis yang sama dialami anak laki-laki dan meniadakan pengalaman anak laki Afro-Amerika yang tak terjebak dalam krisis seperti di atas. Citra feminitas yang hegemonis pada usia ini (kurangnya rasa percaya diri dan sikap subordinasi diri yang tak tentu) menggolongkan perilaku gadis-gadis Afro-Amerika sebagai non-normatif sehingga mereka dianggap agresif dan mengancam orang lain.
            Walau buku ini akan memfokuskan diri pada gender, kita tak akan menghilangkan keterkaitan pentingnya dengan kategori-kategori lain. Tak ada seorang pun yang benar-benar laki-laki atau perempuan. Tak ada satu pun yang betul-betul berkulit hitam atau putih. Tak ada yang benar-benar kaya atau miskin. Tak ada yang betul-betul tua atau muda. Bila berbicara tentang gender dan menganggapnya independen dari kategori-kategori lain dan sistem keistimewaan serta penindasan yang ditopangnya maka kita telah meniadakan jangkauan luas yang ada pada pengalaman-pengalaman gender itu sendiri (mencoba untuk memusatkannya pada hal-hal yang telah familier bagi kita). Gender sangatlah berbahaya walau demikian masih lebih baik bahaya yang disadari daripada bahaya yang tak disadari.

Praktik Gender.
            Kekuatan kategori gender dalam masyarakat telah membuat kita hidup dalam cara-cara yang telah tergenderkan. Selain itu, mustahil pula bagi kita untuk tidak memunculkan perilaku-perilaku yang telah tergenderkan saat berinteraksi dengan orang lain. Jadi, dapat disimpulkan bila pelestarian kategori gender sangat bergantung pada kuatnya penanaman di perilaku keseharian. Laki-laki atau perempuan, keduanya tak akan pernah bisa menjadi kategori sosial yang penting tanpa menampilkan perilaku gender (menggenderkan atau digenderkan) secara proporsional (bila salah satu kelompok manusia tak berlaku layaknya “laki-laki” atau “perempuan”). Dengan kata lain, orde gender dan kategori sosial (laki-laki maupun perempuan) mengada dalam praktik sosial.
            Istilah praktik sosial digunakan untuk menyebut aktivitas manusia sejauh ditekankan pada aspek konvensionalnya dan relasinya dengan struktur sosial. Walau struktur memaksa praktik sosial, struktur sendiri tak mendeterminasinya. Dengan kata lain, orang-orang dapat saja bebas saj bertindak selam tindakannya itu cocok dengan struktur yang ada. Contohnya, seorang perempuan yang sudah menikah lebih memilih untuk berdiam di rumah dan membesarkan anaknya, pada saat bersamaan sang suami bekerja untuk menyokong sisi finansial mereka. Tindakan orang-orang tersebut, dapat dikatakan, mereproduksi orde sosial yang ada. Seorang perempuan dapat pergi bekerja sedangkan suaminya tinggal di rumah untuk mengasuh anak-anak mereka. Perempuan lain memutuskan untuk menjadi orang tua tunggal bagi anaknya, sepasang heteroseks dapat memutuskan untuk tidak memiliki anak, atau mungkin; sepasang homoseks dapat memilih untuk mengadopsi anak. Bila hanya sedikit orang-orang berlaku seperti ini dalam masyarakat, efeknya tak akan begitu berpengaruh pada struktur sosial. Seiring dengan perkembangan pilihan dalam hidup, manusia manusia mulai menyusun praktik-praktik dan menentukan (walau tak sepenuhnya mendapat dukungan) cara-cara berperilaku. Perkembangan praktik-praktik nontradisional baru-baru ini telah memberi banyak kontribusi pada perubahan makna “laki-laki” dan “perempuan”, dan tentu saja pada perubahan orde gender serta struktur sosial yang (sebaliknya) membentuk praktik-praktik tersebut.
            Karena struktur dan praktik selalu berada dalam hubungan yang dinamis dan dialektis, perubahan padanya sangat mungkin terjadi. Dapat dikatakan jika orde sosial berubah secara kontinyu (bahkan pada situasi yang dianggap selalu stabil) melalui kejadian-kejadian yang merupakan reproduksi sosial. Setiap saat seorang gadis melenggok sambil mengenakan sepatu ibunya dan ketika seorang anak laki-laki membusungkan dada, mereka sedang mereproduksi perbedaan gender (berkaitan dengan cara bergerak) dan semua dampak yang timbul darinya. Hal yang sama juga terjadi saat seorang anak laki-laki bermain dengan boneka dan anak perempuan bermain dengan truk mainan; walau apa yang mereka lakukan (mungkin) tak begitu direalisasikan melalui praktik sosial. Hidup dan kehidupan sehari-hari adalah tentang perubahan (perubahan pada hal-hal yang terjadi, perubahan kreativitas dan kepandaian dalam pekerjaan); dalam ruang terbuka yang disisakan oleh berbagai institusi dan ideologi yang ada. Buku ini akan membahas tentang perubahan orde gender dan (tentu saja) posisi bahasa dalam praktik gender.
Dikutip dari Gender dan Inferioritas Perempuan (Sugihastuti dan Saptiawan, 2007)   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Lack of happiness