Rabu, 13 Juli 2011

STRATEGI PEMBELAJARAN SENI BUDAYA (TEATER) DI SEKOLAH


Oleh : Suyadi San, S.Pd., M.Si.
Sejarah menunjukkan bahwa masyarakat yang maju adalah masyarakat yang menghargai seni budaya. Berbekal keyakinan ini, maraknya pertumbuhan teater sekolah dalam beberapa tahun terakhir di Sumatera Utara, merupakan fenomena yang sangat menggembirakan.
Sekadar menyebutkan beberapa contoh (mohon maaf, jika ada yang tidak tercantum), ada Teater Temuga (SMA 3 Medan), Teater Enceng Godok (SMA 4 Medan), Temunsa (SMA 1 Medan), Teater Bianglala (SMA 1 Binjai), LKCST (MAN 2 Model Medan), Teater Fajar (MAN 1 Medan), dan lain sebagainya.
Perkembangan teater sekolah makin marak ketika Asosiasi Teater Sekolah (Asters) menggelar Parade Teater Sekolah Sumatera Utara di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) pada 2001-2004. Lomba Teater Pelajar Amuk Teater Sumatera Utara yang tiap tahun diadakan oleh Teater LKK Universitas Negeri Medan serta Festival Teater Pelajar di TBSU juga mendongkrak kreativitas dan produktivitas teater sekolah di Sumatera Utara.
Sejumlah pelajar lainnya memilih kelompok teater di luar sekolah, seperti yang tergabung di Teater Patria pada era 1980 dan 1990-an serta Teater GENERASI Medan.
Sebagai institusi kolektif, yang di dalamnya terdapat individu-individu, serta dipengaruhi ruang, waktu, pemikiran dan perkembangan zaman, sanggar-sanggar tersebut menjalani sifatnya yang alamiah, yaitu proses. Sehingga, ada sanggar yang setelah sekali pementasan lalu kemudian mati suri, ada yang berkembang secara elegan, serta ada pula yang maju secara pesat.
Di sisi lain, pertumbuhan tersebut berdampak terhadap kuantitas dan kualitas penonton. Ternyata bukan hanya anak sekolah yang mengunjungi pertunjukan teater, keluarganya pun turut serta. Selain itu, terdapat pula anggota sanggar yang setelah menamatkan studi, melanjutkan sekolahnya pada perguruan tinggi-perguruan tinggi seni di Padangpanjang maupun di pulau Jawa.
Perkembangan positif sebagaimana digambarkan di atas, semoga tidak membuat pelaku-pelaku teater larut dalam utopia. Sebab, pembinaan teater tidak pernah mengenal kata “selesai”. Pencapaian yang ada sekarang, jelas merupakan akumulasi banyak faktor.
Sebut saja peran pemerintah, peran kepala sekolah dan guru, peran keluarga, masyarakat, media massa dan lain sebagainya, serta yang tak boleh dilupakan adalah peran dari insan-insan pelaku teater itu sendiri, yang ditunjukkan lewat performa, perilaku dan unjuk karya.
Dengan pemahaman seperti ini, komunikasi dan silaturahmi kepada semua pihak, terutama antarpelaku seni teater, mutlak terus dilakukan.
Muara dari upaya tersebut adalah percepatan serasi antara pertumbuhan komunitas-komunitas teater dan kemampuan khalayak luas selaku kumpulan individu masyarakat penonton dalam mencerap, baik keberadaan organisasi maupun hasil karya. pementasan.
Keseimbangan antara dua aspek tersebut adalah tumbuh berkembangnya kesadaran dalam masyarakat tentang arti penting teater dalam dinamika sosial, yang bukan hanya sebagai sarana penghibur semata, melainkan sekaligus sebagai media pendidikan.
Di sisi lain, teater juga tumbuh dengan kepekaan membaca kondisi sosial masyarakat membaca tanda-tanda zaman, untuk kemudian diendapkan dalam permenungan jujur dan mendalam yang selanjutnya diwujudkan dalam pementasan karya teater.
Dengan demikian, tidak hanya keterwakilan dan rasa memiliki yang ada dalam benak dan hati masyarakat penonton ketika menikmati pertunjukan, tetapi juga bahwa teater dalam arti keberadaan dan perbuatan, berperan vital dalam proses sosial. Reposisi terhadap kedudukan dan fungsi teater dalam masyarakat, sesegera mungkin harus dilakukan secara bijak.
Betapa tidak, stigma buruk yang melekat pada teater, ternyata masih terlacak pada benak orang banyak. Ambil contoh ungkapan: “Ah, itukan cuma sandiwara!” Lantas, ketika seseorang yang sukses dikerjai rekannya akan mengatakan: “Busyet, akting Ente bagus!”
Ketika tidak terima dengan keputusan pengadilan, pihak-pihak yang merasa dirugikan berteriak lantang: “Jangan jadikan sidang pengadilan yang terhormat ini sebagai panggung sandiwara!”
Ketika terjadi kasus nyata penculikan, orang akan mengatakan peristiwa tersebut sebagai : “Drama Penculikan”. Bahkan, terhadap fenomena aneh tapi nyata yang terjadi di Indonesia, yaitu tetap pedenya figur-figur pemimpin masa lalu membuat rumah politik alias partai politik, padahal yang bersangkutan nyata-nyata pernah tersangkut hukum, orang yang mengaku dirinya tidak gemar politik praktis pun bisa dengan enteng mengatakan : “Ah, itukan cuma sandiwara politik...”
Stigma buruk tersebut tampaknya harus dibuang jauh-jauh. Caranya, tidak lain dengan mengusung teater ke bangku sekolah. Wah, teater bisa sekolah? Tentu saja. Seni teater ini bisa dimasukkan ke dalam kurikulum.
Ada berupa paket pembelajaran yang bisa dilakukan. Di antaranya melalui kegiatan ekstrakurikuler ataupun pengembangan diri.
Ada pula langsung menjadi mata pelajaran sendiri, yakni Seni Budaya (Seni Teater). Bahkan, ada pula yang kedua-duanya, mata pelajaran dan ekstrakurikuler, seperti di SMK Negeri 1 Percut Sei Tuan Deliserdang, SMA Harapan 1 dan 2 Medan.

Mengapa Harus Seni Budaya?
Salah satu pokok bahasan dalam pembelajaran Seni Budaya adalah teater. Tujuan pembelajaran studi teater ini bukan ”membentuk” mahasiswa menjadi seniman atau dramawan, melainkan hanya membimbing mahasiswa agar dapat memahami, menikmati, dan menciptakan karya teater secara sederhana. Bagi mahasiswa yang berminat serius, kelak mendalaminya di lembaga pendidikan kesenian ataupun di dalam sanggar pilihannya.

Keberadaan studi teater di sekolah ini bisa saja dijadikan embrio untuk pembentukan sanggar teater sekolah. Selain hal itu bertujuan untuk mengembangkan dunia teater di daerah setempat, studi teater ini dapat sebagai tempat menyalurkan bakat dan minat mahasiswa-mahasiswa di sekolah.
Teater sekolah, selain sebagai media penyaluran minat bakat mahasiswa, serta sebagai kawah Chandradimuka pembentukan kepribadian (Character Buildings), proses latihan teater yang kompleks, nyata-nyata selaras dengan Taksonomi Blooms.
Simak saja contoh-contoh dalam latihan-latihan dasar yang berkenaan dengan pengembangan kemampuan Kognitif, mulai dari reading, menghafal naskah, dan lain sebagainya sampai kepada kemampuan bedah naskah dan analisis pemeranan.
Berkenaan dengan kemampuan Afektif, mulai dari prev, olah rasa, kontemplasi, observasi dan lain sebagainya sampai kepada kemampuan menghayati tokoh cerita dalam naskah.
Demikian pula halnya kemampuan Psikomotorik, mulai dari pemanasan, olah tubuh, olah vokal, mimik, pose, gesture, pantomim, moving, grouping dan lain sebagainya sampai kepada blocking pementasan.
Sementara itu, dari sisi produksi, kemampuan menejerial, kerjasama tim, beserta lika-liku penyelenggaraan pementasan, adalah laboratorium lengkap bagi pengembangan nilai-nilai moral, mental, spiritual dan intelektual mahasiswa.
Penulis melihat sendiri kebergairahan teater di kalangan pelajar ini ketika menjadi juri lomba teater tingkat pelajar di Universitas Negeri Medan serta sejumlah pertunjukan teater sekolah tersebut. Di antaranya yang paling menonjol adalah kelompok LKCSY MAN 2 Model Medan, Teater SMA Gajah Mada, dan Teater SMA 3 Medan.
Tiga kelompok tersebut, terutama LKCST, terbukti berulang kali meraih gelar juara pertama lomba teater baik di Universitas Negeri Medan maupun TBSU. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya mereka (baca : pelajar) sesungguhnya tetap eksis di dunia teater. Mereka adalah generasi masa depan teater di daerah ini.
Bukankah perkembangan teater di Indonesia dimulai dari kaum terpelajar di kota? Ya, mereka berteater sebelum pemerintah memberlakukan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ataupun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum boleh berubah, namun semangat mereka berteater patut diberi acungan jempol.

Strategi Pembelajaran
Kegiatan seni pada praktiknya tidakdapat dipisahkan dari segala aktivitas manusia. Ia merupakan gambaran umum tentang betapa pentingnya manusia memiliki rasa seni. Seni Budaya merupakan suatu keahlian mengekspresikan ide-ide dan pemikiran estetika, termasuk mewujudkan kemampuan dan imajinasi penciptaan benda, suasana, atau karya yang mampu menimbulkan rasa indah sehingga menciptakan peradaban manusia yang selalu mencintai keindahan.
Kita selalu hidup bermasyarakat. Dalam lingkungan tersebut, diperlukan penciptaan tatanan estetis. Mahasiswa merupakan calon-calon pelaku dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, mereka perlu memiliki bekal kepekaan estetis dan sense of art dalam menyikapi lingkungannya.
Untuk memiliki kepekaan estetis yang sesuai dengan peradaban manusia seutuhnya, diperlukan praktik-praktik langsung pada pengalaman berkesenian dalam lingkungan yang kondusif dan sarat dengan budaya pendidikan dan toleransi. Satu di antara banyak usaha yang perlu dilakukan untuk memenuhi harapan tersebut adalah dengan melalui pendekatan praktik.
Pendekatan praktik dalam pembelajaran Seni Budaya ini merupakan amanah dari Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar sebagaimana tercantum dalam KTSP. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar KTSP 2006 dikembangkan untuk memberikan dasar-dasar pengetahuan, keterampilan, keahlian bertahan hidup, dan pengalaman belajar yang membanugin integritas sosial serta mewujudkan karakter nasional. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar ini juga memudahkan guru dalam menyajikan pengalaman belajar yang sejalan dengan prinsip belajar sepanjang hayat, mengacu pada empat pilar pendidikan universal, yaitu belajar mengetahui, belajar melakukan, belajar menjadi diri sendiri, dan belajar hidup dalam kebersamaan.
Di dalam Pembelajaran Seni Budaya (Teater), sebenarnya hanya berisikan dua standar kompetensi, yaitu mengapresiasi karya seni teater dan mengekspresikan diri melalui pertunjukan teater. Standar kompetensi ini berlaku untuk semua tingkatan atau jenjang pendidikan di sekolah. Sedangkan kompetensi dasar hanya dibedakan pada bentuk tradisional (semester ganjil) dan non-tradisional (semester genap).
Pada standar kompetensi mengapresiasi karya seni teater masing-masing jenjang sekolah, hanya terdapat tiga kompetensi dasar, yaitu: 1) mengidentifikasi makna, simbol/ filosofi, serta peran teater (tradisional/nontradisional) dalam konteks kehidupan budaya masyarakat, 2) menunjukkan kualitas estetis teater (tradisional/nontradisional) Nusantara berdasarkan pengamatan terhadap pertunjukan, dan 3) menunjukkan pesan moral (kearifan lokal) teater (tradisional/nontradisional) Nusantara.
Untuk memperoleh standar kompetensi dan kompetensi dasar ini, mahasiswa tentu saja harus diajak langsung menonton atau menyaksikan pertunjukan teater. Pertunjukan teater ini bisa saja terjadi di lapangan terbuka dekat kediaman mahasiswa, pasar, gedung kesenian, bahkan film dan sinetron serta pertunjukan teater tradisional di televisi. Sebelum menonton, mahasiswa perlu dibekali secara singkat tentang pemahaman dasar teater, bentuk-bentuk teater, jenis-jenis teater, aliran teater, dan fungsi teater. lalu, mahasiswa diberi tahu tentang beberapa kriteris atau objek pengamatan ketika ia menonton pertunjukan teater. laporan pengamatan inilah yang dijadikan untuk melihat keberhasilan mahasiswa dalam melakukan apresiasi. Tulisan hasil observasi itu, menguraikan hal-hal berikut.
1.    judul naskah teaternya;
2.    penulis naskah dan sutradaranya;
3.    susunan tim produksi dan tim artistik yang terlibat di dalam pergelaran;
4.    Jumlah pemainnya (wanita dan pria);
5.    Tata rias dan kostum yang digunakan;
6.    Iringan yang digunakan (jika ada);
7.    Setting panggungnya;
8.    Tata pencahayaannya;
9.    Lama pergelarannya;
10.    Peralatan yang digunakan;
11.    Keunikan-keunikan yang dijumpai selama pertunjukan; dan
12.    Pesan moral yang ingin disampaikan dari pergelaran teater
Dari apresisasi itulah, mahasiswa kemudian dimotivasi bahwa mereka sebenarnya dapat melakukan seperti apa yang ditontonnya. Di sinilah guru dapat memasuki standar kompetensi yang kedua (mengekspresikan diri melalui pertunjukan teater). Pada standar kompetensi ini, terdapat tiga kompetensi dasar yang mendidik mahasiswa menjadi calon aktor, yaitu 1) latihan dasar teater (olah tubuh, olah vokal, olah rasa, olah sukma, olah pentas), 2) merancang pergelaran teater dengan membentuk kepanitiaan yang menangani artistik dan non-artistik, dan 3) melakukan kerja sama tim dalam satu pertunjukan teater.
Untuk standar kompetensi ini, mahasiswa tentu saja diajak dan dilatih dasar teater. ada banyak catra untuk melatih mahasiswa mengenal teknik dasar teater. di antaranya adalah seperti di bawah ini.
Membaca Puisi
Calon aktor perlu membaca puisi dengan suara lantang. Manfaatnya untuk melatih vokal supaya terbiasa melakukan perubahan nada suara sebagai akibat adanya perubahan perasaan dalam berbagai situasi. Perubahan nada suara akibat perubahan situasi itu tentu saja akan disertai perubahan ekspresi wajah. Mungkin dengan tidak terasa akan disertai pula gerakan anggota tubuh, terutama tangan. Dengan cara begitu, calon aktor dapat mengekspresikan perasaan tokoh yang dimainkannya melalui suara, ekspresi wajah, dan gerak-gerik tubuh dengan penghayatan.
Menirukan Binatang
Calon aktor mencoba menirukan gerakan khas macam-macam binatang. Bila menirukan kera, gerakan anggota tubuhnya, ekspresi wajahnya, dan suaranya harus seperti kera. Dengan cara seperti itu, calon aktor mencoba memerankan tokoh meskipun tokoh yang diperankannya itu binatang.
Menirukan Orang
Calon aktor mencoba menirukan orang yang sudah dikenalnya. Lebih baik lagi kalau orang yang ditirukan itu juga sudah dikenal teman-temannya. Dengan begitu, temannya dapat menebak orang yang ditirukannya itu. bila temannya dapat menebak, berarti cara menirukannya sudah baik. Sebaliknya, bila temannya belum dapat menebak, upaya menirukan itu harus diulang.
Tertawa dan Menangis
Calon aktor mencoba tertawa terus-menerus sampai benar-benar tertawa kalau ia ingin tertawa. Calon aktor perlu mencoba menangis seolah-olaha dia sedang mengalami hal yang menyedihkan. Begitu pula calon aktor perlu mencoba seolah-olah sedang marah, putus asa, menyerah, atau yang lainnya. Dengan latihan seperti ini, diharapkan kelak dapat memanfaatkannya untuk memerankan tokoh yang sedang bersedih, marah, dan lain-lain.
Berdialog
Calon aktor mencoba berdialog. Mula-mula dialognya bebas tanpa naskah, seolah-olah sedang memerankan tokoh tertentu dalam drama. Hal ini dapat disamakan dengan permainan drama tradisional semacam ketoprak. Dalam ketoprak, aktor memang tidak menghafalkan naskah. Dialognya terserah aktor. Calon aktor dapat berlatih dengan jalan bermain ketoprak-ketoprakan.
Gerak Panggung
Calon aktor harus berlatih melakukan gerak panggung, yaitu gerakan atau perbuatan yang mungkin akan dilakukannya di panggung saat bermain drama. Misalnya, berjalan terpincang-pincang karena kakinya sakit, berjalan terhuyung-huyung karena mabuk, dan berjalan mengendap-endap karena takut ketahuan. Calon aktor juga berlatih seolah-olah bersedih, gembira ria, tegang, atau marah. Semuanya itu harus dipelajari karena mungkin kelak akan dipraktikkannya di panggung kalau tokoh yang diperankannya sesuai naskah, harus berbuat demikian.
Demikianlah. Pembelajaran Seni Budaya di sekolah-sekolah ini sebenarnya ditekankan agar mahasiswa memiliki budi pekerti yang luhur dan saling menghargai sesamanya. Di dalam teater, pendidikan budi pekerti ini sangat kentara dalam pemunculan karakter tokoh-tokoh yang dilakonkan. Sekali lagi penulis tekankan bahwa dalam pembelajaran Seni Budaya ini tidak ingin mendidik mahasiswa agar menjadi seniman, melainkan agar mahasiswa dapat lebih menghayati peran kehidupan dalam mengarungi peradaban. Jika ia tertarik lebih dalam terhadap teater, ia bisa memilih sanggar-sanggar teater di luar sekolah untuk menampung bakatnya tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
A. Rumadi (Ed.), 1991. Kumpulan Drama Remaja. Jakarta : Grasindo
Ags. Arya Dipayana (Ed.), t.t. Warisan Roedjito : Sang Maestro Tata Panggung Perihal Teater dan Sejumlah Aspeknya. Jakarta : Dewan Kesenian Jakarta
Ahmad, A. Kasim, 1977. Sebuah Pengantar tentang Teater Tradisional di Indonesia. Majalah Budaya Jaya No. 114 Tahun Kesepuluh—Nopember 1977
Atmazaki, dan WS, Hasanuddin, 1990. Pembacaan Karya Susastra sebagai suatu Seni Pertunjukan. Padang : Angkasa Raya
Brook, Peter, 2002. Shifting Point (Percikan Pemikiran tentang Teater, Film, dan Opera). Yogyakarta : MSPI dan arti
Danandjaja, James, 1997. Folklor Indonesia : Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta : Grafiti
Fitscher, H. TH., 1957. Pengantar Antropologi Kebudajaan Indonesia. Jakarta : Pembangunan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Lack of happiness