Rabu, 13 Juli 2011

DIKTAT PRAGMATIK SIRAJUDIN, M.PD


BUKU AJAR
P R A G M A T I K
(KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTEK)



OLEH
Ahmad Sirajudin, M.Pd.
Staf  Pengajar Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia





SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP) HAMZANWADI SELONG
2009
BAB I
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PRAGMATIK

1.1   Latar Belakang Pragmatik
Istilah pragmatik pertama kali diperkenalkan Charles Morris (1938) yang mengolah kembali pemikiran filosof pendahulunya,  yaitu Jhon Lock dan Charles Peirce, tentang semiotik (ilmu tentang tanda dan lambang). Menurut Morris, semiotik terdiri atas tiga cabang ilmu, yakni (1) sintaksis (syntax), mempelajari hubungan antara tanda dengan tanda yang lain; (2) semantik (semantics), mempelajari hubungan antara tanda dengan objek yang diacu oleh tanda; (3) pragmatik (pragmatics), mempelajari hubungan antara tanda dan penggunanya (Levinson, 1983; Purwo, 1989).
Kita pahami dulu istilah-istilah tersebut. Tanda (sign) atau lambang (symbol) itu sebenarnya amat banyak dan kita hidup di sekitar lambang, baik lambang yang berupa bahasa (linguistik) maupun yang bukan bahasa (nonlinguistik). Tanda lampu merah di perempatan jalan adalah tanda yang melambangkan “perintah bagi pengendara kendaraan agar memberhentikan kendaraannya”; bunyi sirene adalah lambang bagi lewatnya ambulans atau polisi; pasfoto adalah lambang diri seseorang; peta adalah lambang keadaan wilayah. Lolongan panjang dari seekor anjing adalah lambang untuk “memanggil” atau “mengingatkan adanya bahaya” kepada rekan-rekannya; garukan kaki anjing pada pintu adalah lambang untuk “meminta dibukakan pintu”. Lambang-lambang tersebut, disadari atau tidak, merupakan alat komunikasi juga. Lambang yang paling bersistem hanya tampak pada bahasa manusia. Manusia mengeluarkan bunyi ujaran, dan bunyi-bunyi itu adalah tanda atau lambang yang melambangkan sesuatu. Apa yang kita dengar sebagai bunyi /kursi/ adalah tanda yang melambangkan benda yang kita sebut kursi, benda yang bisa kita pakai sebagai tempat duduk, yang disebut oleh orang Inggris /chair/ dan orang Belanda /stoel/. Semiotik hakikatnya mempelajari semua lambang atau tanda tersebut. Tampaknya apa yang dikemukakan oleh Morris tadi mengkhusus kepada tanda-tanda yang ada di dalam bahasa. Jelasnya, semiotik yang disebut oleh Morris adalah semiotik bahasa. Prinsipnya, ada sesuatu yang melambangkan dan ada sesuatu yang dilambangkan. Karena kita tahu bahwa tanda yang dimaksudkan oleh Morris itu adalah kata, maka kita dapat merumuskan ketiga bagian dari semiotik itu seperti berikut ini.
1.      Sintaksis mempelajari hubungan antara kata yang satu dengan kata yang lain, misalnya, kursi dihubungkan dengan kata saya bisa menjadi kursi saya, tetapi tidak bisa menjadi saya kursi. Hubungan ini dalam sistem bahasa Indonesia merupakan hubungan kepemilikan. Hubungan ini dapat kita teruskan dengan tanda atau kata-kata lain, menjadi kalimat yang panjang, misalnya kursi saya putih.
2.      Semantik mempelajari hubungan antara kata dengan objek (benda, peristiwa, keadaan) yang diacu oleh kata itu. Misalnya, kata kursi mengacu kepada suatu benda, kata saya mengacu kepada orang yang sedang berbicara. Jadi,  “objek yang diacu” itu pada hakikatnya adalah makna (semantic) dari kata yang mengacunya. Kemudian dapat dikatakan, kursi saya mengacu kepada ‘kursi milik saya’.
3.      Pragmatik mempelajari hubungan antara kata (kata-kata) dengan penggunaan kata-kata tersebut. Misalnya, kursi saya putih, yang secara semantik bermakna ‘kursi milik saya berwarna putih’, digunakan (atau diujarkan) ketika seorang penutur berujar kepada seorang tetangganya tentang warna kursi. Ujaran itu mungkin dimaksudkan untuk memberitahukan kepada tetangganya bahwa warna kursinya berbeda dengan kursi milik tetangganya itu.
Sejatinya, sejarah pragmatik dapat ditelusuri kemunculannya sebagai bagian dari kajian linguistik. Pada tahun 1933 terbit buku LEONARD BLOOMFIELD, Languange (yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Bahasa), yang mengawali munculnya kajian yang disebut linguistik struktural, yaitu ilmu bahasa (linguistik) yang memandang bahasa sebagai sistem bunyi dan berstruktur. Saat itu linguistik berarti fonologi yang mencakupi fonetik dan fonemik, dan morfologi, sedangkan sintaksis kurang didalami (Purwo, 1989). Ini bisa dipahami karena linguistik struktural itu membatasi kajiannya pada hal-hal yang bersifat konkret dan berstruktur, sementara yang paling konkret dalam bahasa adalah bunyi (fon dan fonem) dan bentuk (morf; morfem). Fonologi mengkaji bunyi-bunyi bahasa yang dapat kita dengar, morfologi mengkaji bentuk-bentuk bahasa, seperti kata, imbuhan, bentuk ulang, sedangkan sintaksis, kajian tentang kalimat, masih dipandang sebagai sesuatu yang abstrak, karena sintakis mengkaji hubungan antara kata yang satu dengan kata yang lain, dan hubungan itu tidak dapat dilihat, apalagi hubungan itu dirumuskan dalam rumus-rumus yang abstrak (seperti kalimat dikatakan terdiri dari FB + FK) sintaksis merupakan bagian dari gramatika (tata bahasa) yang terdiri atas kaidah-kaidah, dan ini pun abstrak. Pengutamaan hal yang konkret itu merupakan pengaruh aliran behaviorisme dalam psikologi yang tidak menyukai hal-hal yang berbau mental, pikiran kejiwaan, yang tidak dapat diamati oleh pacaindera. Linguistik struktural, karena itu, juga tidak atau kurang memperlihatkan semantik atau makna karena makna sebuah kata atau kalimat adalah  sesuatu yang abstrak yang berada di dalam benak manusia. Jika pernah mempelajari mata kuliah linguistik umum, maka yang dipelajari itu hakikatnya adalah linguistik struktural.
Tahun 1957 Noam Chomsky memunculkan teori baru tentang bahasa, yang terkenal dengan teori tata bahasa transformasi-generatif. Berbeda dengan Bloomfield yang terpengaruh oleh behaviorisme, Chomsky justru sejalan dengan aliran kognitivisme dalam psikologi, yang amat bertentangan dengan behaviorisme. Kognitivisme lebih menekankan aspek mental, dan bagi Chomsky bahasa adalah hasil dari kegiatan mental. Chomsky membedakan antara kemampuan (competence) dan pelaksanaan atau penampilan (performance). Kompetensi adalah kemampuan orang dalam menguasai kaidah-kaidah gramatika, khsusnya kaidah tentang  kalimat, yang tersimpan di dalam benak, sedangkan penampilan (juga disebut performansi) adalah perwujudan atau aktualisasi dari kompetensi tadi. Dikatakan juga, seorang anak yang sedang mempelajari bahasa ibunya harus segera menguasai kaidah penyusunan kalimat, dan begitu si anak menguasai kaidah penyusunan kalimat, dengan “rumus” struktur FB + FK (frase benda + frase kerja), akan mampu memproduksi kalimat yang tidak terbatas jumlahnya. Karena Chomsky juga menekankan dari segi struktur sintaksis, maka dia pun digolongkan sebagai strukturalis.
Pembedaan antara kompetensi dan performansi ini sebenarnya sejajar dengan pembedaan antara bahasa dan tutur, sebagaimana dikenal, misalnya dalam semantik. Menurut Stephen Ullmann (1974), bahasa (language) merupakan kesan bunyi (sound image), bukan bunyi yang tersimpan di dalam benak, dan bahasa itu diwujudkan atau diaktualisasikan dalam bentuk tutur (speech). Dalam perkembangan selanjutnya, para pengikut Chomsky juga memasukkan unsur semantik (makna) di dalam kajian sintaksisnya.
Pandangan Chomsky bahwa ‘penguasaan terhadap kaidah gramatika sudah dengan sendirinya menyebabkan orang mampu memproduksi kalimat” atau “mampu bertutur” disangkal oleh Dell Hymes (1961) dalam artikelnya yang terkenal “The communicative competence” (tentang kompetensi komunikasi). Menurut Hymes, untuk mampu berbahasa  (bertutur) atau berkomunikasi dalam berbahasa orang tidak cukup hanya mampu menerapkan kaidah gramatika saja, melainkan juga harus mengetahui cara penggunaannya dalam berkomunikasi. Orang yang hafal kaidah-kaidah gramatika belum tentu mampu menerapkan kaidah-kaidah tersebut dalam penggunaan nyata yang dapat diterima oleh masyarakat bahasanya. Yang penting bukan hanya kompetensi akan kaidah-kaidah gramatika melainkan juga kompetensi terhadap kaidah berkomunikasi. Chomsky sendiri mengatakan bahwa tata bahasa sebagai suatu “kemampuan mental” harus berdiri terpisah dari penggunaan bahasa (language use) (dalam Leech, 1981). Jadi, teori linguistik Chomsky itu merupakan teori kompetensi, bukan teori pragmatik penggunaan bahasa. Kritik Hymes itulah yang nantinya akan menjadi salah satu faktor awal munculnya sosiolinguistik dan pragmatik.
Penelitian linguistik pada waktu Chomsky masih terbatas pada kompetensi (yang berada dalam benak dan abstrak), menyisihkan penampilan (yang nyata dan konkret dalam tutur), dan ini berarti kurang memperhatikan pragmatik (yaitu bagaimana bahasa itu digunakan) dan semantik (Soemarmo, 1988). Akan tetapi, sebelum awal-teori Chomsky itu (1957) berumur sepuluh tahun (1965), timbul kesadaran bahwa gramatika haruslah mencakupi makna juga. Para pemuka teori tata bahasa di sekitar tahun 1960 itu memang kemudian selalu memasukkan efek makna atau semantik dalam mengkaji kalimat, tetapi pramatik belum masuk ke dalam kajian mereka tentang kalimat. Makna pada saat itu pun masih dipandang sebagai sesuatu yang abstrak. Padahal, menurut Leech (1983), pragmatik itu menuntut pengkajian makna dalam konteks penggunaan bahasa dan bukan makna (yang abstrak) dari sesuatu (yaitu kata atau kalimat).
Pengaruh linguistik struktural dari Amerika Serikat yang berasal dari Bloomfield itu sangat berjasa sampai dengan munculnya Chomsky. Di luar itu, kiblat linguistik Amerika barulah di sekitar tahun 1970 (Purwo, 1989), yang sebagian terpengaruh oleh para filosof seperti Austin (1962), H.P. Grice (1964), J.R. Searle (1969), yang banyak berbicara tentang bahasa dan filsafat bahasa. Teori mereka tentang “tindak tutur” (speech act) mengubah perhatian para linguis dari ihwal bentuk bahasa (linguistic forms) ke ihwal fungsi bahasa (linguistic function) dan penggunaan bahasa (languae use); kajian yang bersifat formal berubah menjadi kajian yang fungsional. Sebagai pemahaman awal dapat dikatakan bahwa tindak tutur itu serupa dengan fungsi tutur, yaitu fungsi yang dibebankan kepada sebuah ujaran, misalnya fungsi meminta, menyuruh, melarang, dsb. Fungsi-fungsi ini baru dapat diketahui kalau kita melihat penggunaan ujaran itu di dalam komunikasi yang nyata, inilah hakikat pragmatik.
Perhatian terhadap pragmatik ini diresmikan dengan lahirnya jurnal pragmatik (the journal of pramatics) 1977. Terbentuk pula organisasi yang menangani pragmatik, kemudian pada tahun 1987, ada konferensi yang membahas artikel-artikel pragmatik (Soemarmo, 1988). Ada yang mengatakan bahwa “kajian pragmatik berkembang sebagai reaksi terhadap kajian bahasa yang dilakukan oleh Chomsky yang menganggap bahasa sebagai sesuatu yang abstrak, hasil kemampuan mental, terpisah dari penggunaan, pengguna, dan fungsi bahasa”. Namun, kajian pragmatik, menurut J. Verschueren (1987), masih terpecah. Sekarang, pragmatik disepakati sebagai kajian yang mengkaji empat kajian pokok yakni deiksis, praanggapan, tindak tutur, dan implikatur percakapan. Semua itu  akan dibicarakan dalam pokok-pokok bahasan tersendiri.
1. 2  Pragmatik dan Linguisik Struktral
Sudah diketahui, kajian linguistik struktural (atau linguistik) lebih menekankan segi struktur dan bentuk bahasa ketimbang makna. Masuknya makna ke dalam kajian sintaksis baru kemudian muncul. Juga sudah disebut di depan bahwa lingusitik struktural, khususnya sintaksis, bergerak di wilayah bahasa, sedangkan pragmatik bergerak di wilayah tutur. Satuan kajian linguistik, dan juga semantik, adalah kalimat (sentence). Sedangkan satuan kajian pragmatik ialah ujaran (utterance). Bisa jadi pragmatik dan linguistik atau sistaksis mempunyai kesamaan objek kajian, yaitu kalimat, tetapi sudut pandangnya berbeda. Dalam ajaran sintaksis, misalnya, jika kalimat  seperti  Bisa mengantar surat ini? dikaji, maka yang dilihat adalah bentuk atau form-nya (terdiri dari kata ini dan kata itu), lalu dikatakan bahwa bentuknya adalah kalimat tanya, yang strukturnya berbeda dengan kalimat berita, objeknya tidak disebutkan sehingga menjadi kalimat yang tidak lengkap, dan seterusnya. Atau kita membicarakan makna atau semantiknya, maka dikatakan bahwa kalimat itu bermakna (seorang penutur) menanyakan kepada seseorang apakah orang itu mampu (atau tidak mampu ) melakukan pekerjaan mengantarkan surat”. Analisis linguistik atau sintaksis atau gramatika jadinya bersifat struktural dan formal.
Dalam pragmatik, yang dianalisis dan dipersoalkan bukan semua itu. Yang  dilihat adalah fungsi kalimat itu dalam komunikasi, dan “kalimat” itu harus kita anggap sebagai saran”. Dari segi fungsi, kalimat tersebut sebenarnya bukan bertanya melainkan menyuruh, meskipun bentuk kalimat tanya. Untuk fungsi perintah atau suruhan orang bisa saja memakai bentuk kalimat perintah, misalnya,  antarkan surat ini . Apakah orang memakai kalimat pertama atau kedua bergantung kepada konteksnya, misalnya, akan ditemukan siapa yang mengujarkan dan kepada siapa kalimat itu diujarkan. Bagi analisis sintaksis, konteks penggunaan kalimat seperti yang dipaparkan tadi tidak pernah diperhatikan.
1. 3  Pragmatik dan Sosiolinguistik
Dari sejarah kelahirannya, sosiolinguistik lebih dulu mapan (sekitar 1960), dibanding dengan pragmatik. Sosiolinguistik adalah kajian bahasa yang dikaitkan dengan faktor-faktor atau gejala-gejala sosial, baik pengguna bahasa maupun penggunaan bahasa. Dari segi semangat, kedua kajian itu sama, yakni sama-sama menjadi pendobrak linguistik struktural yang dirumuskan oleh Chomsky. Teori Chomsky, sebagaimana dikatakan di depan, tetap dipandang berwatak struktural karena dia juga berbicara tentang struktur kalimat. Hanya saja, teori linguistik ini mengabstrakkan kalimat (menjadi rumus-rumus dalam benak manusia). Data kajiannya berupa kalimat yang diidealkan, artinya kalimat yang dianalisis dipersyaratkan harus sempurna, bebas dari kesalahan gramatika. Semua kalimat yang terujarkan, apa pun bentuknya, dapat dikembalikan kepada satu rumus kalimat, yakni FB + FK. Ini berarti, tindakan Chomsky itu “menghomogenkan” bahasa. Penghomogenan inilah yang sangat ditentang oleh para pakar bahasa. Misalnya, Dell Hymes, yang memandang bahasa sebagai produk sosial, sebagai alat komunikasi sosial, dan memandang bahasa itu hakikatnya heterogen, beragam, bervariasi, karena pengguna dan penggunaan bahasa juga bervariasi; tidak ada bahasa yang monolitik, yang tunggal, melainkan bervariasi; bahkan sosiolinguistik itu justru muncul karena adanya variasi atau keragaman bahasa. Bahasa A beragam secara geografis karena sekelompok penutur bahasa itu tinggal di daerah X dan sekelompok lainnya di daerah Y. Bahasa A itu beragam karena secara sosial penuturnya berbeda-beda sesuai dengan status sosialnya (sehingga ada ragam bahasa penguasa dan rakyat jelata), jenis kelaminnya (sehingga ada ragam bahasa wanita dan pria), atau profesi atau lapangan kehidupanya (sehingga ada ragam bahasa petani, ragam bahasa pedagang, buruh, dsb.).
Bahkan tiap-tiap individu penutur memiliki khasanah ragam tutur atau gaya tutur yang bermacam-macam untuk berbagai maksud dan tujuan: untuk berkirim surat secara pribadi, untuk berpidato, berbicara dengan anggota keluarga, dengan pejabat, dsb. Dalam ragam tutur itulah dirasakan dekatnya hubungan antara sosiolingustik dan pragmatik.
Pragmatik sendiri menentang teori Chomsky karena dia melepaskan konteks dari kalimat ujaran, padahal kalimat (dalam arti “ujaran”) itu ada karena digunakan dalam suatu komunikasi, dalam suatu situasi tutur, seperti pesta, upacara keagamaan, obrolan di tempat kerja, sidang pengadilan, dsb. Dalam situasi tutur seperti pesta kawin, misalnya, terjadi sejumlah peristiwa tutur, seperti ada sambutan, percakapan, dsb. Tutur semacam itu berpengaruh terhadap bentuk bahasa apa yang digunakan. Dalam hal semacam itu sosiolinguistik juga ikut berkepentingan untuk mengkaji.
Dalam batas tertentu objek kajian sosiolinguistik dan pragmatik memang sama. Misalnya, percakapan. Dalam sebuah percakapan antara penutur (A) dan petutur (B) tentang topik harga BBM di tempat kerja, mungkin keduanya menggunakan bahasa daerah; tetapi begitu datang C percakapan berubah meggunakan bahasa Indonesia karena C tidak mampu berbahasa daerah; suasana yang tadinya akrab berubah menjadi agak formal. Sosiolinguistik mungkin  melihat perubahan dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia mempunyai makna sosial tertentu sebagaimana dikemukakan tadi, yakni mengubah susana akrab menjadi suasana lebih formal. Pragmatik mungkin mengkaji berbagai tindak tutur di dalam percakapan itu, misalnya, ada tindak tutur mengkritik tetapi bentuknya kalimat tanya; ada kalimat yang maknanya secara harafiah ‘x’ tetapi yang dimaksudkan adalah ‘y’.
1. 4  Pragmatik dan Semantik
Semantik adalah kajian tentang makna, apakah itu makna kata (biasa disebut semantik leksikal), makna frase (disebut semantik frase), atau kalimat (disebut semantik sintaksis). Persinggungannya dengan pragmatik sudah terlihat pada penjelasan semiotiknya Morris (1.1), khususnya menyangkut semantik kalimat. Akan tetapi,  batas keduanya terasa tidak begitu jelas, karena keduanya sama-sama menjelajahi makna. Dalam pembahasan sintaksis, misalnya, bisa saja orang berbicara tentang makna (semantik), terutama kalau ada kalimat yang bermakna ganda (ambigu) atau bersinonim. Lihat tiga kalimat berikut ini:
(1)   Menerbangkan pesawat itu bisa berbahaya.
(2)   Menerbangkan pesawat adalah tindakan berbahaya.
(3)   Pesawat yang terbang itu berbahaya.
Kalimat (2) dan (3) tidak ambigu, tetapi kalimat (1) terasa ambigu dan maknanya bisa sama dengan (2) atau (3). Pada (3) kita bisa bertanya, yang berbahaya itu (tindak) menerbangkan pesawat atau pesawatnya. Kalau maknanya adalah “tindak menerbangkan pesawat”, maka makna (1) menjadi sama dengan makna (2). Jika makna (1)  adalah “pesawatnya yang berbahaya”, maka maknanya menjadi mirip dengan (3). Kalimat (4) dan (5) berikut dapat dikatakan bersinonim
(4)   Saya menerbangkan pesawat.
(5)   Pesawat itu saya terbangkan.
Kalimat aktif dan pasif biasanya; memang bersinonim. Kalaupun linguistik struktural atau sintaksis membahasnya, maka ketertarikannya bukan kepada kesinoniman melainkan kepada perbedaan struktur atau bentuknya. Kalaupun semantik membahas kesinoniman itu, semantik pasti tidak mempersoalkan, misalnya, mengapa penutur menggunakan kata saya dan bukan aku atau hamba. Pragmatik dapat saja mengarah ke kajian yang terakhir itu.
Lebih dari pada itu, pragmatik tidak mengenal adanya pengertian ambigu atau taksa dan sinonim. Bagi pragmatik, tidak ada kalimat yang ambigu, tidak ada dua kalimat yang bersinonim, kalau (dan karena) tiap kalimat itu selalu harus dikaitkan dengan konteks. Kalimat (1) tidak ambigu kalau dikaitkan dengan konteks cakapan berikut ini :
A: “Kamu kan  belajar teori bagaimana caranya menerbangkan pesawat terbang.”
B: “Tapi, saya ingin mencobanya, Pak. Pesawat sudah dites. Bagus.”
A: “Saya tahu kondisimu. Kau lupa suatu hal. Menerbangkan pesawat itu bisa berbahaya. Pesawatnya memang tidak membahayaka kamu, tetapi kamu justru membahayakan pesawat.”
Bandingkan pula konteks cakapan dari masing-masing kalimat (4) dan (5) berikut ini:
A:”Apa yang kau lakukan besok?”
B:Saya menerbangkan pesawat.”
dan
P : ”Kau apakan pesawat itu? Apa yang terjadi?”
Q: ”Pesawat itu saya terbangkan. Baru beberapa menit, baling-balingnya terasa kurang beres, lalu saya turunkan.”
Begitu pula, bagi semaatik, kalimat (6) dan (7) dianggap sinonim:
(6)   Kau apakan pesawat itu?”
(7)   Saudara apakan pesawat itu?”
Alasannya? Karena makna kedua kalimat itu sama. Bagaimana analisis kajian pragmatik? Pragmatik mungkin akan berkata: maknanya memang sama: kata saudara dan kau dalam kedua kalimat itu juga sama maknanya. Namun, masih tetap ada bedanya. Apa bedanya? Pragmatik akan memperlihatkan juga “siapa mengujarkan kalimat itu” dan “kepada siapa ujaran itu ditujukan”. Artinya, pragmatik memperhitungkan bukan hanya kalimat itu saja melainkan juga penutur dan petutur-nya (yaitu lawan tutur) karea keduanya termasuk unsur konteks. Pragmatik mungkin mengambil simpulan bahwa kalimat (6)  diujarkan oleh seorang penutur yang cukup akrab dengan petuturnya, atau posisi penutur lebih tinggi posisiya dengan petuturnya. Dalam kalimt (7) hubungan penutur dan petutur agak formal (resmi), misalnya antara instruktur dengan siswa.
Begitulah dapat dikatakan bahwa kajian semantik terhadap kalimat itu adalah bebas konteks (context independent) sedangkan kajian pragmatik bergantung konteks (context dependent). Untuk lebih memantapkan perbedaan ini ada baiknya kita melihat paparan tentang ruang lingkup pragmatik dalam hubungannya dengan pragmatik tersebut.
Di samping itu, Geoffrey Leech (1981) mengemukakan, pragmatik dan semantik itu berurusan dengan makna (meaning), tetapi perbedaan di antara keduanya itu terletak pada perbedaan penggunaan verba atau kata kerja bahasa Inggris to mean, yang dapat dipadankan dengan kata berarti dalam bahasa Indonesia. Di katakan oleh Leech, semantik bertanya, :What does X mean?” (“apa artinya X?” atau “X itu berarti apa”?). Pragmatik bertanya, “What did you mean by X?” (“apa maksudmu dengan X”?). Begitulah, jika si A berujar “dapatkah kamu mengantar surat ini”?, maka ujaran itu dapat dianggap sebagai X dan pragmatik akan bertanya, ”Apa maksud si A denga ujaran itu”?. Kita bisa menemukan maksudnya, yaitu, A sebenarnya bermaksud menyuruh seseorang untuk mengantarkan surat dan bukan bermaksud bertanya kepada seseorang apakah seseorang itu mampu atau tidak mampu mengantarkan surat. Maka, benarlah jika ada orang mengatakan bahwa semantik itu mengkaji makna sedangkan pragmatik itu mengkaji maksud: bahkan ada yang menyebut pragmatik sebagai ilmu maksud. Maksud itu dapat ditentukan berdasarkan situasi ketika ujaran itu terjadi. Berdasarkan hal itulah, maka Leech memberi batasan pragmatik sebagai “kajian tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi tutur (speech situation)”.
1.5   Ruang Lingkup Pragmatik
Stephen Levinson (1983), seorang tokoh pragmatik, mencoba merumuskan batasan pragmatik demikian:
Pragmatics is the study of all those asfects of meaning not captured in semantic theory”. (Pragmatik ialah kajian tentang segala aspek makna yang tak tercakup dalam semantik). Itu berarti kita harus mencari dan menentukan dulu apa-apa yang dikaji semantik, barulah “sisa”-nya menjadi bagian dari pragmatik. Dalam hal ini Soemarmo (1988) mengutip pendapat J. J. Katz (1972) yang mengatakan bahwa semantik harus menjawab 15 persoalan yang menjadi kajiannya, yakni:
01)  Apa parafrase itu? (perubahan bentuk dari kalimat satu dengan lainnya sepanjang maknanya tidak berubah)
02)  Apa persamaan dan perbedaan makna?
03)  Apa antonimi itu?         
04)  Apa superordinasi itu?
05)  Apakah ketakbermaknaan dan anomali itu?
06)  Apakah kegandaan makna (ambiguitas; ketaksaan) itu?
07)  Apa kelimpahan makna itu?
08)  Apa kebenaran makna itu?
09)  Apa kekeliruan makna itu?
10)  Apa kebenaran dan kekeliruan makna yang tak dapat ditentukan itu?
11)  Apa ketidaktaatasasan (ketidakkonsistenan) itu?
12)  Apa pengertian (entailment) itu?
13)  Apa praanggapan itu?
14)  Apa kemungkinan jawaban dari suatu pertanyaan itu?
15)  Apa pertanyaan yang dapat dijawab sendiri (self-answerd question) itu?
Di luar 15 persoalan tersebut dimasukkan ke dalam kajian pragmatik. Sebagian persoalan itu dapat dijelaskan secara ringkas berikut ini karena sepanjang menyangkut pragmatik, persoalan itu akan dijelaskan lebih lanjut.
(1) Parafrase.
Di sekolah parafrase biasanya dikenal dalam hubungan dengan “mengubah bentuk puisi menjadi bentuk prosa”, tetapi yang sebaliknya, yakni mengubah prosa menjadi puisi tidak pernah disebut sebagai parafrase. Itu tentu kurang tepat karena parafrase itu meliputi berbagai bentuk pengungkapan lain dari bentuk yang sudah ada sepanjang maknanya kira-kira sama. Misalnya, pertanyaan seperti “Mengapa kamu sakit?” dapat diparafrasekan menjadi beberapa bentuk lain seperti “Apa sebab kamu sakit?”, “Kamu, sakit kenapa?”, Kamu sakit, apa sebabnya?”. Ngapain kamu sakit?”. Jadi, memparafrasekan adalah mengubah bentuk (kalimat, paragraf, frase ) yang satu ke bentuk (kalimat, paragraf, frase) lain yang maknanya kira-kira sama.
Dalam hal seperti itu semantik tentu tidak sampai berbicara tentang siapa mengujarkan kalimat itu dan ditujukan kepada siapa sebagaimana di lakukan oleh pragmatik. Bagi pragmatik perubahan bentuk itu terjadi karena perubahan konteks.
(2) Persamaan dan perbedaan makna.
Di dalam semantik leksikal persamaan makna antara dua buah kata biasa disebut sinonim, dan perbedaan makna tidak ada istilahnya. Perbedaan harus dibedakan dengan “pertentangan” atau “perlawanan” makna (yang terakhir ini di sebut antonim). Kita di sini berbicara tentang kalimat, bukan kata. Di dalam pembicaraan tentang parafrase kita sudah melihat betapa beberapa kalimat mempunyai makna yang sama. Persamaan makna kalimat juga bisa terjadi pada kalimat berikut. “Dia anak yatim.” Bersinonim dengan “Dia adalah anak yang tidak mempunyai ayah.” karena yatim bermakna ‘tidak mempunyai ayah’.
(3) Antonimi.
Kalimat “Saya anak yatim,” berantonim dengan “saya bukan anak yatim.” Atau “saya berbapak dan beribu.” Antonim dan sinonim pada tataran kalimat itu menjadi objek kajian semantik dan karena itu bukan menjadi kajian pragmatik. Di dalam pragmatik kita tidak berbicara tentang antonimi itu.
(4) Superordinat; superordinasi.
Di dalam semantik leksikal dikenal adanya asosiasi atau hubungan makna antara dua kata atau lebih, yang bisa berupa sinonimi, antonimi, atau hiponimi. Pada hiponimi hubungan ini berjenjang, hubungan “atas” dan “bawah”. Misalnya, kata bunga dan mawar. Dalam hal ini bunga menjadi  hipernim (atau superordiat) dan mawar menjadi hiponim (atau subordinat). Jadi, ada superordinasi dari bunga terhadap mawar, juga melati, kenanga, aster, anggrek, dsb.
Kalau hal itu diterapkan pada tataran kalimat, super- dan sub- tersebut tampak pada dua kalimat yang diurutkan. Misalnya, “Itu mawar. Itu bunga.”, salah kalau urutannya dibalik: “Itu bunga. Itu mawar.”,  karena urutan kedua itu menjadi tidak masuk akal. Urutan pertama bermakna, “Itu mawar. Karena itu ia adalah bunga.” Artinya, tiap mawar pasti bunga. Sejalan dengan itu, urutan kedua tentu bermakna “Itu bunga. Karena itu ia adalah bunga mawar.” Makna yang demikian itu jelas tidak masuk akal, dan karena itu justru salah. Mengapa? Karena bunga bukanlah mawar, tetapi mawar pasti bunga.
(5) Ketidakbermaknaan dan anomali.
Istilah “ketidakbermaknaan” mengandung arti ada kalimat yang tidak bermakna (meaningless). Misalnya, “Pohon radio itu masuk angin.”, “Saya kaki jatuh terkilir karena.” Ketidakbermaknaan tersebut berhubungan dengan dilanggarnya kaidah gramatika. Kalimat-kalimat berikut juga tidak bermakna karena tidak didukung oleh kata yang bermakna: “Huuh.” “Ccccckkk.” Anomali berarti penyimpangan. Ini bisa terjadi, misalnya, karena “kekecualian” pada alam. Misalnya, “Kambing itu makan kertas.” Bisanya kambing memang makan rumput atau dedaunan, kadang-kadang juga kulit pisang, tetapi, di dalam kota yang tidak ada makanan seperti itu, bisa jadi karena musim kemarau panjang, maka kambing itu mau saja makan kertas. Anomali juga mugkin terjadi pada zaman tertentu, tetapi karena perkembangan zaman menjadikan anomali itu bukan anomali lagi. Misalnya, di Indonesia, pada sekitar tahun 1970 ada nyayian dalam bahasa Jawa berjudul “Enthit”. Salah satu kalimatnya, jika diindonesiakan mejadi “kalau enggak punya uang yang membeli”, lalu diikuti tertawa terbahak-bahak dari yang mendengarkan, karena “membeli uang” pada saat itu adalah aneh. Sekarang kalimat seperti itu tidak aneh lagi karena kita memang bisa membeli uang di bank atau tempat penukaran uang.
(6) Ambigu, ambiguitas.
Sebuah kalimat, secara semantik, dapat bermakna ganda (ambigu; taksa). Setidak-tidaknya dapat ditafsirkan memiliki dua makna yang berbeda. Sebenarnya keambiguan (ambiguitas) sebuah kalimat itu merupakan hal yang jelas bagi penutur asli; tetapi sifat dan luasnya keambiguan itu sering menjadi sangat tidak jelas, dan harus dijelaskan dengan menempatkan kalimat itu di dalam konteks (setidaknya konteks verbal), diparafrasekan, dsb. Bentukan seperti istri letnan yang nakal itu boleh dikatakan ambigu karena bentukan itu dapat disinonimkan dengan (a) istri yang nakal dari letnan itu, dengan makna yang nakal adalah si istri, atau dengan (b) istri dari letnan yang nakal itu, dengan pengertian yang nakal adalah si letnan. Maknanya menjadi tidak ambigu kalau misalnya dimasukkan ke dalam konteks berikut: istri letnan yang nakal itu menjadi kurban dari kenakalan suaminya. Sebagaimana sudah dikatakan di muka, pragmatik tidak mengenal konsep ambigu karena tiap kalimat-ujaran selalu dikaitkan dengan konteks sehingga menjadi pasti dan tunggal.
(7) Kelimpahan makna
Ada kata yang memiliki makna hanya satu saja, misalnya keris, matahari, hidung. Tetapi kata anak mempunyai makna yang banyak sekali, yang berkelimpahan maknanya. Sebuah kata juga dapat berkembang maknanya karena metafora. Misalnya, kata makan. Dari betuk yang “biasa”, makan nasi, dapat muncul bentukan-bentukan  lain seperti makan hati, makan angin, makan suap, tetapi juga dia makan anak istrinya sendiri; jarinya dimakan mesin; peralatannya dimakan karat. Kencenderungan memperluas makna kata juga terjadi pada anak kecil yang sedang “belajar” bahasa ibunya, yang oleh LEECH di sebut overextended (kelimpahan), misalnya si anak menyebut ayah atau bapak untuk semua orang lelaki yang sebaya dengan ayahnya.
(8) Kesalahan makna
Paparan pada (7) menunjukkan bahwa kebenaran itu dapat ditentukan oleh “pengetahuan semantik (makna)” dan “pengetahuan faktual (menutur kenyataan)”. Di dalam filsafat kebenaran yang berdasarkan makna itu disebut kebenaran analitis, dan kebenaran berdasarkan fakta itu disebut kebenaran sintetis. Karena kebenaran kalimat dapat diuji dengan cara analitis dan sintetis, maka kesalahan makna pun dapat diuji seperti itu. Contoh tentang kalimat ”Ayah saya kaya.” dapat diterapkan pada kesalahan makna ini: kalau (secara sintetis) faktanya ayahnya miskin, maka kalimat itu salah. Kalimat “Ayah saya itu perempuan.” Secara analitis salah karena ayah bukanlah golongan perempuan. Namun, secara sintetis bisa benar jika menurut fakta si ayah mempunyai sifat-sifat dan perilaku seperti gambaran masyarakat tentang perempuan. Maksudnya, kalau masyarakat menganggap bahwa perempuan itu bersifat penakut, terlalu lemah lembut, lemah gemulai, penangis, dan si ayah juga bersifat dan berperilaku begitu, maka orang akan mengatakan bahwa ayah yang laki-laki itu perempuan.
(9) Kebenaran dan kesalahan makna yang tidak ditentukan
Tidak jelas apa yang dimaksud dengan istilah panjang itu. Bacaan tentang hal ini belum ditemukan secara memuaskan. Leech, misalnya, banyak berbicara tentang kebenaran dan kesalahan saja. Di samping apa yang disebut analitis dan sintetis di atas, Leech berbicara tentang dua teori atau pendekatan semantik untuk mencari kebenaran, sebelum mengemukakan teorinya tentang semantik berdasarkan kebenaran (truth-based semantics). Pertama adalah teori inferensial (penyimpulan), yakni teori yang berupa menyimpulkan (to infer) kebenaran beberapa pernyataan (proposisi) dari kebenaran yang ada dalam proposisi yang lain. Para penutur asli suatu bahasa pasti mempunyai kemampuan untuk membuat simpulan semacam itu. Jika ada proposisi seperti Dia itu suami yang baik, maka kita dapat mengartikan, misalnya, dia itu suami yang tidak jahat (tidak menyeleweng, tidak menyakiti hati, dsb.) terhadap istrinya’. Di samping itu, kita juga dapat membuat simpulan-simpulan, berupa proposisi juga, yang benar berdasarkan proposisi tadi. Misalnya, Dia adalah laki-laki (karena suami berjenis kelamin laki-laki); Dia sudah beristri. (karena seorang suami pasti mempunyai istri); Dia tidak pernah menyakiti hati istrinya. (karena itu dia dikatakan suami yang baik).
Yang kedua ialah pendekatan kebenaran bersyarat (truth-conditional approach). Menurut pendekatan ini, mengetahui makna kalimat adalah sama (ekuivalen) dengan mengetahui syarat-syarat yang dipakai untuk membenarkan kalimat itu. Misalnya, untuk kalimat ”Tadi hujannya lebat sekali.”, kebenarannya diperlukan syarat-syarat tertentu, antara lain, “tanah yang tertimpa hujan becek sekali”, “banjir kecil di selokan”, “ banyak sampah hanyut dan menyumbat selokan”. Artinya, kalau kita menemukan salah satu dari syarat-syarat ini, maka proposisi (pernyataan) dalam kalimat tersebut benar.
Menurut Leech, sebenarnya semantik kebenaran bersyarat ini membentuk tugas yang sama dengan semantik inferensial, karena “kebenaran yang diperlukan “ sebenarnya ialah kebenaran yang berdasarkan keadaan bahasa yang senyata (kebenaran analitis, lebih dari kebenaran yang berdasarkan keadaan dunia yang sebenarnya (kebenaran sintetis). Masalah yang ingin ditekankan ialah bahwa teori semantik itu terutama berurusan dengan kelengkapan-kelengkapan bahasa yang harus menangani kebenaran dan kesalahan (falsehood): suatu padangan yang dapat dirangkum dalam istilah “semantik berdasarkan kebenaran”.
(10) Ketidakkonsistenan
Sebenarnya itu lebih mudah dipahami jika kita sudah memahami apa yang disebut entailmen atau pengartian (entailment), sebagaimana akan dipaparkan pada (11). Rumus ketidakkonsistenan proposisi berbunyi X tidak konsisten dengan Y jika “X benar, Y salah” dan jika “Y benar, X salah”. Misalnya, Saya anak yatim piatu. (X), tidak konsisten dengan bapak dan ibu saya masih hidup, (Y). Karena itu kalimat Saya anak yatim piatu dan bapak ibu saya masih hidup mengandung ketidakkonsistenan.
(11) Pengartian
Istilah ini dipadankan dengan kata Inggris entailment (ingat: tail ’ekor’, dan umumnya ekor itu di belakang). Di dalam bahasa Indonesia sebuah proposisi atau kalimat sering diikuti penjelasan di belakangnya, yang merupakan inferensi atau simpulan dari proposisi di depannya (Lihat penjelasan pada no. 9). Penjelasan itu biasanya diawali dengan kata-kata seperti ”Artinya …”, “ini berarti…”. Tentu saja antara proposisi pertama dengan inferensi atau proposisi simpulannya mempunyai arti yang tidak bertentangan. Rumusnya: “X mengentail Y”. Jika X benar, maka Y benar; Jika Y salah, maka X salah. Contoh: Saya hampir tidak lulus, (Y). Propoisisi yang mengentail Y adalah Saya lulus (X). lihat bandingan berikut: 
Proposisi   : Saya hampir tidak lulus.
Entailmen  : Saya lulus.
Sinonim     : Hampir aku tidak lulus.
Anomali     : Saya tidak ikut ujian dan saya hampir tidak lulus.
(12) Praanggapan
Praanggapan itu dapat dianggap sebagai salah satu penyimpulan (inferensi) atau “pengetahuan” yang dapat ditarik dari sebuah pernyataan (proposisi) mempunyai ciri-ciri kesahihannya sendiri meskipun tidak mempunyai nilai kebenaran. Misalnya, pertanyaan yang memerlukan jawaban “ya” atau “tidak”, mempunyai ciri logis untuk memancing proposisi (pernyataan) yang positif (“ya”) atau negatif (“tidak.”) sebagai jawabannya. Contoh:
A: “Kamu akan pergi?”
B: “Ya” (atau “tidak”) (lengkapnya: “Ya, saya akan pergi.”
Proposisi ini kemudian dapat dikaitkan dengan istilah-istilah yang sudah kita kenal seperti sinonimi, entailmen, dsb., sehingga kita dapat membentuk gagasan seperti “sinonimi-T” (T = tanya), misalnya, Akan pergikah kamu? Jika kita hendak membentuk gagasan “entailmen-T”, akan lebih gampang jika kita cari bentuk pernyataannya, yakni kamu akan pergi. Kalimat ini mempunyai entailmen Kamu tidak di sini lagi. Atau lewat jawaban kalimat tadi, yakni “Ya, saya akan pergi”, yang entailmennya adalah “Saya akan berpisah dengan kamu.” Kita dapat pula membentuk “kontradiksi-T” seperti “Apakah bapakmu perempuan?”
Sebuah pertanyaan biasanya memang menghendaki jawaban, tetapi, “jawaban” itu tidak selalu berbentuk kalimat deklaratif. Bisa jadi, sebuah pertanyaan direaksi oleh pendengarnya dengan pertanyaan juga. Misalnya:
A: “Siapa namamu?”
B: “Ngapain tanya-tanya?”  
Semantik biasanya tidak memperhatikan makna kalimat dalam percakapan semacam itu, tetapi pragmatik mempunyai urusan dengan percakapan semacam itu. Jawaban B secara pragmatik tidak bersifat kooperatif, bahkan mungkin tergolong tidak sopan.
(14) Self-answered question (pertanyaan yang dijawab sendiri).
Sebuah pertanyaan bisa juga tidak memerlukan jawaban karena,  penanya memang tidak memerlukannya. Mengapa? Karena dia sudah tahu jawabannya, atau dia sendiri yang menjawab. Contoh: Mengapa hal ini saya tanyakan padamu? Ya, karena saya tidak mau mendengarnya dari orang lain. Hal semacam ini dapat anda cari sendiri dalam novel-novel yang biasanya banyak mengandung percakapan.
Daftar dari Katz yang dikutip Soemarmo di atas memang cukup sistematis tetapi tidak sepenuhnya diikuti oleh pragmatik. Nanti akan kita lihat, misalnya, bahwa pragmatik pun banyak membahas tentang praanggapan. Paparan ringkas tentang beda pragmatik dan semantik diberikan oleh Purwo (1989). Semantik adalah telaah tentang makna kalimat (sentence), sedangkan pragmatik adalah telaah tentang ujaran (utterance). Kalimat itu merupakan maujud (entitas) yang abstrak sebagaimana didefinisikan dalam teori gramatika, sedangkan ujaran atau tuturan adalah pengujaran kalimat pada konteks yang sebenarnya. Dengan demikian, semantik itu menggeluti makna yang bebas konteks (context independence), makna yang stabil (tidak berubah-ubah); sedangkan pragmatik mengkaji makna yang terikat atau bergantung konteks (context dependence), maka yang tidak stabil, bisa berubah-ubah bergantung konteksnya. Logikanya, jika kita berbicara tentang ujaran, maka kita segera mempertanyakan siapa yang berujar atau yang mengujarkan, lalu kepada siapa ujaran itu ditujukan, tentang apa dia berujar, di mana, kapan, dan seterusnya. Semua jawaban atas pertanyaan tersebut merupakan unsur atau komponen dari sebuah konteks.
Beda kalimat dan ujaran dapat pula dilihat pada paparan berikut. Teori gramatika sering mengajarkan bahwa “kalimat” FB+FB terdiri atas frase benda dan frase benda; frase pertama sebagai subjek, yang kedua menjadi predikat; struktur kalimatnya S-P. Semua penjelasan itu masih secara abstrak: kalimat hanya kita bayangkan dalam benak. Kalimat itu baru konkret kalau ada yang berujar, misalnya, “Sepatunya karet.” Semantik memang memandang “sepatunya karet.” Itu sebagai kalimat, lalu ditelaah. Kalimat itu dianggap memiliki makna yang tetap, yakni: dia mempunyai sepatu yang terbuat dari karet. Artinya, sepatunya tidak terbuat dari kulit atau kayu. Pragmatik mungkin mencari konteksnya, dan mungkin ditemukan konteks itu demikian.
Anak: “Bu, cukup nggak?” (sambil bergaya di depan ibunya).
Ibu  : “Aduh, cakep deh. Tapi, coba lihat! Ampuuun. Bajunya Arrow, lima puluh ribu,     celananya wool England. Sabuknya ‘made in France’. Eeee…Sepatunya karet. Ini untuk ke kebun, bukan ke pesta.”                                       
Pragmatik akan mencari, misalnya, apa fungsi (atau makna, atau maksud) ujaran “Sepatunya karet.” tadi bagi si anak: kritik, ejekan?; atau si ibu bermaksud “memerintah” atau “meminta” atau “mengusulkan” agar anaknya berganti sepatu yang cocok untuk pergi ke pesta. Pragmatik juga bertanya, apa reaksi si anak (sebagai petutur, pendengar) ketika mendengar ujaran ibunya. Mungkin saja berupa ujaran, “Ah, ibu”, atau langsung berlari ke kamarnya, mengganti sepatu karet dengan sepatu mengkilat dari kulit. Jadi, secara pragmatik, kalimat “Sepatunya karet.” itu di samping mempunyai (1) makna tersurat (literer), makna sebenarnya, juga (2) makna yang tersirat memerintah, mengritik, mengejek, meminta, dan makna tersirat inilah yang (3) memunculkan makna tertentu bagi pendengarnya: kritik itu diterima dengan ujaran atau tindakan tertentu. Semantik biasanya hanya berhubungan dengan makna (1), sedangkan makna (2) dan (3) menjadi kajian khas pragmatik.


BAB  II
BATASAN PRAGMATIK
2. 1  Batasan yang Berhubungan dengan Teori Sitaksis
Di dalam 1.2 kita sedikit membahas tentang perbedaan antara linguistik struktural (dalam hal ini adalah teori sintaksis) dengan pragmatik dalam menghadapi kalimat yang sama. Dalam hal ini Levinson memberikan batasan berikut:
“Pragmatics is the study of those relation between langage and cotext that are grammaticalized, or encoded in the structure of language.” (hal.9)  
(Pragmatik adalah kajian tentang hubuNgan-hubungan antara bahasa dan konteks yang digramatikalkan, atau dienkodekan di dalam struktur bahasa.)
Marilah kita lihat dahulu beberapa istilah yang ada dalam batasan tersebut untuk memudahkan kita dalam memahaminya, yaitu konteks, digramatikalkan, dienkodekan. Penjelasannya diambil dari J. Richards dkk.
(1)          Teks dan Konteks
Konteks ialah “yang ada sebelum dan atau sesudah sebuah frasa, atau bahkan ujaran yang lebih panjang (dari frasa, yaitu kalimat), atau teks.” Jadi, konteks itu bisa berarti “yang melingkungi.” Misalnya, kata makan dapat berada di dalam konteks verba, konteks yang berwujud bahasa, yaitu di belakang kata akan, atau di depan kata pisang, membentuk frasa akan makan dan makan pisang, atau di tengah-tengah keduanya, akan makan pisang. Dalam hal ini makan adalah butir leksikal (dalam bentuk kata) yang akan dicari maknanya, sedangkan akan – pisang adalah konteksnya. Frasa akan makan dapat berada di belakang kata seperti saya, dia, mereka, kuda itu, membentuk kalimat seperti Saya akan makan. Bisa juga di depan bentukan lain yang membangun kalimat seperti Baru akan makan pun tidak diijinkan. Dalam hal ini akan makan ialah butir gramatikal (dalam bentuk frasa) dan Saya – dan Barupun tidak diijinkan adalah konteksnya. Kalimat Saya akan makan dapat berada dalam konteks yang lebih besar, misalnya Saya akan makan tetapi nasinya sudah habis, atau Dia tahu saya akan makan. Konteksnya ialah kalimat panjang itu dikurangi klausa Saya akan makan.
Kalimat Saya akan makan dapat juga terjadi dalam sebuah percakapan berikut:
A : “Apa yang kau lakukan?”
B : Saya akan makan,”
A : “Waduh, nasinya habis.”
Dalam hal ini kedudukan kalimat tersebut adalah ujaran dari B. Ujaran itu sebagai jawaban atas pernyataan A. Dalam percakapan itu jelas ada penutur (yang bertutur) dan petutur (yang diajak bertutur, lawan tutur), yaitu A dan B, keduanya adalah partisipan (orang-orang yang terlibat di dalam percakapan). Ada pula topik yang dipercakapkan yaitu tentang makan. Semua itu membentuk konteks situasi.
Konteks itu, verbal atau situasi, dapat mempengaruhi makna sebenarnya dari sebuah kata, frase, kalimat, atau ujaran. Makna yang berdasarkan konteks itu disebut makna kontekstual. Menurut Richards, makna kontekstual adalah makna suatu butir leksikal (kata) atau butir gramatikal (frase kalimat) di dalam konteks. Kalimat tanya, “Tahukah kamu apa artinya perang?” dapat mempunyai dua makna kontekstual:        (1) dapat bermakna ‘kamu tahu makna kata perang?” kalau diucapkan oleh guru bahasa kepada muridnya di kelas dalam pelajaran kosa kata; dan (2) dapat bermakna ‘perang’ berarti kematian, kehancuran, dan penderitaan.’ Jika diucapkan, misalnya, oleh seorang veteran perang yang cacat karena perang dan yang kehilangan bapak dan ibunya serta istrinya kepada seorang politikus yang suka perang. Makna kedua ini mirip dengan entailmen atau pengartian dari sebuah pernyataan: “Tahukah kamu apa artinya perang? Perang berarti kematian, kehancuran, dan penderitaan.”
D. A. CRUSE memakai istilah konteks linguistik (= konteks bahasa) untuk konteks verbal, dan konteks ekstralinguistik (konteks di luar bahasa) untuk konteks situasi. Sebenarnya dia agak berkeberatan jika konteks ekstralinguistik itu dimasukkan untuk menentukan makna. Alasannya, (1) hubungan antara butir leksikal atau butir gramatikal dengan konteks ekstralinguistik itu sering ditengahi oleh konteks bahasa murni (tanpa hal-hal yang di luar unsur bahasa); (2) tiap segi konteks ekstralinguistik pada prinsipnya dapat diungkapkan dengan menggunakan bahasa; dan (3) konteks bahasa lebih mudah dikontrol  (dikendalikan) dan mudah dimanipulasikan. (Atrinya, kita dapat memberikan penjelasan dengan “mengutak-kutik” bahasa).
Lalu, apa itu teks? Teks adalah sepotong bahasa lisan atau tertulis. Contoh-contoh pada paragraf di atas adalah teks, yaitu akan makan, saya akan makan, Saya akan makan tetapi nasinya habis. Semua itu adalah teks tertulis. Contoh teks lisan adalah percakapan antara A dan B. Jika kita melihat dari sudut bahasanya saja maka konteks dalam percakapan tadi ialah dua ujaran A, sedangkan ujaran B ialah butir gramatikal. Jadi, teks itu dapat durumuskan menjadi: konteks + butir leksikal/gramatikal. Teks itu, menurut Richards, dapat dianalisis dari sudut pandang strukturnya dan atau fungsinya. Dari segi struktur sudah kita bicarakan, misalnya ketika kita mengatakan bahwa butir leksikal (akan) atau butir gramatikal (akan makan: saya akan makan ) berada di depan, di tengah, atau di belakang konteks, dari sudut fungsi kita dapat mengatakan, misalnya, tentang pertanyaan, perintah, peringatan, dsb. Misalnya, dalam percakapan di atas, ujaran A yang pertama berfungsi pertanyaan, disusul ujaran B yang berfungsi jawaban, diakhiri dengan ujaran A yang kedua yang berfungsi pemberitahuan tetapi juga berfungsi pernyataan kecewa karena tidak dapat menyediakan makan bagi B. Dari sudut konteks bahasa kita dapat mengatakan, misalnya, kata akan berfungsi menjelaskan.
(2)   Digramatikalkan
Gramatika atau tata bahasa mengandung kaidah-kaidah suatu bahasa. Biasanya yang tercakup dalam gramatika ialah tata bentukan atau morfologi (pengimbuhan, pengulangan, pemajemukan) dan tata kalimat atau sintaksis (mencakupi frase, klausa, kalimat). Kata gramatikal berarti ‘bersifat gramatika; sesuai dengan kaidah gramatika’, dalam pelajaran sintaksis kalimat Ani minum racun adalah gramatikal karena sesuai dengan kaidah gramatika: berpola S-P-O, berstruktur FB + FK; FK terdiri dari KK+KB; dan secara semantik maknanya benar dan logis. Dapat juga dikatakan bahwa kalimat tersebut secara sintaksis dan secara semantik benar. Kalau struktur kalimat itu diubah menjadi Racun minum Ani, maka secara struktural atau secara sintaksis masih gramatikal karena pola dan strukturnya sama dengan kalimat pertama. Kalau diubah menjadi Ani racum minum maka kalimat ini tidak gramtikal karena melanggar kaidah pola dan struktu kalimat; secara semantik makna kalimat tersebut “dapat diraba”. Karena kalimat semacam itu tidak pernah digunakan dalam komunikasi maka secara pragmatik kalimat tersebut tidak benar. Menurut F.R. Palmer (1979), kalimat tersebut digolongkan anomali secara semantik dan karena itu secara pragmatik juga tidak benar.
Kata digramatikalkan di sini tidak dimaksudkan kalimat yang tidak gramatikal dibuat menjadi gramatikal. Dalam hubungannya dengan batasan di atas berarti kata tersebut berarti menganggap “sesuatu” mempunyai kaidah-kaidah seperti gramatika (yang dipatuhi oleh penutur bahasa). “Sesuatu” itu ialah relasi atau hubungan antara bahasa dan konteks. Artinya, hubungan antara bahasa dan konteks ada kaidah atau aturannya, dan kaidah itu dipandang serupa dengan kaidah gramatika. Kalau kaidah suatu bahasa mengatur hubungan bentuk atau satuan bahasa yang satu dengan bentuk bahasa yang lain, maka “gramatika” hubungan antara bahasa dan konteks mengatur penggunaan bahasa. Kaidah ini kadang-kadang disebut kaidah wicara (rules of speaking) atau kaidah komunikasi (comunication of rules). Kaidah ini mengatur, misalnya, kapan penutur boleh menggunakan kamu atau saudara untuk menyapa penuturnya; kapan dalam suatu percakapan seorang partisipan boleh mengambil giliran berbicara da bagaimana caranya.
(3)   Dienkodekan
Bentukan ini berasal dari kata kode (Inggris: code), berarti ‘tanda; sandi’: sebagai istilah. Kode adalah istilah “netral” yang dapat dipakai sebagai ganti istilah bahasa, ragam, dialek, gaya, tutur, dan sebagainya. Dalam kajian semantik kita ketahui bahwa kata adalah tanda atau lambang (atau kode) yang menandai atau melambangkan makna tertentu.
Dalam kajian psikolinguistik, kajian tentang hubungan bahasa dengan pikiran, dikatakan bahwa seorang penutur selalu memiliki “sesuatu” yang dipikirkan yang akan diungkapkan dalam ujaran (“sesuatu” itu biasa disebut pesan). Ketika (akan)  berujar, dia melakukan suatu proses psikologi di dalam benaknya yang disebut proses enkode (Inggris; encode), yaitu “proses pengalihan pesan ke dalam seperangkat lambang, sebagai bagian dari tindak berkomunikasi”, proses pengalihan pesan ke dalam seperangkat lambang-lambang, sebagai bagian dari tidak berkomunikasi”, atau proses pemasukan pesan ke dalam kode. Dalam mengenkodekan itu seorang penutur harus:   (1) memilih atau menyeleksi makna atau konsep yang hendak dikomunikasikan, misalnya, dia ingin makan, dan bukan ingin minum, pergi, atau tidur, dan                    (2) mengalihkan makna atau konep itu ke dalam bentuk bahasa (kode) dengan memakai sistem makna (konsep; proposisi), sistem gramatika (kata, frasa, kalusa, kalimat), dan sistem fonologi (fonem, lafal). Jelasnya, karean penutur itu ingin makan (keinginan untuk makan adalah jenis pesan) dan dia hendak mengkomunikasikan pesan kepada petutur, maka dia harus “memikirkan” kode apa yang hendak dipakai untuk mewadahi pesan itu, “mengalihkan” pesan ini ke dalam kode berupa kata, frasa, klausa atau kalimat, juga bagaimaa cara mengucapkannya, apakah dengan suara lembut atau keras, dengan nada merayu atau marah-marah, dengan tempo yang lamban atau cepat. Maka, setelah dalam hitungan sepersekian detik dia memikirkan semua itu, mungkin dia akhirnya mengucapkan kode dalam bentuk “bahasa” Indonesia, “ragam” santai, menggunakan tiga buah kata yang berurutan, dalam nada tanya, diucapkan dengan suara lamban dan pelan: Masih punya nasi? Pilihan ini menyingkirkan pilihan lain seperti: Makan! Cepat sediakan makan! Saya lapar, minta makan!, dan sebagainya. Jika tidak menggunakan sistem bahasa, dengan sarana komunikasi yang lain, maka dia akan bersiul kepada istrinya, atau mengetuk-ngetuk meja makan, dan sebagainya. Jika urusannya tidak ikhwal rumah tangga kita dapat menggunakan sirene, kentungan, bel, kode morse, huruf Braille (untuk orang buta), dan lain-lainnya untuk berkomunikasi.
Proses mengengkodekan selalu terjadi pada penutur. Karena penutur itu menyampaikan pesan lewat kode yang ditujukan kepada petutur (lawan bicara), maka si petutur berupaya  untuk memahami pesan tadi, dan untuk itu ia melakukan proses (di dalam benaknya) yang berlawanan dengan apa yang dilakukan penutur. Petutur, begitu mendengar kode dari penutur dalam bentuk-bentuk bunyi yang masuk ke telinganya, segera (dalam hitungan sepersekian detik) mendekodekan pesan, yaitu mencoba memahami makna ujaran dengan makna bunyi (kata, frasa, kalimat), yang dalam contoh kita tadi ialah: Masih ada nasi? Dalam melakukan dekode, proses memahami kode itu, pendengar harus: (1) menangkap dan menyimpan ujaran yang didengarnya dalam ingatan (memori) jangka pendeknya; (2) menganalisis ujaran menjadi segmen-segmen (bagian-bagian) dan mengidentifikasikannya sebagai klausa, frasa, kata atau satuan-satuan bahasa yang lebih kecil; (3) mengidentifikasi adanya makna tersirat (Ingat: makna sebenarnya kalimat Masih ada nasi? di atas memang “menanyakan ada atau tidaknya nasi”, tetapi kalimat itu mempunyai “maksud”  tersirat yaitu “minta makan”).
Jadi, batasan di atas menyarankan adanya kaidah yang mengatur hubungan antara bahasa dengan konteks; kaidah itu disejajarkan dengan gramatika (untuk bahasa) dan dienkodekan atau dialihkan ke struktur bahasa. Jika seorang penutur hendak menanyakan sesuatu, misalnya, palu, kepada salah seorang anggota keluarga serumah, maka dia tidak perlu harus mengikuti kaidah gramatika bahasa yang serba sempurna dan lengkap, sehingga melahirkan kalimat ujaran, misalnya “Apakah kamu tahu di mana letak palu kita?” melainkan cukup mengikuti “kaidah” atau “gramatika pragmatik”. Mugkin kaidah ini berbunyi “sebuah pertanyaan dapat diwujudkan dalam kode serupa jika para partisipan sudah saling memahami  sebagai konteks”, sehingga ujaran yang muncul ialah kalimat pendek, “Lihat palu?”. Kita lihat kalimat pendek ini tidak melanggar struktur “gramatika bahasa” karena masih mengikuti urutan “predikat (lihat) diikuti objek (palu)”.
Menurut Soemarmo, dengan batasan itu pragmatik dapat diarahkan kepada pengaruh pragmatik terhadap struktur kalimat, atau sebaliknya. Dikatakannya, Morgan (1975) pernah mempelajari kaidah sintaksis (dalam gramatika) terhadap pragmatik. Dalam cakapan, misalnya, kita sering memakai kalimat-kalimat fragmentis (yang merupakan pragmen atau bagian dari kalimat yang “lengkap”, yang kalau dipandang dari sudut kaidah gramatika transformasi (yang dianut Morgan) merupakan bentuk dari kalimat “lengkap” (dalam gramatika transformasi disebut kilamat inti, dengan ciri-ciri; terdiri dari S-P, kalimat berita, kalimat tunggal, aktif, bersusun S-P). contoh:
A: “Tuti makan apa tiap pagi?”
B: (Yang lengkap) “Dia makan nasi goreng tiap pagi.” --- (Yang pendek dan tidak lengkap) “Nasi goreng.”
P: “Hamidah baru saja pergi dengan seorang janda.”
Q: “Dia baru saja pergi dengan siapa? --- “Dengan siapa?”
Kalimat fragmentis hanya dapat dipakai dalam kalimat cakapan, misalnya sebagai jawaban atas pertanyaan. Karena memakai dasar konteks (yaitu bagaimana kalimat itu digunakan dalam komunikasi) maka kita berhubungan dengan segi pragmatik. Kaidah pragmatiknya ialah: “dalam cakapan kalimat-kalimat tertentu dapat dipendekkan”.
Sebaliknya, dengan mengutip Gordon dan Lakoff (1975), ada kaidah gramatikal yang bergantung kepada (atau dipegaruhi oleh) kaidah cakapan atau kaidah pragmatik. Kalimat dapat dipendekkan kalau ada “alasan pragmatiknya”. Dalam bahasa Inggris kalimat tanya “Why did you paint your house purple?” (mengapa Anda mengecat rumah Anda dengan warna kelabu?) dapat dipendekkan menjadi “Why paint your haouse purple?” (mengapa mengecat rumah Anda kelabu?). Mengapa? Karena kalimat tanya yang panjang itu, di samping menanyakan alasan petutur mengecat rumah dengan warna kelabu, juga mengandung “makna tambahan” (atau makna konotasi) bahwa tindakan petutur mengecat rumah dengan warna kelabu itu dianggap tidak layak dan aneh oleh penutur (mungkin juga oleh masyarakat). Makna tambahan itulah yang dimaksud dengan “alasan pragmatik” tadi. Menurut Soemarmo, di dalam bahasa Indonesia, makna kalimat pendek yang mengandung makna tambahan “tidak layak” itu dinyatakan oleh perubahan intonasi (mungkin meninggi dan memanjang). Dalam bahasa Jawa, makna tambahan yang menggambarkan kekecewaan penutur itu dinyatakan dengan menambahkan kata Kok atau lha kok atau lho lha kok (yang tidak mempunyai makna leksikal). Kalimat bahasa Inggris di atas bisa dinyatakan dalam bahasa Jawa, “Ngapa kok dicet klawu?”, atau “lha kok dicet klawu”, “lho, lha kok dicet klawu?” (‘Ngapain kau cet kelabu?’).
2. 2  Batasan yang berkaitan dengan kebenaran
Ada batasan yang berbunyi “Pragmatik adalah kajian tentang prinsip-prinsip yang berkenaan dengan penggunaan bahasa secara tepat dan benar”. Batasan ini berarti bahwa pragmatik sama sekali tidak ada hubungannya dengan usaha pemerian (deskripsi) struktur bahasa.
Sebagaimana dikemukakan dalam Bab I, Chomsky mengemukakan teori tentang perbedaan antara kompetensi dan performansi. Kompetensi itu merupakan kemampuan menguasai kaidah bahasa yang abstrak, kemampuan yang tidak tampak karena berada di dalam benak, sedangkan performansi berwujud ujaran yang dapat kita dengar. Dapat juga dikatakan bahwa kompetensi ini berada pada wilayah bahasa (language), sedangkan performansi itu berada di wilayah tutur (speech). Menurut dia, dengan menguasai kompetensi, yakni penguasaan atas gramatika bahasa ibunya, maka tiap anak dengan sendirinya mampu memproduksi kalimat-kalimat yang tidak terbatas jumlahnya. Hymes mengkritiknya dengan mengemukakan bahwa menguasai kaidah gramatika suatu bahasa, atau mempunyai kompetensi gramatika saja tidak cukup; tetapi masih dibutuhkan kompetensi komunikasi, yakni menguasai kaidah berkomunikasi. Orang yang hafal kaidah gramatika dengan baik tidak mesti mampu bertutur dalam bahasa tersebut. Sejak kecil sebenarnya kita sudah belajar kedua kompetensi itu. Kita tidak hanya belajar mengujarkan kalimat yang benar (correct) menurut gramatika tetapi juga harus tepat (appropriate) menurut acuan atau konteksnya. Anak kecil (Ika) yang memegang botol berisi susu tidak akan dibiarkan oleh ibunya jika si anak berujar, “Ika minum kopi”, karena acuannya adalah susu. Kalimat “Ika minum kopi” itu secara sintaksis benar: kata Ika diikuti minum dan minum diikuti kopi benar adanya. Secara semantik, kalimat itu juga benar, karena makna kalimat itu didukung oleh makna kata-kata yang logis, dan makna kalimat itu pun logis, tetapi, secara pragmatik kalimat itu tidak benar karena tidak sesuai dengan fakta, tidak sesuai dengan konteks. Faktanya, yang diminum Ika susu, bukan kopi.
Kalau kita memegang teori Chomsky tentang kompetensi dan penampilan, maka batasan di atas hanya berkaitan dengan penampilan saja, karena penampilan itu merupakan penggunaan bahasa (berdasarkan kompetensi). Dari sudut kepentingan pragmatik batasan itu dipandang lemah oleh Katz dan Fodor (1963) karena teori pragmatik justru mencoba menghilangkan kerancuan bahasa dengan menyertakan latar penggunaan bahasa secara benar dan tepat. Latar belakang bahasa itu bisa saja menyangkut struktur bahasa atau konteks yang nonbahasa. Pramatik juga memberikan interpretasi atau penafsiran-lanjut mengenai bentuk bahasa, termasuk struktunya, dengan mengacu kepada latar ujaran tadi. Mengapa seorang penutur menggunakan kata penyapa saudara dan bukan kamu atau kau, merupakan tugas pragmatik unutuk menafsirkannya. Jadi, kekurangan definisi di atas ialah bahwa batas itu tidak mungkin mencari interpretasi tadi, padahal segi kebahasaan amat sering berintraksi dengan latar. Struktu S-P-O (“kau makan apa”)  bisa saja berubah menjadi P-O-S (“Makan apa kau?”) dan hal itu terjadi karena latarnya berubah dari P (penutur menanyakan pilihan makanan) menjadi O (penutur melihat cara makan petutur). Atau, sebuah kata, karena motivasi tertentu diganti dengan kata lain. Misalnya, seorang ibu mengubah kata makan menjadi maem karena petuturnya adalah anaknya yang masih kecil. Jadi, perubahan ini berhubungan dengan makna sosial (makna yang bertautan dengan kondisi sosial). Si ibu berujar, “yuk maem, yuk!”, untuk mengajak anaknya makan, karena kondisi sosial meghendaki demikian. Artinya, kata maem itu mempunyai fungsi tertentu yakni mengakrabkan diri dengan petutur yang masih anak-anak. Di dalam masyarakat Jawa ada kebiasaan orang tua menyesuaikan tuturnya dengan yang tampaknya sengaja disediakan untuk ana-anak jika sedang berbicara dengan anak-anak, seperti maem ‘makan’, mimik ‘minum’, bobo ‘tidur,  pipis’ kencing’; eek ‘buang air besar’, yayak ‘duduk’, pakpung ‘mandi’.
Sebagaimana dikemukakan pada 1.1 dan 1.2 kajian bahasa yang dahulu bersifat formal (melihat bentuk dan struktur bahasa) kemudian berubah bersifat fungsional dan pragmatik mengarah ke sifat itu. Paragraf di atas kita juga berbicara tetang fungsi sosial tutur, yakni tutur bisa berfungsi mengakrabkan diri penutur terhadap petuturya. Karena  itu wajar saja jika kemudian ada definisi yang mengandung segi fungsi itu, yaitu yang mengatakan bahwa:
Pragmatik ialah bidang kajian yang mempelajari segi struktur bahasa dengan mengacu kepada hal-hal yang bersifat nonkebahasaan
Maksudnya, sebagaimana dikemukakan di depan, penggunaan bentuk atau struktur bahasa tertentu (ingat: penggunaan struktu P-O-S, kata maem!) mempunyai fungsi nonkebahasaan, misalnya fungsi sosial. Tentang hal ini kelak akan dibahas lagi.



2. 3  Batasan yang Enumeratif
          Batasan yang lebih jelas adalah batasan enumeratif, yaitu batasan yang menyebut satu demi satu objek kajian pragmatik. Batasan begini tampak misalnya pada batasan yang dikutip oleh Richards dkk:
      “pragmatik adalah kajian tentang penggunaan bahasa dalam komunikasi, terutama     hubungan antara kalimat dengan konteks atau situasi tempat kalimat itu diujarkan”.
Ditambahkannya, pragmatik mencakupi kajian tentang (a) bagaimana penafsiran (interpertasi) dan penggunaan ujaran bergantung kepada pengetahuan tentang dunia nyata; (b) bagaimana penutur menggunakan dan memahami tindak tutur; dan              (c) bagaimana struktur kalimat dipengaruhi oleh hubungan antara penutur dan petutur (pendengar). Pragmatik kadang-kadang dipertentangkan dengan semantik yang mengkaji makna kalimat tanpa mengacu atau menghubungkan makna itu dengan penggunaannya (yakni penutur dan fungsi-fungsi komuniktif dari penutur tersebut).
Ikhwal terhadap ujaran dan penafsirannya sudah dikemukakan di depan. Pragmatik harus mampu menjawab mengapa penutur menggunakan sapaan Saudara dan kamu atau kau. Pragmatik juga harus menjawab persoalan bagaimana penutur mengunakan dan memahami tindak tutur. Tindak tutur dapat disamakan dengan fungsi tutur, seperti bertanya, menyindir, memerintah, menolak, memuji, mengemukakan kekecewaan, dsb. Di depan sudah kita bicarakan tentang kalimat “Masih ada nasi?”, yang berbentuk kalimat tanya tetapi tindak tuturnya adalah meminta makan. Dalam hal itu penutur tidak menggunakan kalimat seperti: “Saya mau makan.” atau yang lain. Kita juga sudah berbicara tentang tindak tutur yang berfungsi untuk menyatakan kekecewaan dengan kalimat “Lho, lha kok dicat kelabu!” Di lain pihak, jika penutur bertindak sebagai petutur maka dia pun harus memahami tindak tutur seperti itu.
Akhirnya, pragmatik mengkaji bagaimana struktur kalimat dipengaruhi oleh hubungan antara penutur dengan petutur (pendengar). Hubungan antara penutur dan petutur itu bisa sejajar atau simetris, seperti antara teman dengan teman, prajurit dengan prajurit, buruh dengan buruh; bisa juga tidak sejajar atau asimetris (hubungan atas bawah), seperti hubungan antara majikan dengan pembantu, majikan dengan buruhnya, kepala sekolah dengan guru, sopir dengan kernet, presiden dengan menteri. Seorang mahasiswa mungkin mengucapkan “Pagi.” untuk menyapa teman sesama mahasiswa, tetapi dengan dosennya akan menggunakan “Selamat pagi, pak.”
Lebih sederhana lagi ada batasan yang berbunyi:
Pragmatik mempelajari deiksis, implikatur percakapan, praanggapan, dan tindak tutur.” 
Di antara empat topik kajian pragmatik itu yang sudah dibicarakan di BAB I ialah perihal praanggapan atau prasuposisi (presupposition). Praanggapan ialah sesuatu yang diasumsikan (diperkirakan) oleh penutur atau penulis bahwa sesuatu itu sudah diketahui oleh petutur atau pembaca. Kalau A berujar kepada B, “Dagangannya laris.”, maka A mengasumsikan (memperkirakan) B sudah tahu bahwa “dia adalah pedagang”. Jika A berujar, “Dia tidak lulus.”, maka A berasumsi B sudah tahu bahwa “Dia ikut ujian.” Karena asumsinya ialah petutur sudah mengetahui, maka praanggapan itu tidak diujarkan meskipun merupakan bagian dari “makna ujaran”.
Yang juga sedikit banyak sudah disinggung ialah ihwal tindak tutur (speech act). Menurut Richards dkk, tindak tutur ialah suatu ajaran di dalam komunikasi yang merupakan suatu satuan fungsional. Artinya, tiap ujaran, berupa sebuah kalimat atau bukan kalimat, adalah satuan bahasa yang menjadi objek kajian pragmatik; dan satuan itu mempunyai fungsi tertentu, seperti bertanya, memuji, meminta, dsb. Di dalam pengajaran bahasa tindak tutur itu sering kali disebut fungsi bahasa atau fungsi tutur (contoh yang sudah disinggung pada 1.2 ialah  kalimat “bisa mengantar surat ini?” yang berbentuk kalimat tanya tetapi fungsinya ialah menyuruh. Jadi, tindak tutur atau fungsi tutur itu tidak selalu sejalan dengan makna dari bentuk tutur. Kalimat tanya di atas mempunyai kemauan untuk mengantar surat. Sementara itu fungsinya ialah menyuruh seseorang untuk mengantar surat. Fungsi tutur memang lebih banyak berhubungan dengan maksud dan bukan makna kalimat. Menurut AUSTIN (1962), bertutur adalah bertindak, tiap tutur atau ujaran adalah tindakan.
Deiksis ialah kata yang tidak mempunyai referen (acuan) yang tetap (Purwo, 1989). Misalnya, kata saya dapat mengacu kepada orang yang pada saat berkomunikasi bertindak sebagai penutur, siapa saja, bisa A dan bisa B. Kata di sini dan ini masing-masing mengacu kepada tempat dan barang yang dekat dengan penutur. Titik labuhnya terletak pada penutur: jika penutur berada di utara lapangan, maka di sini mengacu utara lapangan, dan bagian selatan lapangan disebut di sana. Sebaliknya, jika dia berada di selatan lapangan, maka di sini mengacu bagian selatan lapangan dan di sana mengacu ke bagian utara lapangan. Ini berbeda dengan kata seperti kata kursi, kertas, rumah, yang mempunyai acuan tetap meskipun tempatnya mungkin berubah-ubah.
Bagaimana dengan implikatur percakapan. Kata implikatur berhubugan dengan kata implikasi ‘yang terkandung’. Dalam hal implikatur percakapan, kata tersebut berarti ‘makna yang terkandung’. Sebuah ujaran dapat mengimplikasikan pernyataan (proposisi) yang bukan merupakan bagian dan ujaran itu. Proposisi yang diimplikasikan itu disebut  implikatur (implicature). Dalam sebuah percakapan implikatur-implikatur itu banyak kali terjadi, dan itulah yang disebut implikatur percakapan (conversational implicature). Dalam sebuah percakapan ada kaidah tidak tertulis yang diketahui oleh semua warga guyub tutur dan yang mempengaruhi bentuk giliran (pergantian) percakapan. Misalnya:
A: “Ayo nonton!”
B: “Besok saya ujian.”
Jawaban B itu sepertinya tidak berkaitan dengan ujaran A.  A bicara tentang nonton tetapi B bicara tentang ujian, tetapi, ujaran A itu merupakan ajakan, dan jawaban terhadap ajakan itu biasanya berupa penerimaam atau penolakan. Jawaban B itu bisa kita pahami sebagai penolakan halus terhadap ajakan A. Dalam hal ini B telah menggunakan kaidah (yang oleh filosof GRICE disebut maksim) percakapan yang tentu dipahami oleh A sebagai anggota guyub tutur. B tidak menggunakan penolakan secara langsung, seperti “Nggak mau ah.” tetapi penolakan tidak langsung. Ini berarti bahwa penolakan itu terimplikasi di dalam ujaran “Besok saya ujian.”, sementara ujarannya sendiri tidak berbetuk penolakan. Kaidah percakapan untuk mengimplikasikan makna selama percakapan itulah yang disebut implikatur percakapan. 
      Contoh berikut dapat memperjelas pemahaman kita tentang implikatur percakapan.
      P: “Tuh Koming datang.”
      Q: “Singkirkan barang-barang penting.”
Ujaran P itu merupakan pemberitahuan akan kedatangan Koming. Tetapi jawaban Q seperti tidak ada kaitanya dengan ujaran P. Mengapa Q meminta atau menyuruh P agar  menyingkirkan barang-barang penting. Hal ini bisa terjadi karena P dan Q tahu bahwa Koming itu suka mengambil barang teman (secara paksa ata tanpa setahu pemilik barang). Kalau begitu, maka ujaran P bukan sekadar pemberitahuan melainkan justru berfungsi sebagai peringatan akan datangnya bahaya kepada Q, dan jawaban Q berfungsi sebagai peringatan untuk menghindari bahaya itu. Proposisi “Singkirkan barang-barang penting.” mengandung (mengimplikasikan) proposisi lain, misalnya, “Koming akan mengambil barang-barang itu.” Proposisi yang tak terujar inilah yang disebut implikatur percakapan. Mungkin saja ada proposisi-proposisi lain yang dapat Anda rumuskan dari jawaban Q tersebut.

BAB III
D E I K S I S
3. 1  Makna dan Acuan
          Pada bagian 2.3 dikatakan bahwa deiksis adalah kata yang tidak memiliki referen atau acuan yang tetap. Di situ tidak ditemukan isitilah makna. Pertanyaannya ialah apakah  acuan itu sama dengan makna?. Untuk menjawabnya kita harus menengok semantik leksikal.
          Di dalam semantik ada teori atau pendekatan yang disebut teori referensial. Teori ini mencoba menganalisis kata ketika kata itu berdiri sendiri, tidak di dalam konteks. Salah satu teori itu dikemukakan oleh OGDEN dan RICHARDS (dalam Stephen Ullmann, 1975), yang mengemukakan tentang teori “segi tiga dasar”. Segi tiga itu mengandung tiga komponen makna, yaitu (1) lambang (yaitu kata yang berbentuk dari buni-bunyi), terletak pada titik kiri-bawah, (2) lambang (kata) ini melambangkan pikiran atau referensi (Inggris: reference) yang ada pada titik puncak segi tiga; dan referensi ini mengacu kepada (3) unsur atau peristiwa yang disebut acuan atau referen (Inggris: referent). Perhatikan Gambar 1 dari Ogden dan Richards, kemudian bandingkan dengan Gambar 2 dari Lyons, dan Gambar 3 dari Richards dkk
   GAMBAR1
Referensi
GAMBAR  2
Makna/Konsep
GAMBAR 3
Konsep abstrak tentang meja
KATA


Lambang              Referen          Bentuk        Referen                Kata             Benda nyata
  meja                   “meja”

Paparan Ogden dan Richards itu diperjelas oleh Lyons (1968). Menurut Lyons, bentuk sebuah kata (= lambang) melambangkan “sesuatu” dalam arti “konsep” yang diasosiasikan (dikaitkan) dengan bentuk kata tadi di dalam benak atau pikiran penutur; konsep itulah makna dari kata tersebut; dan makna itu merupakan abstraksi (pengabstrakan) dari benda atau, “sesuatu” yang senyatanya, yaitu referen atau acuan. Contoh konkret diberikan oleh Richards dkk: sebuah kata, yaitu meja, mempunyai makna ‘meja’, berwujud bayangan (gambaran, konsep abstrak) tentang meja. Jika diwujudkan dalam bentuk konkret, konsep abstrak tentang meja tadi benda nyata yang disebut meja. Dengan kata lain, kata meja melambangkan makna ‘meja’ dan mengacu kepada benda yang oleh masyarakat disebut meja. Jadi, kita harus membedakan kata (berbentuk bunyi-bunyi), makna (yang dilambangkan oleh kata), dan acuan (yang diacu oleh kata). Kalau Anda ditanya, apakah meja itu?, maka akan (dan harus) anda jawab dengan “penjelasan” seperti “meja ialah…..”. Penjelasan itu, bisa berupa definisi, sesuai dengan konsep tentang meja, atau makna dari kata meja. Luas dan dalamnya penjelasan Anda bergantung kepada pengetahuan dan pengalaman Anda tentang meja. Jika anda ditanya, Bagaimana sih meja itu? Atau seperti apa meja itu? Atau mana yang disebut meja itu?, maka kemungkinan besar dan akan segera menunjuk atau mengacu (mungkin disertai dengan gerakan telunjuk Anda) sebuah benda yang biasa dinamakan meja. Apa yang Anda tunjuk itu adalah acuan, bukan makna. Jadi, kata Lyons, apa yang kita amati, yang kita “acu”, adalah acuan atau referen; dan hubungan antara kata dengan referennya adalah hubungan referensial.
          Bagi PALMER (1981) referensinya itu menyangkut hubungan antara unsur-unsur bahasa, kata, kalimat, dst. dengan dunia pengalaman yang bersifat nonlinguistik (nonkebahasaan). Ini berarti referensi sejajar dengan referen dalam rumusan di atas. Semantara itu, makna (sense) bersangkutan dengan sistem hubungan (kerelasian) yang kompleks antara unsur-unsur kebahasaan sendiri. Hubungan antara kata dengan maknanya adalah urusan intralinguistik, sedangkan hubungan antara kata dengan referen adalah urursan intralinguistik yang dihubungkan dengan segi ekstralinguistik (di luar kebahasan). Perbedaan ini lebih mudah dipahami dengan mengingat kembali segi tiga dasar yang sudah disebut di depan. Hubungan intralinguistik ialah hubungan antara titik kiri-bawah (letak kata atau lambang) dengan titik atas (letak makna kata; konsep; pikiran), sedangkan hubungan ekstralinguistik ialah hubungan antara titik kiri-bawah dengan titik kanan-bawah (letak referen; acuan; dunia nyata) melalui titik atas segi tiga.
          Yang agak menyulitkan bagi orang Indonesia ialah istilah makna. Di dalam bahasa Inggris ada kata sence dan meaning, keduanya kita padankan begitu saja dengan kata makna itu, padahal sebagai istilah keduanya harus dibedakan. Di samping itu, ada kata semantics yang kita padankan dengan semantik atau ilmu makna, dan semantic yang juga dipadankan dengan makna atau semantis. Ada yang menawarkan istilah arti atau the sense menjadi ‘dalam arti;  dalam pengertian’. Uraian ini bermaksud untuk memberikan kesadaran kepada kita agar kita berhati-hati memakai dan memahami berbagai istilah tersebut, khususnya dalam memahami pendapat LEECH (1981) berikut.
          Leech membedakan sense dan meaning. Dia menggolongkan meaning ‘makna’ menjadi tujuh, yaitu makna konseptual, makna konotatif, makna sosial, makna afektif, makna reflektif, makna kolokatif dan makna tematik. Di antara tujuh makna ini hanya makna konseptual (conceptual meaning) sajalah yang di sebut sense, selebihnya disebut meaning. Di dalam semantik makna konseptual ini sering di sebut juga makna denotatif, makna kognitif, makna logika, makna objektif. Makna ini dipandang menjadi faktor sentral dalam komunikasi verbal, yang menggunakan bahasa, dan padu dengan fungsi pokok bahasa, hal yang tidak terdapat dalam keenam makna yang lain. Maksudnya, makna konseptual atau objektif dari sebuah kata merupakan makna inti kata itu yang sangat penting dalam komunikasi, makna yang tidak mengandung unsur subjektif, unsur konotasi, atau unsur emosi penuturnya. Para peserta komunikasi tentu tidak akan mengalami kesalahpahaman jika yang menjadi pegangan dalam komunikasi itu ialah makna objektif. Mengapa? karena makna konotatif (yang mengandung nilai rasa), misalnya, sangat beragam, subjektif (berbeda dari orang ke orang), dan tidak stabil, goyah.
          Karena sense itu hanya mengacu kepada makna konseptual saja, maka dapat dikatakan bahwa sense itu merupakan meaning (makna) dalam arti sempit. Dalam arti luas meaning itu mencakupi ketujuh makna tadi, termasuk makna konseptual. Ditambahkan oleh Leech bahwa makna dalam arti luas itu ada baikyna diberi istilah alternatif yakni nilai komunikatif (communicative value). Ini dapat kita artikan sebagai “makna yang mempunyai nilai komunikatif”, yang sedikit banyak memberi sumbangan dalam komunikasi.
          Begitulah, kita telah mengetahui apa yang dimaksud dengan acuan, setidak-tidaknya jika dibandingkan dengan makna. Ini sering untuk memahami deiksis, yang didefinisikan sebagai “kata yang tidak memiliki acuan yang tetap”. Sebenarnya kata deiksis itu memiliki acuan tetapi acuannya itu yang tidak tetap. Karena itu, Sumarsono (1989) menyempurnakan batasan deiksis menjadi “deiksis adalah kata yang mempunyai acuan yang tidak tetap”. Deiksis itu ada beberapa golongan, salah satunya ialah deiksis persona, contohnya ialah saya. Dalam Kamus Besar Bahasa Insonesian (KBBI), edisi ke-2, kata saya tidak diberi makna, melainkan dikatagorikan sebagai pronomina persona tunggal, dengan perian “orang yang berbicara atau menulis” dengan tambahan keterangan “dalam ragam resmi atau biasa”. Dalam KBBI edisi ke-3 (2001) kategorinya diubah menjadi pronomina saja, sementara periannya tetap. Itu berarti, kata saya itu tidak mempunyai makna tetapi pasti punya acuan, yaitu pembicara (atau penutur) atau penulis. Dalam percakapan antara A dan B, masing-masing secara bergiliran bertindak sebagai penutur ketika mengacu kepada acuan yang berubah-ubah, tidak tetap. Kata yang mempunyai acuan demikian itulah deiksis.
3. 2  Berbagai Istilah Teknis
          Di Indonesia kajian awal yang khusus mengenai deiksis adalah disertasi Bambang Kaswanti Purwo yang kemudian dibukukan (1984). Selebihnya, deiksis selalu tercakup dalam bahan pragmatik; sebagaimana tampak pada Nababan (1957), Tarigan (1984), Dardjowidjojo (1988), dan Kawanti Purwo (1989). Berikut ini paparan yang bersumber dari tulisan mereka itu.
          Teori pragmatik sebenarnya sudah ada sesjak zaman Yunani kuno. Kata deiksis sendiri berasal dari bahasa Yunani deiktikos yang berarti ‘hal penunjukan secara lansung’. Istilah ini digunakan oleh tata bahasawan Yunani dalam pengertian ‘kata ganti penunjuk’, yang dalam bahasa Indonesia ialah ini dan itu (Purwo). Deiksis kemudian diperkenalkan kembali ke dalam linguistik abad ke-20 oleh KARL BUHLER. Konsep yang mirip dengan ini tetapi lebih luas cakupannya diperkenalkan oleh C.S. PERIRCE, dengan istilah indeksikalitas (indexicality). Dalam bahasa Inggris bentuk dasar kata indexicallity ialah index, yang makna pertamanya ialah, something that point for or indicates’ (sesuatu yang menunjukkan) atau penunjuk. Lalu ada ungkapan the index finger yang sama maknanya denga jari telunjuk (yang biasa dipakai untuk menunjuk). Dalam dunia pengajaran ada istilah indeks prestasi dan angka indeks. Angka indeks untuk menunjukkan prestasi seorang siswa/mahasiswa, itu diwujudkan misalnya dalam skala angka 0-4. Siswa/mahasiswa yang diberi tanda 4 “menunjukkan” bahwa dia tergolong siswa/mahasiswa yang tergolong pandai. Jadi, pada dasarnya deiksis dan indeks itu sama, yaitu sama-sama “penunjuk”, tetapi, sebagai istilah, LYONS (1977) menjelaskan konsep Peirce tadi demikian; “Indeks ialah sebuah tanda (sign) yang suatu saat akan kehilangan cirinya sebagai tanda jika objeknya dipindahkan (dialihkan),…”. Yang lebih luas lagi, yaitu “tanda”. Kata hotel adalah tanda, katakanlah bagi sebuah bangunan gedung, tetapi jika hotel itu dipakai untuk nama orang, misalnya untuk nama anak Bali, Wayan Hotel, maka hotel menjadi tanda bagi objek lain. Kata ini adalah tanda bagi sesuatu yang saya pegang, dan saya bisa berkata tentang buku ini, tetapi begitu buku itu saya pindahkan, dengan melemparkannya ke meja tiga meter dari saya, maka saya akan berkata tentang buku itu. Ciri indeks ini, yaitu sebagai penunjuk sesuatu yang dekat dengan diri saya, telah hilang ketika sesuatu itu pindah ke tempat yang jauh dari diri saya (dalam Sumarsono, 1989).
          Charless Morris memakai istilah pengidentifikasi (identifitier) untuk tanda-tanda yang mengacu kepada lokasi ruang dan waktu, dan petunjuk atau indikator (indicator) untuk tanda-tanda nonkebahasaan. Contoh tanda yang mengacu lokasi ruang ialah di sini, di sana, di situ; yang mengacu lokasi waktu ialah sekarang, nanti, kelak; dan tanda-tanda nonkebahasaan ialah gerak jari atau gerak alis untuk menunjuk yang berfungsi sebagai pengidentifikasi.
          Abercombie memakai istilah indices (bentuk jamak dari index) untuk mengacu kepada tanda-tanda yang menunjukkan ciri-ciri pribadi penulis atau penutur penjelasan ini tampak kurang manfaatnya bagi penjelasan kita tentang deiksis nanti. Beberapa filosof memakai istilah indeksikal (indexical) untuk kalimat yang bergantung kepada konteks, dalam arti nilai kebenaran kalimat itu berubah-ubah sesuai dengan situasi ujarnya (tentang makna kalimat yang berubah-ubah ini sudah dibahas dalam bab sebelumnya).
          Lyons sendiri kemudian mengadopsi kedua istilah itu. Baginya, pengertian indeksikal itu mirip degan istilah ekspresi dari Karl Buhler (1934) dengan pembatasan bahwa ekspresi itu mengacu kepada unsur-unsur indeksikal dari suatu ujaran yang dipakai oleh penutur atau penulis untuk membangun atau mengungkapkan kepribadiannya dengan cara yang amat orisinal. Bagaimana sebenarnya pendapat Buhler? Menurut Lyons, Buhler berbicara tentang tiga fungsi bahasa, salah satunya ialah fungsi ekspresif (aslinya disebut dengan bahasa Jerman: Ausdruck). Fungsi ekspresif bahasa ialah memasok informasi tentang penutur, perasaan, kesukaan, prasangka, dan pengalaman-pengalamannya. Di samping itu ada fungsi deskriptif, yaitu menyampaikan informasi yang senyatanya (faktual). Yang ketiga ialah fungsi vokatif, yang diganti oleh Jacobson menjadi konatif (connative) dan disebut juga fungsi instrumental. Fungsi ini merupakan alat bagi penutur untuk menyampaikan (mendesakkan) keinginan dan kemauannya kepada pendengar agar mau melakukan keinginan tersebut. Jadi, fungsi ini dipakai untuk mencapai efek (hasil) yang praktis. Ketiga fungsi ini (ekspresif, deskriptif,vokatif) cocok dengan pembedaan Buhler tentang gejala (sympton), lambang (symbol), dan sinyal (signal). Yang dimaksudkan ialah: pada umumnya tiap ujaran merupakan gejala ekspresif dari apa yang ditunjuk (diacu), dan merupakan sinyal vokatif yang dialamatkan (ditujukan) kepada penerima (pendengar). Dengan kata lain, sebuah ujaran dari seorang penutur adalah gejala dalam benak bahwa penutur mempunyai sesuatu yang akan diungkapkan (diekspresikan), ujaran itu juga merupakan lambang dari deskripsi sesuatu fakta; dan bagi pendengar, ujaran merupakan sinyal bahwa dia harus akan melakukan sesuatu (dalam Sumarsono, 1989).
          Penjelasan lain diberikan, misalnya, oleh Ignas Kleden (1988). Menurut Kleden, Buhler membedakan tiga fungsi bahasa, yakni:
1)      Appel, yakni fungsi memerintah atau meminta kepada lawan bicara untuk melakukan sesuatu. Dalam bentuk yang paling sederhana fungsi ini tampak pada komandan pasukan yang membari aba-aba “Bersi --- ap”.  
2)      Ausdruck, fungsi untuk mengungkapkan suasana hati penutur, jadi bukan untuk berkomunikasi. Contohnya: Aduh!, Wauw! 
3)        Darstellung, bahasa berfungsi mengacu objek tertentu yang berada di luar diri penutur dan lawan tuturnya, fungsinya mengacu pada menjelaskan. Puncak bahasa jenis ini adalah bahasa analitis yang digunakan dalam ilmu.
Jadi, Appel itu serupa dengan  fungsi vokatif, evokasi, konatif, instrumental yang bermaksud untuk membangkitkan (mempengaruhi; mengarahkan) lawan tutur untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Ausdruck merupakan fungsi ekspresif karena mengungkapkan suasana hati penutur. Darstellung adalah fungsi deskripsi, menggambarkan fakta senyatanya. Dalam hal ini bahasa yang digunakan dalam ilmu memang berfungsi mendeskripsikan objek ilmiah atau hasil penelitian ilmiah.
Paparan di atas pada dasarnya hendak mengemukakan bahwa deiksis itu merupakan bagian dari diskusi atau kajian tentang tanda, karena deiksis adalah bagian dari bahasa dan bahasa hakikatnya adalah lambang dan tanda. Istilah deiksis yang semula hanya bermakna ‘menunjuk(kan)’ beranjak menjadi istilah teknis gramatika untuk menangani unsur cara pandang bahasa relatif terhadap waktu dan tempat ujaran. Seperti kita ketahui tiap ujaran itu terjadi dalam suatu tempat tertentu dan dalam waktu tertentu, dalam situasi spasio-temporal (ruang dan waktu) tertentu. Ujaran itu dibangun oleh penutur dan biasanya ditujukan kepada pendengar (bisa lebih dari satu orang); keduanya berbeda orang (meskipun kadang-kadang ada orang yang berbicara dengan dirinya sendiri), dan biasanya berada dalam satu spasio-temporal (dalam percakapan lewat telepon kedua orang itu berada di ruang berbeda). Ujaran semacam itu melibatkan acuan terhadap objek atau orang (yang bisa saja penutur, pendengar, atau orang lain). Semua orang yang tercakup dalam acuan itu adalah subjek wacana.
Apa yang disebut kata ganri orang (saya, kamu, dia, -nya, mereka, dsb.), keterangan waktu (kini, sekarang, nanti, kelak), dan keterangan tempat (sini, situ, sana), menunjukkan bagaimana struktur gramatika mencerminkan koordinasi  spasio-temporal dari situasi ujaran maksudnya, situasi ujaran yang khas itu sebenarnya bersifat egosentris, berpusat pada ego ‘saya, dan saya itu ialah penutur. Artinya, peranan penutur dalam sebuah percakapan itu begitu besar sehingga ia menjadi pusat perubahan deiksis, menjadi pusat situasi ujaran.”Saya berujar kepada kamu tentang dia atau sesuatu yang sekarang ada di sini”. Orang yang diajak berujar adalah kamu karena ada saya. Nanti kalau kamu berujar silakan menyebut dirimu saya, dan saya menjadi kamu.
Di sini mengacu tempat yang dekat dengan saya; dan sekarang mengacu kepada waktu atau saat ketika saya sedang berujar. Jadi, pusat tuturan atau percakapan adalah penutur, sedangkan deiksis menjadi “luar tuturan”; yang menjadi pusat orientasi (sudut pandang) adalah penutur; penutur berada pada titik “nol” dan segala sesuatu (deiksis) diarahkan orientasinya dari sana. Teori deiksis yang dipaparkan pada bagian ini biasanya dianggap sebagai teori tradisional.
            Sekarang, deiksis dipakai tidak sekadar untuk “menunjuk(kan)” melainkan untuk menggambarkan berbagai fungsi kata ganti persona, kata ganti penunjuk, waktu, dan berbagai ciri gramatikal dan leksikal lainnya yang menghubungkan ujaran dengan jaringan ruang dan waktu dalam tindak tutur. Sekadar ilustrasi. Jika orang Lombok berujar dengan seorang kenalan dalam bahasa Indonesia, tidak memakai kata penyapa kamu atau Saudara, melainkan side, seperti dalam ujaran, “Apa side mau dipaksa? Kan tidak!”, maka side itu bukan sekadar pengganti kamu atau Sau­dara, melainkan berfungsi menunjukkan rasa hormat penutur kepada lawan tuturnya. Fungsi semacam itu pun belum jelas benar jika kita tidak tahu persis, siapa penutur itu (bukan sekadar “orang Lombok”), siapa lawan tutur, di mana dan kapan ujaran itu terjadi. Para pakar sekarang bersepakat bahwa deiksis itu bukan hanya “luar tuturan” (yang mereka sebut eksofora) melainkan juga “dalam-tuturan” (endofora). Pendalaman bahasa mengenai hal ini akan dilakukan di bagian-bagian berikutnya, setelah kita bicarakan jenis dan bentuk deiksis.

3. 3  Jenis dan Bentuk Deiksis
            Menurut Nababan, dalam kajian pragmatik dikenal adanya lima jenis deiksis, yaitu deiksis persona (orang), tempat, waktu, dan penunjuk. Kaswanti Purwo menyebut adanya deiksis persona, tempat, waktu, dan penunjuk.
(1)   Deiksis persona
Dalam deiksis persona yang menjadi kriteria adalah peran partisipan (peserta percakapan) dalam peristiwa tutur. Peran sebagai penutur (acuannya pada diri sendiri) adalah orang  ke-1; sebagai pendengar (acuan penutur kepada lawan tutunya) ialah orang ke-2; dan “yang dibicarakan” menjadi orang ke-3 (acuan penutur terhadap orang atau benda yang dibicarakan). Cara yang lazim untuk mengkodekan deiksis persona tadi ialah dengan memakai “kata ganti orang”, yang dalam bahasa Indonesia ialah saya, aku, kamu, engkau, dia, ia, beliau, kami, kita, mereka, atau memakai nama diri (seperti pada anak-anak yang menyebut dirinya denga namanya sendiri); atau Saudara, Bapak, Ibu, Tuan, dsb. (untuk orang ke-2). Deiksis persona juga mencakupi bentuk-bentuk lain dari kata-kata ganti tersebut, seperti  ku-, -mu, -nya, kau. Di dalam bahasa daerah yang mengenal undak-unduk atau tingkat-tingkat bahasa (seperti bahasa Bali, Jawa, Sunda) pengenalan dan pemahaman terhadap deiksis persona ini amat rumit dan sulit dipelajari oleh mereka yang bukan penutur asli bahasa tersebut.
(2)   Deiksis Penunjuk
Di dalam bahasa Indonesia kita menyebutnya sebagai “kata ganti penunjuk”: ini untuk menunjuk sesuatu yan dekat dengan penutur, dan itu untuk sesuatu yang jauh dari penutur. “sesuatu” itu bukan hanya benda atau barang melainkan juga keadaan, peristiwa, bahkan waktu. Perhatikan penggunaannya dalam kalimat-kalimat berikut:
1)      Masalah ini harus kita selesaikan segera.
2)      Ketika peristiwa itu terjadi, saya masih kecil.
3)      Saat ini saya belum bisa ngomong.
Contoh-contoh di atas menunjukkan, penggunaan deiksis ini atau itu tampaknya bergantung kepada sikap penutur terhadap hal yang ditunjuk : jika dia “merasa” sesuatu itu dekat dengan dirinya, dia akan memakai ini, yang sebaliknya, itu dipakai. Misalnya, pada kalimat 1), masalah yang harus diselesaikan adalah masalah yang mungkin baru saja terjadi, mungkin juga masalah yang melibatkan dirinya atau kepentinganya. Pada kalimat 3) saat yang dimaksud dan diacu ialah saat atau waktu ketika penutur mengucapkan kalimat tersebut.
            Banyak bahasa mempunyai deiksis jenis ini hanya dua saja, yaitu yang sejajar dengan ini dan itu tadi. Bahasa Jawa mengenal iki untuk yang dekat penutur, iku dan kuwi untuk yang tidak dekat tetapi yang juga tidak terlalu jauh, dan iko dan kae untuk yang (sangat) jauh. Juka pengarang berbahasa Indonesia menulis, misalnya, Lihatlah bintang-bintang di langit itu!, Lihatlah burung di atas genting itu!, maka pengarang bahasa Jawa akan menulis Delengan lintang-lintang ing langit kae!, dan bukan Delengan lintang-lintang ing langit iku! Tetapi Delengan manuk ning ndhuwar gentheng iku.
(3)   Deiksis Tempat
          Deiksis ini adalah pemberian bentuk kepada lokasi ruang (lengkap) dipandang dari lokasi pemeran dalam peristiwa tutur. Ini berhubungan dengan deiksis penunjuk ini dan itu. Tiap bahasa mengenal “tempat yang dekat dengan penutur”. Dalam tata bahasa kita mengenal kata sini dan sana sebagai kata keterangan tempat. Di dalam menganalisis kalimat, semua bagian kalimat yang mengacu tempat  “disebut keterangan tempat juga” dan kata-kata begini biasanya didahului dengan kata di, dalam atau pada, membentuk frase depan. Misalnya, di rumah, pada bangku, dalam kamar. Frase-frase semacam itu tampaknya tidak digolongkan ke dalam deiksis karena acuannya tetap; berbeda dengan sini dan sana. Hanya perlu diingat bahwa kedua deiksis ini biasa didahului dengan di dan ke, menjadi di sini dan di sana, ke sini dan ke sana. Masih bisa dipertanyakan adalah kata ke mana dan di mana, dalam kalimat seperti:           
1)      Ke mana dia pergi?
2)      Entah, saya taruh di mana pensil itu.
3)      Saya tak tahu dia ke mana dan di mana.
Kata-kata tersebut tergolong keterangan tempat; acuannya bukan hanya “tidak tetap” tetapi bahkan “tidak jelas”. Dengan pengertian acuan yang “tidak jelas” itu barang kali kata-kata ini dapat digolongkan deiksis tempat, karena “tidak jelas” berarti “bisa di mana-mana”, di sembarang tempat dan tidak pasti.
Sejalan denga deiksis penunjuk yang amat berkaitan dengan deiksis tempat, di dalam bahasa daerah, seperti bahasa Jawa, bisa terdapat lebih dari dua deiksis pokok seperti sini dan sana. Di dalam bahasa Jawa, karena ada deiksis penunjuk, yakni iki, iku, kae, maka deiksis tempatnya pun ada tiga, yakni kene, kono, kana.  
(4) Deiksis Waktu
         Deiksis ini, yang di dalam bahasa disebut keterangan waktu, adalah pengungkapan kepada titik atau jarak waktu pandang dari saat suatu ujaran terjadi, atau pada saat penutur berujar. Waktu ketika ujaran terjadi diungkapkan dengan sekarang atau saat ini. Untuk waktu-waktu berikutnya terdapat kata-kata besok (esok), lusa, nanti, kelak; untuk waktu “sebelum” waktu terjadinya ujaran kita menemukan tadi, kemarin, minggu lalu, ketika itu, dahulu. Dalam beberapa bahasa, seperti bahasa Inggris, deiksis ini diungkapkan dalam bentuk kala (tense).
         Sebagaimana definisi deiksis, yang mempunyai referen yang tidak tetap, deiksis waktu pun mengacu kepada rentang waktu yang dapat berubah-ubah. Perhatikan beberapa contoh berikut: kata sekarang mengacu kepada (1) saat penutur berbicara sampai dengan (5) waktu yang sangat panjang tetapi tidak jelas batasnya:
1)      Karena kamu sudah ngomong, maka sekarang saya ganti ngomong.
2)      Sekarang hari minngu, besok … Senin.
3)      Janjinya minggu kedua Januari, sekarang sudah minggu ketiga.
4)      Seharusnya tahun 2006, ya … sekarang, dia pensiun.
5)      Sekarang kan zaman edan, jadi semua orang pun edan. 
(5) Deiksis Wacana
            Berbeda dengan keempat deiksis yang sudah disebut, yang mengacu kepada referen tertentu meskipun referen itu berubah-ubah, deiksis wacana harus dirumuskan dengan lebih dahulu melihatnya di dalam wacana tertentu. Deiksis di sini, misalnya, dapat dikatakan mengacu kepada tempat, yang dekat dengan penutur. Deiksis wacana tidak dapat dikatakan dengan cara begitu. Deiksis ini adalah acuan kepada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diperikan (sebelumnya) dan atau yang sedang dikembangkan (yang akan terjadi).
Di dalam pelajaran tata bahasa di sekolah dikatakan adanya hubungan kohesi antara bagian kalimat yang satu dengan yang lain dengan berbagai cara. Kohesi itu, misalnya, dilakukan dengan menggunakan dua kata atau ungkapan yang sama maknanya. Contoh:
(1)   Putri penyair itu makin besar juga. Gadis itu sekarang duduk di sekolah menengah.
(2)   Pak Hamid pagi-pagi telah berangkat ke sawahnya. Petani yang rajin itu memikul cangkul sambil menjinjing bungkusan makanan dan minuman
(Hasan Alwi dkk., Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Edisi ke-3)
Contoh yang lain:
      A: Apa yang dilakukan si Ali?
      B: Dia memukul istrinya.
Dalam contoh di atas, dia, deiksis persona (dalam tata bahasa disebut pronomina), mengacu kepada Ali (dalam tata bahasa disebut anteseden). Hubungan antara deiksis dia dengan acauan atau “sesuatu” yang sudah disebut sebelumnya itu disebut hubungan anaforis (bersifat anafora). Contoh deiksis anafora dalam kalimat:
(3)     Pak Karta itu baik; istrinya juga (-nya adalah deiksis anafora)
(4)     Semua bohong dan kau tahu itu (itu adalah deiksis anafora) 
      Sebaliknya adalah hubungan kataforis (bersifat katafora), yaitu hubungan antara deiksis dengan acuan yang mengikutinya. Contohnya:
(5)     Dengan gayanya yang khas, Bung Karno memukau hadirin.
(6)     Ini jawaban saya: “tidak!” 
Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa keempat deiksis yang sudah disebut terdahulu mempunyai kesempatan untuk dapat disebut deiksis anafora atau katafora sepanjang deiksis-deiksis tersebut merupakan bagian dari sebuah wacana.
(7)   Deiksis Sosial
 Deiksis sosial menunjukkan atau mengungkapkan perbedaan-perbedaan sosial (perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh faktor-faktor sosial seperti jenis kelamin, usia, kedudukan di dalam masyarakat, pendidikan, pekerjaan, dsb.) yang ada pada para partisipan dalam sebuah komunikasi verbal yang nyata, terutama yang berhubungan dengan segi hubungan peran penutur dan petutur, atau antara penutur dengan topik atau acuan lainnya. Dapat dikatakan bahwa deiksis sosial itu adalah deiksis yang di samping mengacu kepada referen tertentu, juga mengandung konotasi sosial tertentu, khususnya pada deiksis persona. Dalam bahasa Indonesia hal itu tampak, misalnya, dalam penggunaan kata sapaan kamu, kau, Anda, Saudara, Tuan, Bapak, Ibu, dsb., dan deiksis persona bagi penutur seperti saya, aku, hamba, patik, atau penggunaan nama diri. Dalam bahasa yang mengenal tingkat-tingkat (unda-usuk) bahasa, seperti bahasa Jawa, perbedaan itu diwujudkan dalam bentuk-bentuk yang berbeda. Beberapa contoh.     
(1)   Majikan: “Inem.”
Pembantu: “Saya, Tuan.”
(2)   (dalam bahasa Jawa)     Majikan: “Inem.”
      Pembantu: “Dalem, ndara.”
Pengunaan saya (dalem) dan Tuan (ndara) menujukkan hubungan sosial antara dua orang yang kedudukannya tidak sejajar (tidak simetris), seperti hubungan antara majikan dengan pembantunya. Contoh (3) dan (4) berikut ini masing-masing menunjukkan hubungan sosial yang akrab antara penutur dan petutur dan antara hubungan anak dan orang tua yang penutur bahasa Jawa.
(3)   A: “Ke mane lu?”
B: “Njemput bokap, nih.”
(4)   Anak: “Bu, nyuwun maem.” (Bu, minta makan)
Ibu    : “Mundhut dhewe, ta.” (Ambil sendirian)
(7) Bentuk Deiksis          
        Tentang bentuk deiksis biasanya dihubungkan dengan jumlah kata pendukungnya. Dari situ dapat dilihat adanya golongan deiksis yang berikut.
(1)   Deiksis kata, yakni deiksis yang hanya terdiri atas satu kata, seperti: ini, sana, aku, ia, sekarang, kelak, Tuan, hamba.
(2)   Deiksisi frasa, yakni deiksis yang terdiri atas dua kata atau lebih, misalnya: di sana, di sini, esok pagi, tuan hamba, paduka tuan, pada waktu, di kelak kemudian hari.
3.4 Deiksis Luar-Tuturan dan Dalam-Tuturan
        Penggolongan deiksis sebagaimana dilakukan Nababan di atas bukanlah satu-satunya model pengolongan. Para aliran pragmatik yang lebih “modern” mengemukakan adanya pemilahan lain, yakni deiksis luar-tuturan atau luar-ujaran (atau eksofora) dan deiksis dalam-tuturan atau dalam-ujaran (atau endofora).
3.4.1 Deiksis Luar-Tuturan
Deiksis ini sudah mencakupi tiga deiksis yang sudah disebutkan di atas, yakni deiksis persona, tempat (ruang), dan waktu. Yang dimaksud dengan deiksis luar-tuturan adalah deiksis yang acuannya di luar teks verbal, di luar apa yang diujarkan, berada pada konteks situasi. Teks ialah sepotong atau sepenggal bahasa lisan atau tertulis (Richards dkk., 1985). Teks dapat dilihat dari strukturnya (misalnya, berupa kalimat atau cakapan) dan atau fungsinya (misalnya, untuk memperingatkan, menyuruh, bertanya, dsb.). Suatu pemahaman tuntas terhadap sebuah teks sering tidak dimungkinkan tanpa melihat konteks tempat terjadinya teks itu. Sebuah teks dapat saja terdiri dari satu kata, misalnya, “masuk” dan “keluar” pada pelataran parkir; “BERBAHAYA” sebagai peringatan yang tertempel pada gardu listrik, atau teriakan “Api” ketika ada kebakaran; atau dapat sangat panjang seperti ceramah, khotbah, novel, perdebatan. Teks-teks sebagaimana dicontohkan di atas sering disebut wacana. Dalam hubungan dengan contoh-contoh kita di sini, teks itu lebih banyak diarahan kepada cakapan atau ujaran. Menurut Halliday (1980), teks itu bukan merupakan satuan gramatikal (sebagaimana morfem, kata, frasa, klausa, kalimat), satuan yang lebih banyak di atur oleh kaidah gramatika, melainkan satuan semantis, satuan yang lebih banyak diatur oleh kaidah semantik.
       Marilah kita awali pemahaman kita tentang deiksis luar-tuturan ini dengan melihat kembali contoh anafora di atas:
      Pak Karta itu orang baik, istrinya juga.
      Dia dan istrinya adalah orang baik semua.
      Sekarang Senin, jadi lusa adalah hari Rabu.
Kita lihat bahwa deiksis –nya yang ada di dalam ujaran (tuturan) mengacu kepada dia (Pak Karta) yang juga berada di dalam ujaran atau teks yang sama. Deiksis waktu, lusa, juga mengacu kepada Rabu, yang ada di dalam teks ujaran. Kemudian, bayangkan bahwa Anda berada di luar sebuah ruangan, lalu Anda mendengar ujaran (atau teks lisan) berikut:
(1)   Kamu duduk di sini, kamu pindah ke sana.”
(2)   “Kalian harus berangkat nanti.”
Pada contoh (1) kita tidak tahu siapa yang dimaksud atau diacu oleh kamu yang harus duduk dan siapa kamu yang harus pindah; kita juga tidak tahu sini dan sana itu mengacu tempat yang mana. Kita akan tahu semuanya kalau kita melihat sendiri siapa yang ditunjuk dan di mana. Andaikan penuturnya (yang menyuruh) adalah seorang guru yang sedang berbicara kepada murid-muridnya di dalam kelas, maka semuanya akan menjadi jelas. Pada contoh (2) juga tidak jelas kapan waktu yang diacu oleh kata nanti itu, apakah segera setelah ujaran, dalam hari itu juga, atau kapan saja asalkan “setelah’ munculnya ujaran. 
3.4.2 Deiksis dalam-tuturan
        Deiksis ini acuannya berada di dalam teks atau tuturan. Sebelum lebih lanjut membicarakan deiksis ini sebaiknya kita ingat paparan Nababan mengenai deiksis wacana, yang mencakupi deiksis anafora dan katafora. Berbeda dengan Nababan, Kaswanti Purwo menyatakan bahwa deiksis dalam-tuturan dibagi menjadi dua yaitu anafora dan katafora. Jadi, deiksis dalam-tuturan serupa dengan deiksis wacana. Deiksis anafora mengacu kepada sesuatu yang sudah disebut, di dalam teks tertulis deiksis ini tampak mengacu ke sebelah kiri atau ke bagian atas, sebaliknya, deiksis katafora mengacu ke acuan sebelah kanan atau di bawahnya. Contoh-contohnya sudah dapat dilihat pada bagian 3.4.1. contoh-contoh lainnya:
(1)   “Masalah ini dianggap selesai”, begitu putusannya.
(2)   Begini saja: ambil deposito itu dan bayar utangmu!”
(3)   “Hallo, selamat sore, saya, Paijo, boleh saya bicara dengan Asiah?”
Deiksis begitu dan begini tidak mengacu kepada satu kata yag mewakili benda atau peristiwa, sebagaimana contoh-contoh sebelumnya, melainkan kepada “seluruh ujaran” sebelum atau sesudahnya. Deiksis ini bukan deiksis persona, tempat atau waktu, karena itu perlu dicarikan istilah tersendiri: deiksis penunjuk.
Pada contoh (3) kita berhadapan dengan apa yang ada di dalam gramatika disebut oposisi yaitu dua unsur kalimat (biasanya nomina) yang sederajat dan mempunyai acuan yang sama, atau setidak-tidaknya, salah satu unsur mencakupi acuan unsur yang lain. Dalam contoh di atas saya dan Paijo kedudukannya dalam kalimat tersebut sederajat dan mengacu kepada orang yang sama, dalam hal ini adalah penutur. Pertanyaannya siapa mencakupi siapa atau unsur mana yang mencakupi dan unsur mana yang dicakupi. Dalam hal ini kita dapat mengatakan seperti ini: saya pasti Paijo, tetapi Paijo belum tentu saya, karena masih banyak Paijo-Paijo yang lain. Padanannya mawar itu pasti bunga tetapi bunga belum tentu mawar. Dalam hal yang terakhir, bunga mencakupi mawar, bunga adalah kata umum (generic) dan mawar adalah kata khusus (specific). Jadi, Paijo mecakupi saya. Paijo menjelaskan “siapa saya”. Karena posisinya yang sejajar itu, maka kata boleh saja mengatakan bahwa saya adalah katafora untuk Paijo, dan Paijo adalah anafora bagi saya.
Dari paparan di bagian 3.4.1 dan 3.4.2 di atas dapat dilihat bahwa deiksis dalam- tuturan atau endofora itu mengacu kepada sesuatu yang ada di dalam teks, sehingga dapat dikatakan endofora bersifat tekstual. Teks itu dapat tertulis atau lisan (seperti contoh terakhir tentang percakapan melalui telepon), masih dalam batas wilayah konteks verbal juga. Sebaliknya, acuan deiksis luar-tuturan atau eksofora tidak ada di dalam teks tetapi di luarnya; acuan itu akan menjadi jelas jika kita mengetahui situasi di mana tuturan atau ujaran itu terjadi, sehingga boleh dikatakan deiksis eksofora itu bersifat situasional, bergantung kepada situasi.       
3. 5  Pembalikan Deiksis    
Setakat ini kita ketahui bahwa deiksis itu bersifat egosentris, berpusat kepada “saya” yaitu penutur. Semua pengacuan atau penunjukan bertitik labuh kepada penutur. Deiksis penunjuk ini mengacu kepada sesuatu yang dekat dengan penutur, itu untuk sesuatu yang jauh dari penutur; sekarang mengacu kepada waktu ketika penutur berbicara; sini mengacu kepada tempat yang dekat dengan penutur ketika berbicara.
Namun, ada kenyataan bahwa pengacuan atau penunjukan tersebut tidak bertitik labuh pada penutur, tidak bersifat egosentris. Kaswanti Purwo menyebut itu sebagai pembalikan deiksis. Pembalikan begini dapat terjadi pada deiksis luar-tuturan atau dalam-tuturan. Pembalikan deiksis luar-tuturan tampak pada percakapan lewat tetepon dan dalam surat (khususnya surat pribadi). Perhatikan contoh percakapan telepon berikut.
(1)   Dewi : “Hallo … Ada Ika ya?”
Ika    : “He-eh … gimana, Wi?”
Dewi : “Baik, gimana kamu di sini?”
Ika    : “Baik juga. Cuma hujan terus. Di sini hujan juga ya?”
Dalam wacana telpon di atas kata di sini yang diujarkan Dewi mengacu kepada tempat. Ika, petutur atau pendengar, dan bukan tempat Dewi, sebaliknya. Sebaliknya, di sini yang diujarkan Ika mengacu kepada tempat Dewi, yang bukan penutur, melainkan petutur atau pendengar. Jadi, titik labuh itu dibalik dari penutur ke petutur.
Hal serupa juga terjadi pada surat berikut:
(2)   Ika,
Surat Ika sudah Dewi terima. Trims. Gimana kabarmu di sini? Udah hujan?
Kalo udah, anget dong; nggak kepanesan.
Ika nanya pacar Dewi? Wah, Dewi udah di-PHK lama sekali. 
Surat kedua karib ini memakai ragam santai dan akrab. Dalam surat tadi di sini mengacu kepada tempat penerima surat, pembaca yang sepadan dengan petutur, bukan kepada penulis, yang sepada dengan penutur.
            Di samping kedua hal tersebut, ada pula kenyataan bahwa di dalam percakapan sering terjadi pengulangan ujaran penutur, bukan oleh penuturnya sendiri melainkan oleh pendengar atau petuturnya. Dalam hal seperti itu dapat terjadi pembalikan deiksis juga, yang biasa di sebut tutur terbalik (echo utterance) atau penggunaan tutur berkutip (quotatitional use). Perhatikan percakapan berikut:
            A: “Jangan paksakan saya membunuh. Tidak, saya tak bisa.”
            B: “Apa katamu? ‘Saya tak bisa’? Harus bisa!” 
Kita lihat deiksis saya pada A mengacu kepada dirinya sendiri. Juga pada bagian ujaran yang berbunyi, “Saya tak bisa.” Namun, pada B, ujaran si A tadi diulang atau “dikutip” oleh B (dan di dalam tulisan pun ujaran tersebut diberi tanda kutip ‘ … ‘), sehingga deiksis saya yang diujarkan oleh B (penutur) sebenarnya mengacu kepada A, yang pada saat ujaran itu dikutip, bertindak sebagai pendengar, bukan penutur. Jadi, ujaran B itu berbalik kepada A dalam wujud penggunaan “kutipan” bagian ujaran yang utuh dan asli, dan deiksis persona ke-1 (saya) dipakai untuk “pengganti” persona ke-2 (kamu).

3. 6  Penjelasan Lain dari Deiksis   
Di samping penjenisan deiksis menjadi lima sebagaimana yang dikemukakan di depan, Nababan juga menyebutkan penjenisan lain, yakni deiksis sejati dan taksejati, dan deiksis kinesik dan simbolik.
Deiksis sejati adalah kata atau frase yang maknanya dapat diterangkan seluruhnya dengan konsep deiksis tanpa mengaitkannya  dengan kondisi sosial. Termasuk deiksis demikian adalah kata-kata yang tergolong deiksis persona, waktu, penunjuk, dan tempat: saya, di sini, itu, sekarang, dsb., kalau kata-kata itu melulu dipakai sebagai kata pengacu.  
Deiksis taksejati adalah kata atau frase yang maknanya hanya sebagian berupa deiksis dan sebagian fungsinya adalah nondeiksis. Dapat pula dikatakan, deiksis ini di samping mempunyai fungsi sebagai deiksis (sebagai pengacu acuan yang berubah-ubah) juga sebagai nondeiksis (yang mempunyai makna lain yang sifatnya tidak mengacu). Di dalam bahasa Inggris, misalnya, kata he adalah deiksis persona, tetapi, he juga deiksis taksejati karena menurut kategori gramatika he itu di samping mengacu kepada persona  ke-3 (dapat dipadankan dengan dia) juga mengandung unsur makna yang tidak mengacu, yaitu makna maskulin; sejajar dengan she yang mengandung kategori feminin.
Sayangnya, Nababan tidak mempersoalkan ihwal deiksis sosial dalam hubungannya dengan deiksis taksejati ini, padahal di sana ada kemiripan. Maksudnya, deiksis persona bahasa Jawa, yang mengenal unda-usuk bahasa, seperti kula “saya”, di samping berfungsi mengacu, yaitu mengacu kepada penutur, juga mempunyai fungsi yang tidak mengacu melainkan mengandung unsur makna “hormat”. Dari sudut adanya “makna lain”  itu, deiksis tersebut boleh dikatakan tergolong deiksis taksejati juga. Bedanya dengan he/she dalam bahasa Inggris ialah unsur “makna” maskulin dan feminin dalam he/she tadi tercakup dalam gategori gramatika, sedangkan unsur “makna”  di dalam kula, setidak-tidaknya jika kita mengikuti cara pikir Nababan, termasuk ke kategori  sosial. Kategori maskulin-feminin itu, sebagaimana kategori tunggal-jamak, memang ada di dalam sistem gramatika bahasa Inggris dan berlaku bagi sejumlah kata, misalnya manwoman; malefemale; cockhen; horsemare. Sebenarnya, di dalam bahasa yang mengenal tingkat-tingkat bahasa, seperti bahasa Jawa, Bali, Sunda, deiksis seperti kula itu di dalam penggunaannya juga melibatkan kaidah gramatika. Misalnya, jika kita akan membangun sebuah kalimat dan mengawali dengan kata “kula … “, maka hanya kata-kata tertentu saja boleh mengikutinya, dan sebagian yang lain tidak boleh: “Kula kesah” ‘saya pergi’, bukan “Kula lunga” atau “Kula tindak”.
Pembedaan kedua, deiksis kinesik dan simbolik, dikemukakan oleh FILMORE (1971), yang masing-masing disebutnya gesture deictic usage (penggunaan deiksis dengan gerak anggota tubuh) dan symbolic deictic usage (penggunaan deiksis dengan lambang). Kata atau frase yang dipakai secara kinesik dapat dipahami hanya dengan pengamatan langsung terhadap gerak anggota badan (gesture), seperti acungan jari telunjuk, lambaian tangan, anggukan kepala, dalam peristiwa berbahasa melalui pendengaran, penglihatan, dan rabaan. Misalnya,
(1)     “Bukan dia guru saya, tetapi dia. Dia adalah bapak saya.”
(2)     “Kau boleh pergi, tetapi kau harus tinggal.”  
Dalam kalimat (1) kita akan tahu siapa yang dimaksud dengan dia jika kita melihat langsung siapa yang ditunjuk oleh penutur. Demikian juga kau dalam kalimat (2). Sebaliknya, penggunaan kata secara simbolis hanya memerlukan pengetahuan tentang faktor tempat dan waktu (kadang-kadang faktor sosial juga) dari peristiwa berbahasa itu untuk memahami siapa dan apa yang dimaksud dalam kalimat itu. Misalnya, hanya dengan pengetahuan tentang lokasi “umum” para pemeran dalam peristiwa berbahasa itu sudah cukup memahami kota mana dan waktu kapan yang dimaksud dalam ujaran berikut.
(1)   “Saya tidak dapat pulang tahun ini.”
(2)   Kota ini amat ramai.”  
Melihat paparan dan contoh-contoh yang diberikan Nababan, tampaknya segala sesuatu yang berhubungan dengan deiksis kinesik dan simbolik ini serupa dengan deiksis wacana, khususnya deiksis eksofora. Artinya, jika eksofora itu dirumuskan sebagai deiksis yang acuannya di luar tuturan atau ujaran, dan “baru kita pahami ketika kita melihat konteks tempat ujaran itu berlangsung”, maka dua contoh untuk deiksis kinesik di atas dapat juga dipakai untuk contoh deiksis eksofora. Dalam contoh tadi, deiksis persona dia dan kau mengacu kepada persona-persona di luar ujaran atau teks. Dalam rumusan deiksis kinesik dikatakan: “hanya dapat dipahami dengan pengamatan secara langsung” gerak anggota badan. Jadi, kinesik luar-tuturan tampaknya bergantung kepada titik pandang mana yang disasar. Jika titik pandang kita kepada teks dan konteks, kita bicara tentang deiksis luar-tuturan. Jika titik pandang kita kepada pengamatan langsung dan tidak langsung terhadap gerak anggota badan, maka kita berbicara tentang kinesik. Contoh-contoh tentang simbolik pun dapat dipakai untuk contoh deiksis luar-tuturan karena yang diacu oleh kota ini dan tahun ini sebenarnya tidak ada di dalam teks melainkan di luarnya. Kita memang mengetahui apa yang diacu oleh kota ini kalau kita berada di kota ketika ujaran itu terucapkan; dan tahun ini jelas mengacu kepada tahun ketika ujaran itu terucapkan.




























BAB  IV
IMPLIKATUR PERCAKAPAN

Percakapan verbal dalam suatu masyarakat tutur selalu memproduksi tutur atau ujaran yang bermakna. Makna ujaran itu ternyata tidak selalu sesuai dengan makna konvensional ujaran itu, tidak dengan bentuk permukaan ujaran itu. Banyak kali ujaran yang mengimplikasikan sesuatu, dan sesuatu itu tersembunyi di balik bentuk harfiah ujaran. Mengapa hal itu terjadi dan bagaimana implikasi itu bisa diterima oleh penutur dan pendengar sudah dirumuskan dalam teori implikatur percakapan. Teori ini telah menyajikan prinsip kooperatif dalam percakapan dan empat kaidah percakapan yang sangat bermanfaat bagi guru bahasa. Dari situ pula dapat kita menyadari bahwa “pelanggaran” yang sering dicela oleh kajian semantik ternyata memiliki alasan kuat dalam pragmatik.
4. 1  Implikatur
Ihwal implikatur percakapan (conversational implicature) diajukan oleh H. Paul Grice dalam ceramah William James di Universitas Harvard pada tahun 1967 (Nababan, 1987; Sumarmo, 1988). Gagasan tentang implikatur percakapan dimaksudkan menanggulangi masalah makna yang tidak dapat diselesaikan oleh semantik (lihat 1.4.1). Grice memberikan persoalan berikut. Si A bertanya kepada B tentang teman mereka, C, yang bekerja di sebuah Bank, jawban B ternyata begini:
“On quite well, I think; he likes his colleagues, and hasn’t  been to prison yet.” (Oh, saya kira lumayan; ia menyukai rekan-rekannya, dan belum pernah dipenjara.)
Jawaban B itu bisa saja mendorong A untuk menanyakan lebih lanjut apa yang dimaksud oleh B dengan “belum pernah dipenjara” itu. Jelas ini terjadi, maka B dapat menjawab dengan mengatakan bahwa C itu orang yang gampang tergoda oleh kesempatan (menggelapkan uang) yang ada di tempat kerjanya itu; atau bahwa rekan-rekan B di tempat kerjanya adalah orang-orang jahat (suka menjerumuskan orang-orang baru di Bank itu); atau jawaban-jawaban lain yang senada. Namun, boleh jadi A tidak bertanya seperti itu karena, berdasarkan konteks pembicaraan mereka, A sudah memahami apa yang dimaksud B tadi. Yang tampaknya juga cukup jelas bagi kita (sebagai pembaca, pendengar) ialah bahwa apa pun yang dimaksud atau dibayangkan oleh B, jelas berbeda dengan apa yang diucapkannya, yakni “belum pernah dipenjara”. Maksud yang ada di balik ujaran itulah yang disebut implikatum oleh Grice (artinya, ‘apa yang diimplikasikannya; apa yang dikandung’) dan gejala ini disebut implikatur. Jadi, konsep implikatur itu dipakai untuk menerangkan perbedaan yang sering terjadi antara “apa yang diucapkan” dengan “apa yang diimplikasikan” (atau dengan implikatumnya).
4. 2  Kegunaan Implikatur 
            Stephen C. Levinson (1983) mengemukakan empat kegunaan konsep implikatur tadi, sebagaimana terpapar berikut ini.
(1)   Konsep implikatur itu memungkinkan kita untuk menjelaskan fakta-fakta kebahasaan secara fungsional, suatu hal yang tidak terjangkau oleh teori linguistik. Kita maklumi bahwa teori linguistik, khususnya linguistik struktural, lebih mementingkan bentuk dan struktur kebahasaan ketimbang makna; lebih mementingkan bentuk lahir yang konkret ketimbang yang abstrak, yang bersifat mental. Karena itu teori linguistik tidak mampu menjelaskan fungsi sebuah ujaran. Mengapa? Karena fungsi atau maksud ujaran itu berada di balik bentuk dan struktur kebahasaan yang berupa kalimat tadi. 
(2)   Konsep implikatur mampu memberikan penjelasan secara eksplisit tentang bagaimana ujaran itu berbeda dengan apa yang dimaksud, bagaimana si pendengar dapat menangkap maksud itu. Nababan memberi contoh berikut.
P: “Jam berapa sekarang?”
R: “Kereta api belum lewat.”
Dari segi teori linguistik, dengan melihat strukturnya, kedua kalimat itu tampak tidak berkaitan. Kalimat pertama berbicara tentang waktu (jam) tetapi kalimat kedua berbicara tentang kereta api. Dari segi semantik pun terasa “janggal” dan tak ada kaitan: orang bertanya tentang waktu tetapi jawabannya “menyimpang” dari yang ditanyakan. Orang (yakni P dan R) yang tahu penggunaan bahasa dalam situasi pembicaraan itu mampu “menangkap” faktor-faktor atau informasi tersembunyi di balik ujaran (dalam penjelasan di bawah ini informasi itu adalah bagian yang dikurung.) Kalimat di atas dapat dijabarkan begini:
P: “Sanggupkah Anda memberitahukan kepada saya jam berapa sekarang   (sebagaimana biasa dinyatakan dalam penunjuk/jarum jam, dan kalau sanggup, harap diberitahukan kepada saya)”
R: “(Saya tidak tahu secara tepat jam berapa sekarang, tetapi dapat saya memberithukan kepada Anda suatu kejadian yang dapat Anda pakai untuk menduga jam berapa sekarang, yaitu) kereta api (yang biasa) belum lewat.”
Dari jabaran di atas dapat diketahui bahwa dalam percakapan itu informasi/jawaban yang diperlukan tidak secara lengkap atau tidak secara langsung disampaikan, terbukti dari kalimat-kalimat singkat dari P dan R tetapi keduanya tetap saja bisa saling memahami, dalam arti informasi/jawaban yang “tak terujarkan” sebagaimana digambarkan dalam jabaran (bagian yang dikurung) dapat ditangkap oleh mereka. Padahal perbedan antara “yang terujarkan” dengan “jabaran” tadi cukup besar dan hal itu tidak dapat dijelaskan oleh teori semantik konvensional. Untuk menanggulangi permasalahan semacam ini diperlukan suatu sistem yang lain dan konsep pragmatik, khusunya konsep implikatur, dapat mengisi kebutuhan.
(3)   Konsep implikatur ini tampaknya dapat menyederhanakan pemerian makna dari hubungan antarklausa (antaranak kalimat) yang berbeda-beda pada dua kalimat atau lebih, padahal klusa-klausa itu dihubungkan dengan kata sambung yang sama.
Perhatikanlah kalimat:
(i)                 “Anak itu menaiki sepeda dan dia pergi ke sekolah.”
(ii)               “Jakarta ibu kota Indonesia dan Manila ibu kota Filipina.
Kedua klausa dalam (i) tidak dapat dipertukarkan tempatnya menjadi “Anak itu pergi ke sekolah dan dia menaiki sepeda.”, tetapi dalam (ii) bisa dibalik: “Manila ibu kota Filipina dan Jakarta ibu kota Indonesia.” Mengapa bisa berbeda (yang satu bisa dibalik dan yang lain tidak) padahal kedua kalimat itu terdiri atas dua klausa dan keduanya dihubungkan oleh kata sambung yang sama yakni dan. Untuk pertanyaan ini ilmu semantik konvensional tidak mampu menjawabnya. Kesulitan ini dapat diatasi tidak dengan melihat (i) dan (ii) sebagai dua kalimat yang mempunyai struktur yang sama, melainkan dengan memandang bahwa keduanya didasari oleh dua pola pragmatik atau dua perangkat implikatur yang berbeda, yakni pada (i) terdapat hubungan “berkelanjutan” atau hubungan “lalu”, dan pada           (ii) terdapat hubungan “melengkapi”, bukan berturutan, atau hubungan “demikian juga”; atau hubungan “membedakan” atau hubungan “sedangkan”. Itulah sebabnya maka kedua kalimat itu bisa menjadi
(ia)  “Anak itu menaiki sepeda lalu dia pergi ke sekolah.”
(iia) “Jakarta ibu kota Indonesia sedangkan Manila ibu kota Filipina.”
(4)   Hanya dengan beberapa butir saja dasar-dasar implikatur dapat menerangkan berbagai macam fakta atau gejala yang secara lahiriah tampak tidak berkaitan dan atau berlawanan. Misalnya metafora pada “Dia menjadi tulang punggung keluarga.” Kalau ungkapan ini harus dijelaskan secara semantik maka penjelasannya menjadi panjang lebar, misalnya:
“Dia diumpamakan sebagai tulang punggung keluarga. Keluarga diumpamakan sebagai tubuh (manusia) yang mempunyai tulang punggung. Tulang punggung adalah bagian tubuh yang memungkinkan tubuh itu menjadi tegak, tidak ambruk dan tidak lunglai. Di dalam keluarganya dia adalah orang atau bagian dari keluarga yang mencari nafkah, yang memungkinkan keluarganya tidak ambruk. Jadi, kedudukannya sebagai “penegak” dalam keluarga sebanding dengan kedudukan tulang punggung dalam tubuh. Karena itu dapat dikatakan “dia adalah tulang punggung keluarga”.
Dengan memakai dasar imlpikatur “perbandingan”, maka kita tidak perlu memproduksi ujaran yang panjang lebar seperti paparan di atas. Cukup dengan mengujarkan kalimat terakhir. Ini bisa dipahami oleh lawan tutur karena lawan tutur sudah bisa menangkap makna yang berimplikasi ke dalam “tulang punggung keluarga” itu. Begitu pula dalam tautologi seperti “perang adalah perang”. Tautologi adalah pengulangan gagasan, pernyataan, atau kata, yang (tampak) berlebihan dan yang (seharusnya) tidak perlu. Dalam “perang adalah perang”, penutur dan pendengar pasti sudah saling memahami apa arti perang itu bagi mereka, juga bagi masyarakat. “Arti” yang dimaksud bukanlah arti atau makna kata perang, sebagaimana makna kata perang yang ditanyakan guru kepada muridnya di kelas, “Apakah arti kata perang?”, lalu muncul jawaban (atau definisi) perang: “perang adalah pertempuran besar bersenjata antara dua kelompok pasukan tentara”. Makna demikian tidak cocok untuk ungkapan “perang adalah perang” tadi. Yang lebih cocok adalah pembeberan makna, seperti:
“Anda kan tahu apa artinya perang bagi kita, karena kita sudah pernah mengalaminya. Bagi kita, perang itu menyengsarakan, menyakitkan banyak orang. Karena perang orang menjadi sakit, menderita, mati, kehilanagn suami, anak, bapak, dsb. Jadi, “perang itu ya perang”, “perang adalah perang”. Tidak ada perang yang membahagiakan rakyat, membuat kaya rakyat.”    
Semua itu berarti bahwa makna “perang” yang sebenarnya (yaitu menyengsarakan, dsb.) tidak perlu secara eksplisit terujarkan, karena dengan tautologi ringkas saja segala sesuatunya sudah “beres”.
4. 3. Teori Implikatur
   Teori implikatur (Nababan, 1987) dari Grice sebenarnya merupakan “kaidah Grice” (Sumarmo, 1988) yaitu kaidah penggunaan bahasa, kaidah mencakupi aturan tentang begaimana percakapan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Konsep implikatur ini timbul dari pendapat Grice bahwa ada seperangkat asumsi yang melingkupi dan mengatur kegiatan percakapan sebagai suatu tindak berbahasa. Panduan itu adalah kerja sama yang diperlukan untuk dapat menggunakan bahasa secara efektif dan efisien. Panduan ini merupakan kaidah tentang dasar kerja sama (Nababan) atau prinsip kooperatif (Soemarmo) (Inggris: co-operative principle). Kaidah ini dilandasi oeh 4 kaidah percakapan (Inggris: maxims of conversation).
Prinsip kooperatif itu berbunyi:
Make your contribution such as is required at the stage at wich it occurs, by the accepted purpose or direction of the talk exchanged in which you are engaged.
(Berikanlah sumbangan dalam percakapan Anda sebagaimana dikehendaki/ diperlukan/diharapkan pada saat terjadinya percakapan itu, dengan berpegang kepada tujuan atau arah percakapan yang lazim/berterima/disepakati yang sedang anda ikuti.)
Sebagaimana sudah disebutkan, masih ada 4 aturan atau kaidah percakapan, yakni kaidah kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara.
v  Kaidah kuantitas (maxim of quantity):
Ø  Make your contribution as informative as is required for the current purposes of the exchange.
(Berikanlah seinformatif-informatifnya sebagaimana diperlukan untuk tujuan percakapan yang sedang berlangsung.)
Ø  Do not make your contribution more informative than is required.
(Jangan memberikan sumbangan informasi lebih dari yang diperlukan.)
Inti kaidah ini adalah bahwa dalam percakapan kita harus berbicara seperlunya (secukupnya) sesuai dengan kebutuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Lack of happiness