Selasa, 12 Juli 2011

Bahasa Surat Dinas


BAB I
BAHASA SURAT DINAS: BAHASA BAKU


            Ada bermacam-macam fungsi bahasa. Salah satu fungsi bahasa itu ialah sebagai alat komunikasi. Tujuan utama tulisan ini adalah untuk memberikan dasar-dasar kemahiran berbahasa Indonesia kepada para mahasiswa, akademisi, para peneliti, para pegawai, baik instansi pemerintah maupun swasta, para karyawan, dan pihak-pihak yang berwenang dalam menulis surat dinas. Surat dinas merupakan salah satu wujud ragam komunikasi tertulis yang seharusnya digunakan sebagai alat perhubungan pada setiap lembaga atau instansi. Surat dinas mengomunikasikan buah pikiran pengirim surat yang akan disampaikan kepada penerimanya. Untuk itu, diperlukan sarananya. Sarana itu berupa bahasa Indonesia tulis. Bukan sembarang bahasa Indonesia tulis dapat dipakai untuk menulis surat dinas. Ada ragam bahasa Indonesia tersendiri yang pantas dipilih. Salah satu ragam bahasa itu ialah ragam bahasa baku.

1.1       Pengertian Ragam Bahasa
Bahasa merupakan alat komunikasi yang efektif antarmanusia. Dalam berbagai macam situasi, bahasa dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan gagasan pembicara kepada pendengar atau penulis kepada pembaca. Tentu saja, pada tiap-tiap situasi komunikasi yang dihadapi dipilih salah satu dari sejumlah variasi pemakaian bahasa. Berbahasa di pasar antarpembeli, antara pembeli dengan penjual, atau antarpenjual pasti berbeda dengan berbahasa di depan orang yang dihormati, antara atasan dan bawahan, antara pasien dan dokter, antara murid dan guru, antaranggota rapat dinas, dan sebagainya. Setiap situasi memungkinkan seseorang memilih variasi bahasa yang akan digunakannya. Faktor pembicara, pendengar, pokok pembicaraan, tempat dan suasana pembicaraan berpengaruh pada seseorang dalam memilih variasi bahasa. Istilah yang digunakan untuk menunjuk salah satu dari sekian variasi pemakaian bahasa disebut ragam bahasa.
Bahasa Indonesia yang amat luas wilayah pemakaiannya dan bermacam ragam penuturnya, mau tidak mau, takluk pada hukum perubahan. Arah perubahan itu tidak selalu tak terelakkan karena kita pun dapat mengubah bahasa secara berencana. Faktor sejarah dan perkembangan masyarakat turut pula berpengaruh pada timbulnya sejumlah ragam bahasa Indonesia. Ragam bahasa yang beraneka ragam itu masih tetap disebut ‘bahasa Indonesia’ karena masing-masing berbagi teras atau intisari bersama yang umum. Ciri dan kaidah tata bunyi, pembentukan kata, tata makna, umumnya sama. Itulah sebabnya kita masih dapat memahami orang lain yang berbahasa Indonesia walaupun di samping itu kita dapat mengenali beberapa perbedaan dalam perwujudan bahasa Indonesianya (Moeliono, 1988b).
Istilah ragam dapat disejajarkan dengan variasi. Seperti halnya jika orang mengatakan bahwa modelnya sangat beragam, di dalamnya terkandung maksud bahwa modelnya sangat bervariasi. Adanya ragam atau variasi mengimplikasikan bahwa dari berbagai ragam atau variasi itu terdapat satu  model yang menjadi acuannya. Dengan demikian, bagaimanapun model variasinya pastilah terdapat intisari atau ciri-ciri umum yang sama. Jika variasi itu sudah menyimpang jauh dari inti yang menjadi acuannya, itu berarti bahwa sudah bukan variasi dari acuannya, melainkan merupakan model lain yang baru sama sekali (Suharsono, 1993).
Pemilihan terhadap salah satu ragam bahasa dipengaruhi oleh faktor kebutuhan penutur atau penulis akan alat komunikasi yang sesuai dengan situasi. Tidak tepat kiranya apabila komunikasi di pasar menggunakan ragam bahasa seperti yang digunakan dalam rapat dinas. Demikian pula misalnya, komunikasi antara penumpang dan abang becak berbeda dengan komunikasi antarmenteri dalam sidang kabinet. Dengan demikian, terdapat berbagai variasi pemakaian bahasa sebagai alat komunikasi. Terdapat aneka ragam bahasa sesuai dengan fungsi dan situasinya.
Untuk mengetahui berbagai ragam bahasa Indonesia, ada baiknya terlebih dahulu diperhatikan fungsi-fungsi bahasa Indonesia dilihat dari segi kedudukannya sebagai bahasa negara dan bahasa nasional.
1.2       Fungsi dan Kedudukan Bahasa Indonesia
            Yang dimaksud dengan fungsi bahasa adalah nilai pemakaian bahasa yang dirumuskan sebagai tugas pemakaian bahasa itu di dalam kedudukan yang diberikan kepadanya. Yang dimaksud dengan kedudukan bahasa adalah status relatif bahasa sebagai sistem lambang nilai budaya, yang dirumuskan atas dasar nilai sosial yang dihubungkan dengan bahasa yang bersangkutan (Halim, 1984).
            Dilihat dari kedudukannya, bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat pemersatu berbagai suku bangsa yang berbeda-beda latar belakang sosial, budaya, dan bahasanya, (4) alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya.
            Sebagai lambang kebanggaan kebangsaan, bahasa Indonesia mencermikan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebangsaan. Dengan melalui bahasa nasionalnya, bangsa Indonesia menyatakan harga diri dan nilai-nilai budaya yang dijadikannya pegangan hidup. Atas dasar kebanggaan ini, bahasa Indonesia dipelihara dan dikembangkan, dan rasa kebanggaan memakainya senantiasa dibina.
            Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia dijunjung di samping bendera dan negara kita. Di dalam melaksanakan fungsi ini bahasa Indonesia tentulah harus memiliki identitas sendiri pula sehingga serasi dengan lambang kebangsaan kita yang lain. Bahasa Indonesia dapat memiliki identitasnya sendiri hanya apabila masyarakat pemakainya membina dan mengembangkannya sedemikian sehingga bersih dari unsur-unsur bahasa lain, terutama bahasa asing seperti bahasa Inggris, yang tidak benar-benar diperlukan.
            Fungsi bahasa Indonesia sebagai lambang kebanggaan dan kebangsaan dan sebagai lambang identitas nasional berhubungan erat dengan fungsinya yang ketiga, yaitu sebagai alat yang memungkinkan terlaksananya penyatuan berbagai-bagai suku bangsa yang memiliki latar belakang sosial budaya dan bahasa yang berbeda-beda ke dalam satu kesatuan kebangsaan yang bulat. Di dalam hubungan ini, bahasa Indonesia memungkinkan berbagai-bagai suku bangsa itu mencapai keserasian hidup sebagai bangsa yang bersatu tanpa harus meninggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan kepada nilai-nilai sosial dan budaya serta latar belakang bahasa daerah yang bersangkutan; malah lebih dari itu. Dengan bahasa nasional itu, dapat diletakkan kepentingan nasional jauh di atas kepentingan daerah dan golongan.
            Latar belakang sosial budaya dan latar belakang kebahasaan yang berbeda-beda itu tidak pula menghambat adanya perhubungan antardaerah dan antarbudaya. Berkat adanya bahasa nasional, penduduk dapat berhubungan satu dengan yang lain sedemikian rupa sehingga kesalahpahaman sebagai akibat perbedaan latar belakang sosial budaya dan bahasa tidak perlu dikhawatirkan. Seseorang dapat bepergian dari pelosok yang satu ke pelosok yang lain di tanah air ini dengan hanya memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai satu-satunya alat komunikasi. Kenyataan ini dan meningkatnya penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia di dalam fungsinya sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya telah dimungkinkan pula oleh meningkatnya perbaikan sarana perhubungan darat, laut, dan udara, oleh bertambah luasnya penggunaan alat-alat perhubungan massa seperti radio, televisi, dan majalah, oleh bertambah meningkatnya arus perpindahan penduduk, baik dalam perantauan perorangan maupun dalam bentuk transmigrasi yang berencana, oleh meningkatnya jumlah perkawinan antarsuku, serta oleh pemindahan petugas-petugas negara, baik sipil maupun militer dari satu daerah ke daerah lain.
            Sejalan dengan fungsinya sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya, bahasa Indonesia telah berhasil pula melaksanakan fungsinya sebagai alat pengungkapan perasaan. Kalau beberapa tahun yang lalu masih ada orang yang merasa bahwa bahasa Indonesia belum sanggup mengungkapkan nuansa peranan yang halus-halus, sekarang dilihat kenyataan bahwa seni sastra dan drama –baik yang dituliskan maupun yang dilisankan— serta dunia perfilman telah berkembang sedemikian rupa sehingga nuansa perasaan yang betapa pun halusnya dapat diungkapkan dengan memakai bahasa Indonesia. Kenyataan ini tentulah menambah tebalnya rasa bangga akan kemampuan bahasa nasional itu.
            Sebagai bahasa negara, kedudukan bahasa Indonesia itu didasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, pasal 36. Sebagaimana diketahui, pasal 36 itu selengkapnya berbunyi, “Bahasa negara adalah bahasa Indonesia.” Landasan konstitusional ini memberikan kedudukan yang kuat bagi bahasa Indonesia untuk digunakan dalam berbagai urusan kenegaraan dan dalam menjalankan tata pemerintahan.
            Di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan, (3) alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional serta kepentingan pemerintahan, dan (4) alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
            Dengan pertimbangan akan berbagai macam fungsi bahasa Indonesia itu, muncullah berbagai macam pula ragam bahasa sesuai dengan situasinya. Situasi tempat, pembicara/penulis, pendengar/pembaca, pokok pembicaraan, dan sebagainya menentukan ragam bahasa yang dipilih seseorang dalam komunikasi nya. Pertimbangan pemilihan ragam bahasa disesuaikan dengan fungsi dan situasi pembicaraan. Pada situasi resmi, misalnya pidato kenegaraan, ceramah ilmiah, surat-menyurat dinas, rapat dinas, karangan ilmiah, perkuliahan, dan sebagainya, hendaklah dipilih ragam bahasa yang berbeda dengan situasi nonresmi, misalnya situasi di pasar, di jalan-jalan, di rumah, di lapangan olahraga, di gedung pertunjukan, dan sebagainya. Dengan mengingat fungsi dan situasi komunikasi itu, tersedialah berbagai ragam bahasa yang sesuai, yang masing-masing dapat dipilih sesuai dengan kepentingan dan keperluannya.

1.3       Macam-macam Ragam Bahasa
            Mengingat fungsi dan situasi yang berbeda-beda dalam setiap komunikasi antarmanusia, tersedia bermacam-macam ragam bahasa.
            Pertama, dari segi pembicara/penulis, ragam bahasa dapat diperinci berdasarkan (1) daerah, (2) pendidikan, dan (3) sikap.
(1)        Ragam daerah lebih dikenal dengan nama logat atau dialek. Ragam ini, antara lain, dapat disebut ragam bahasa dialek Jawa, dialek Bali, dialek Manado, dialek Medan, dialek Banjarmasin, dialek Sunda, dialek Minang, dialek Jakarta, dan lain-lain. Ragam bahasa itu tercipta karena pengaruh kuat bahasa ibu si pembicara/penulis. Faktor aksen, kosakata, dan variasi gramatikal, umpamanya, seringkali berpengaruh sebagai pembeda tiap-tiap ragam dialek. Meskipun demikian, selama proses komunikasi dapat berjalan lancar, serta misalnya tidak menyangkut situasi resmi, ragam dialek tidak terlalu dipersoalkan. Dalam situasi nonresmi nyatalah bahwa ragam ini relatif sering digunakan dalam proses komunikasi antarbudaya.
(2)        Ragam bahasa ditinjau dari segi pendidikan pembicara/penulis dapat dibedakan menjadi ragam cendekiawan dan ragam noncendikiawan. Pembedaan ini berdasarkan pada tingkat pendidikan formal dan nonformal pembicara/penulis. Golongan orang terpelajar, misalnya, akan berbeda ragam bahasanya dengan yang tidak terpelajar. Ragam bahasa orang yang berpendidikan lain dengan yang tidak berpendidikan. Ragam bahasa orang yang tidak terdidik terpelihara. Badan dan lembaga pemerintah, pers, profesi ilmiah, mimbar agama, dan sebagainya memilih ragam bahasa orang terdidik.
(3)        Ragam bahasa ditinjau dari segi sikap pembicara/penulis bergantung kepada sikapnya terhadap lawan komunikasi. Ragam ini dipengaruhi oleh, antara lain, pokok pembicaraan, tujuan dan arah pembicaraan, sikap pembicaraan, dan sebagainya. Segi-segi itulah yang membedakan ragam ini menjadi ragam resmi dan ragam nonresmi.
Kedua, dari segi pemakaiannya ragam bahasa diperinci berdasarkan (1) pokok persoalan, (2) sarana, dan (3) gangguan campuran.
(1)        Ragam bahasa ditinjau dari segi pokok persoalan berhubungan dengan lingkungan yang dipilih dan dikuasai, bergantung pada luasnya pergaulan, pendidikan, profesi, kegemaran, pengalaman, dan sebagainya. Ragam ini menyangkut tiap-tiap bidang, misalnya teknologi, politik, ekonomi, perdagangan, seni, olahraga, perundang-undangan, agama, dan sebagainya. Pemilihan ragam bahasa yang menyangkut hal pemilihan kata, ungkapan khusus, dan kalimat khusus sehingga hal ini memberikan kesan bahwa terdapat berbagai ragam bahasa yang berbeda satu sama lain bergantung pada pokok persoalannya.
(2)        Ragam bahasa ditinjau dari segi sarananya dibedakan menjadi ragam lisan dan ragam tertulis (tulisan). Ada berbagai hal yang membedakan bahasa lisan dengan tulisan. Unsur-unsur aksen, tinggi rendah dan panjang pendeknya suara, serta irama kalimat sulit dilambangkan dengan dengan ejaan ke dalam bahasa tulisan. Itulah sebabnya, ragam tertulis harus selalu mengingat keutuhan dan kelengkapan fungsi gramatikal, seperti subjek, predikat, dan objek. Hubungan di antara fungsi-fungsi itu harus eksplisit nyata. Dilihat dari sejarahnya, ragam lisanlah yang lebih dahulu ada daripada ragam tulisan. Penggunaan setiap ragam dipertimbangkan berdasarkan keperluan dan latar belakang yang mendasarinya. Hal ini juga berhubungan dengan fungsi dan situasi pemakaiannya.
(3)        Ragm bahasa, dalam pemakaiannya, sering terjadi gangguan percampuran unsur (kosakata misalnya) daerah maupun asing. Antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia terjadi kontak aktif yang memengaruhi perkembangan kosakata, demikian juga pengaruh bahasa asing terhadap bahasa Indonesia. Ragam bahasa yang terpengaruh karena gangguan percampuran unsur-unsur itu mendorong pembicara/penulis untuk bersikap bijaksana dalam memilih.
Dilihat dari berbagai segi, terlihat bahwa ada berbagai ragam bahasa sesuai dengan fungsi dan situasinya. Semua ragam bahasa itu termasuk ke dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, tidak semua ragam bahasa termasuk ke dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar.

1.4       Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar
            Imbauan agar bangsa Indonesia menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar selalu terdengar. Sudahkah diketahui apakah yang dimaksud dengan bahasa yang baik dan benar itu?
            Yang dimaksud dengan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah penggunaan yang sesuai dengan fungsi dan situasinya. Seperti diketahui bahwa bahasa Indonesia mempunyai banyak ragam. Jika digunakan ragam resmi dalam suasana nonresmi mungkin bahasa yang digunakan menurut tata bahasa baik, tetapi ragamnya tidak tepat. Begitu juga misalnya, jika dipakai ragam lisan dalam laporan resmi, berkesan janggal. Jadi, bahasa yang baik dan benar ialah bahasa yang baik menurut ragamnya dan benar menurut tata bahasanya. Dengan mengingat semua itu, yang dimaksud dengan menguasai bahasa adalah dapat menggunakan ragam bahasa sesuai dengan fungsi dan situasinya.
            Bahasa Indonesia yang baik dan benar dapat diartikan sebagai ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya dan, di samping itu, mengikuti kaidah bahasa yang betul. Situasi bahasa dalam laporan penelitian adalah situasi pemakaian bahasa yang resmi. Dalam situasi yang resmi semacam ini digunakan bahasa yang mencerminkan sifat keresmiannya, yaitu bahasa yang baku. Jika dalam situasi semacam ini tidak digunakan bahasa yang baku, bahasa yang digunakan itu dapat dikatakan tidak baik karena tidak sesuai dengan situasi pemakaiannya.
            Untuk dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar harus diperhatikan situasi pemakaian dan ragam bahasa yang digunakan. Dalam situasi resmi digunakan bahasa baku; dan sebaliknya, dalam situasi tidak resmi tidak seharusnya digunakan bahasa baku.
            Lahirnya konsep bahasa Indonesia yang baik dan benar pada dasarnya tidak terlepas dari konteks pemakaian bahasa yang beragam-ragam seperti telah disebutkan di atas. Bahasa Indonesia yang baik, dalam hal ini, adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan situasi pemakaiannya, sedangkan bahasa Indonesia yang benar adalah bahasa Indonesia yang penggunaannya sesuai dengan kaidah yang berlaku. Dengan demikian, yang dimaksud dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah bahasa Indonesia yang penggunaannya sesuai dengan situasi pemakaiannya dan sekaligus sesuai pula dengan kaidah yang berlaku (Mustakim, 1994).
            Selanjutnya dicontohkan, situasi dalam rapat dinas, seminar atau karya ilimiah adalah situasi pemakaian bahasa yang resmi. Dalam situasi yang resmi semacam itu seseorang dituntut untuk menggunakan bahasa yang mencerminkan sifat keresmian, yaitu bahasa yang baku. Jika dalam situasi semacam itu seseorang tidak menggunakan bahasa yang baku, misalnya menggunakan kata-kata nggak-nggak, dibilang, membikin, dan sejenisnya, bahasa yang digunakan itu dapat dikatakan tidak baik karena tidak sesuai dengan situasi pemakaiannya. Perhatikan kalimat berikut ini.
(1)        Tadi telah dibilang oleh pemakalah bahwa masalah ini sangat kompleks.
            Pada kalimat (1) di atas penempatan kata dibilang benar dari segi tata bahasa, dan bentukan kata itu pun benar dari segi morfologi. Atas dasar itu, dapat dipahami bahwa pemakaian bahasa tersebut benar, tetapi tidak baik.
            Contoh lagi, ada bahasa Indonesia yang baik, tetapi tidak benar. Misalnya, dalam situasi yang telah disebutkan di atas, yaitu situasi resmi, digunakan bahasa seperti di bawah ini.
(2)        Masalah yang saya ingin tanyakan adalah masalah berikut.
            Seluruh kata dalam ungkapan tersebut cocok atau sesuai jika digunakan dalam situasi resmi, tetapi susunannya tidak benar karena penempatan pasif personanya, yaitu saya dan tanyakan, diselingi oleh kata lain, yakni ingin, sehingga menjadi saya ingin tanyakan. Dalam bentuk pasif persona semacam itu, kata ganti seperti saya, kami, kita, dia, dan mereka harus langsung didekatkan pada kata kerjanya sehingga menjadi seperti berikut.
            ingin saya tanyakan, bukan saya ingin tanyakan
            akan kami laporkan, bukan kami akan laporkan
            dapat kita setujui, bukan kita dapat setujui
            tidak dia sukai, bukan dia tidak sukai


Berdasarkan keterangan tersebut, dapat dikatakan bahwa penggunaan bahasa seperti pada kalimat (2) merupakan kalimat (bahasa) yang baik, tetapi tidak benar. Agar menjadi benar, susunan kalimat itu seharusnya seperti berikut.
(2a)      Masalah yang ingin saya tanyakan adalah sebagai berikut.
Untuk dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, seseorang harus memerhatikan situasi pemakaian dan kaidah yang digunakan. Dalam situasi yang resmi harus dapat digunakan bahasa Indonesia yang mencerminkan sifat keresmian, yaitu menggunakan bahasa yang baku; sebaliknya, dalam situasi yang tidak resmi tidak seharusnya digunakan bahasa yang baku. Bahasa yang digunakan dalam situasi yang tidak resmi itu adalah bahasa yang cocok atau sesuai dengan situasi itu.
Atas dasar konsep tersebut, diperoleh suatu kejelasan bahwa yang dimaksud dengan bahasa Indonesia yang baik belum tentu merupakan bahasa Indonesia yang benar; sebaliknya, bahasa Indonesia yang benar juga belum tentu merupakan bahasa Indonesia yang baik karena semua itu bergantung pada situasi pemakaian dan kaidah yang berlaku.

1.5       Pengertian Ragam Baku
            Sesuai dengan berbagai fungsi bahasa Indonesia, tidak mengeherankan bila bahasa Indonesia memiliki berbagai ragam bahasa. Berdasarkan tempat dan daerahnya, bahasa Indonesia terdiri dari berbagai dialek, antara lain dialek Jakarta, dialek Jawa, dialek Medan, dialek Manado, dialek Bali, dan lain-lain; berdasarkan penuturnya didapati ragam bahasa golongan cendekiawan dan ragam bahasa golongan bukan cendekiawan; berdasarkan sarananya didapati ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis; berdasarkan bidang penggunaannya didapati ragam bahasa ilmu, ragam bahasa sastra, ragam bahasa surat kabar, ragam bahasa undang-undang, dan lain-lain; dan berdasarkan penggunaannya bahasa Indonesia dapat digolongkan menjadi dua ragam bahasa, yaitu bahasa resmi dan bahasa tidak resmi (santai).
            Ragam bahasa baku disebut juga sebagai ragam bahasa ilmu. Ragam bahasa ilmu dapat dijelaskan sebagai suatu ragam bahasa yang tidak termasuk dialek, yang dalam suasana resmi, baik lisan maupun tulisan, digunakan oleh para cendekiawan untuk mengomunikasikan ilmu pengetahuannya (Ramlan, 1992).
            Sifat ragam bahasa ilmu ialah sebagai berikut. (1) Ragam bahasa ilmu termasuk ragam bahasa baku. Oleh karena itu, ragam bahasa ilmu mengikuti kaidah-kaidah bahasa baku yaitu dalam ragam tulis digunakan ejaan yang baku yakni EYD dan dalam ragam lisan digunakan ucapan baku atau sudah dibakukan. (2) Dalam ragam bahasa ilmu banyak digunakan kata-kata istilah. Kata-kata digunakan dalam arti denotatif, bukan dalam arti konotatif. (3) Ragam bahasa ilmu lebih berkomunikasi dengan pikiran daripada dengan perasaan. Oleh karena itu, ragam bahasa ilmu bersifat tenang, jelas, tidak berlebih-lebihan atau hemat, dan tidak emosional. (4) Hubungan gramatik antarunsurnya, baik dalam kalimat maupun alinea, hubungan antara alinea yang satu dengan aliena lainnya bersifat padu atau kohesif. Untuk menyatakan hubungan digunakan alat-alat penghubung seperti kata-kata penunjuk, kata-kata penghubung, dan lain-lain. (5) Hubungan semantik antara unsur-unsurnya bersifat logis atau koheren. Dihindari penggunaan kalimat yang mempunyai makna ganda atau ambigu. (6) Lebih diutamakan penggunaan kaimat pasif karena dalam kalimat pasif peristiwa lebih dikemukakan daripada pelaku perbuatan. (7) Konsistensi dalam segala hal, misalnya dalam penggunaan istilah, singkatan, tanda-tanda, dan  kata ganti diri.
            Ragam baku disebut juga sebagai ragam ilmiah. Ragam ini merupakan ragam bahasa orang berpendidikan, yakni bahasa dunia pendidikan. Ragam ini jugalah yang kaidah-kaidahnya paling lengkap diperikan jika dibandingkan dengan ragam bahasa yang lain. Ragam itu tidak saja ditelaah dan diperikan, tetapi juga diajarkan di sekolah. Apa yang dahulu disebut bahasa Melayu Tinggi dikenal juga sebagai bahasa sekolah. Sejarah umum perkembangan bahasa menunjukkan bahwa ragam itu memperoleh gengsi dan wibawa yang tinggi karena ragam itu juga yang dipakai oleh kaum yang berpendidikan dan yang kemudian dapat menjadi pemuka di berbagai bidang kehidupan yang penting. Pejabat pemerintah, hakim, pengacara, perwira, sastrawan, pemimpin perusahaan, wartawan, guru, generasi demi generasi terlatih dalam ragam sekolah itu. Ragam itulah yang dijadikan tolak bandingan bagi pemakaian bahasa yang benar. Fungsinya sebagai tolok menghasilkan nama bahasa baku atau bahasa standar baginya (Moeliono, 1988b).
            Ragam bahasa standar memiliki sifat kemantapan dinamis, yang berupa kaidah dan aturan yang tetap. Pertama, baku atau standar tidak dapat berubah setiap saat. Kedua, yang menandai bahasa baku ialah sifat kecendekiannya. Perwujudannya dalam kalimat, paragraf, dan satuan lain yang lebih besar mengungkapkan penalaran atau pemikiran yang teratur, logis, dan masuk akal. Proses pencendekiaan bahasa itu amat penting karena pengenalan ilmu dan teknologi modern, yang kini umumnya masih bersumber pada bahasa asing, harus dapat dilangsungkan lewat bahasa baku bahasa Indonesia. Akan tetapi, karena proses bernalar secara cendekia bersifat semesta dan bukan monopoli suatu bangsa semata-mata, pencendekiaan bahasa Indonesia tidak perlu berarti pembaratan bahasa. Ketiga, baku atau standar berpraanggapan adanya keseragaman. Proses pembakuan sampai taraf tertentu berarti proses penyeragaman kaidah, bukan penyamaan ragam bahasa, atau penyeraragam variasi bahasa (Moeliono, 1988b).
            Ragam baku atau standar ialah salah satu di antara beberapa dialek suat bahasa yang dipilih dan ditetapkan sebagai bahasa resmi, yang digunakan dalam semua keperluan resmi. Sebenarnya ada dua macam ragam bahasa baku yaitu bahasa baku lisan dan bahasa baku tulisan. Adakalanya bahasa baku lisan suatu bahasa tidak sama dengan bahasa baku tulisnya (Badudu, 1992). Dalam bahasa Indonesia, misalnya, dijumpai struktur kalimat sebagai berikut.
(3)        Saya akan membeli buku itu.
(4)        Akan saya beli buku itu.
(5)        Buku itu akan saya beli.
(6)        Saya akan beli buku itu.
(7)        Buku itu saya akan beli.


            Dalam ragam tulis bahasa Indonesia, struktur yang baku hanyalah kalimat (3), (4), dan (5). Kalimat (6) dan (7) tidak tergolong ke dalam kalimat baku. Akan tetapi, kalimat (6) dan (7) adalah kalimat baku dalam bahasa lisan.
            Tradisi baku dalam bahasa Indonesia adalah bahasa tulis. Berbahasa lisan yang baku dalam kegiatan resmi ialah berbahasa seperti bentuk dan susunan bahasa tulis. Aturan bahasa baku tulis itulah yang dituliskan dalam buku-buku tata bahasa. Menyimpang dari aturan itu disebut tidak baku atau nonbaku.
            Pemilihan kata-kata pun demikian. Ada kata yang hanya dianggap sebagai kata yang digunakan dalam bahasa lisan. Dalam bahasa tulis, kata-kat itu dianggap nonbaku, misalnya: kata bikin sebagai sinonim kata buat, kata kenapa sebagai sinonim kata mengapa atau apa sebab, kata bilang dalam frasa dia bilang yang berarti katanya atau dikatakannya, kata mau yang berarti sama dengan akan (nonbaku) karena mau dalam bahasa resmi searti dengan ingin, suka.
(8)        Kamu jangan bikin ribut di sini.
(9)        Kenapa anak itu menangis?
(10)      Apa dia bilang tadi?
(11)      Kabarnya Sukabumi mau ditanami kopi.

            Semua kalimat di atas dianggap kalimat nonbaku. Kalimat seperti itu hanya diucapkan dalam situasi tidak resmi. Dalam bahasa resmi baku, ejaan kata sudah pasti seperti yang terdapat dalam kamus. Jika sepatah kata dituliskan lain dari itu, ejaan kata itu dianggap nonbaku. Seseorang yang akan menulis surat dinas, laporan resmi misalnya, harus mengetahui benar mana bentuk yang baku dan mana yang nonbaku. Yang digunakan adalah bentuk baku itu. Kalimat-kalimat di atas dapat diperbaiki seperti berikut ini.             
(8a)      Kamu jangan membuat keributan di sini.
(9a)      Mengapa anak itu menangis?
(10a)    Apa yang dikatakannya tadi?
(11a)    Kabarnya Sukabumi akan ditanami kopi.
1.6       Ciri-Ciri Ragam Baku
            Ciri-ciri ragam baku bahasa Indonesia dapat diperikan sebagai berikut.
            Pertama, baik secara lisan maupun tulisan, ragam baku digunakan dalam situasi resmi, seperti surat-menyurat dinas, perundang-undangan, karangan ilmiah, laporan penelitian, ceramah ilmiah, pidato kenegaraan, pembicaraan dengan orang-orang yang dihormati atau orang-orang yang belum atau baru saja dikenal, dan sebagainya. Ragam bahasa baku tidak diwarnai oleh dialek atau logat tertentu. Misalnya, orang Jawa dalam mengujarkan kata-kata tertentu perlu menghindari ucapan kejawaannya. Kata-kata berikut ini tidak dilafalkan [mBantul, mBandung, mBogor, nJakarta, mBali, ngGombong], dan lain-lain, tetapi harus dilafalkan [Bantul, Bandung, Bogor, Jakarta, Bali, Gombong]. Tidak benar pelafalan [nomer, ampet], tetapi [nomor, empat]. Pelafalan dan penulisan kata, frasa, kalimat, dan tata bahasa yang tepat menandai ciri-ciri ragam bahasa baku. Tidak benar penulisan resiko, hakekat, tetapi risiko, hakikat.
            Kedua, baik secara lisan maupun tulisan, ragam baku menggunakan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah.
            Ketiga, baik secara lisan maupun tulisan, ragam baku memenuhi fungsi gramatikal seperti subjek, predikat, dan objek secara eksplisit dan lengkap.

1.7       Fungsi Ragam Baku
            Ragam baku bahasa Indonesia mendukung empat fungsi. Tiga di antaranya bersifat pelambang atau simbolis, sedangkan yang satu bersifat objektif. Fungsi-fungsi itu ialah (1) fungsi pemersatu, (2) fungsi pemberi kekhasan, (3) fungsi pembawa kewibawaan, dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan.
            Ragam baku bahasa Indonesia mempersatukan penutur/penulisnya menjadi satu masyarakat bahasa dan meningkatkan proses identifikasi penutur/penulis orang-seorang dengan seluruh masyarakat itu. Fungsi pemberi kekhasan yang diemban oleh bahasa baku membedakan bahasa itu dari bahasa yang lain. Karena fungsi itu, bahasa baku memperkuat perasaan kepribadian nasional masyarakat yang bersangkutan. Pemilikan bahasa baku membawa serta wibawa atau prestise. Fungsi ini bersangkutan dengan usaha orang mencapai kesederajatan dengan peradaban lain yang dikagumi lewat perolehan bahasa baku sendiri. Ahli bahasa di Indonesia dapat dijadikan teladan bagi bangsa lain di Asia Tenggara (mungkin juga di Afrika) yang juga memerlukan bahasa modern (Moeliono, 1988b).
            Pemakaian bahasa baku berlaku dalam komunikasi resmi, wacana teknis, pembicaraan di depan umum, dan pembicaraan dengan orang-orang yang dihormati.
            Ada pertanyaan, “Apa yang dibakukan?” Ada tiga hal yang dibakukan, yaitu ejaan, peristilahan, dan tata bahasa. Ejaan mendapatkan prioritas utama dalam pembakuan bahasa Indonesia karena berbagai alasan. Pertama, sistem ejaan adalah landasan bagi pembakuan tata bahasa dan peristilahan. Kedua, sistem ejaan berfungsi sebagai penyaring bagi masuknya pengaruh-pengaruh baru dalam bahasa. Ketiga, pembakuan ejaan lebih mudah dan tidak banyak makan waktu dalam pelaksanaannya.
            Dengan demikian, bahasa baku adalah bahasa yang diharapkan oleh pemakainya sebagai bahasa yang tidak menyimpang dari kaidah-kaidah ejaan, peristilahan, dan tata bahasa. Ada keseragaman pemakaian dalam hal ketiga-tiganya.
            Bahasa baku mempunyai nilai komunikatif yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan bahasa yang tidak baku karena bahasa baku sudah mempunyai aturan-aturan tertentu, pola dan kaidah atau norma ejaan, istilah, dan tata bahasa pasti dan tertentu pula. Pada umumnya, yang layak dianggap baku ialah ujaran dan tulisan yang dipakai oleh golongan masyarakat yang paling luas pengaruh dan wibawanya.
            Bahasa baku merupakan ragam orang berpendidikan, yang dijadikan tolak ukur bandingan bagi pemakaian bahasa yang benar. Bahasa baku memiliki kemantapan dinamis yang berupa kaidah dan aturan yang tetap. Kemantapan itu tidak kaku sehingga memungkinkan perubahan yang bersistem, teratur, dan mengizinkan perkembangan berjenis ragam yang diperlukan di dalam kehidupan modern. Bahasa baku mempunyai sifat kecendikiawanan yang menonjol. Proses pembakuan sampai taraf tertentu berarti proses penyeragaman kaidah, bukan penyamaan ragam bahasa atau penyeragaman variasi bahasa.
            Setelah dikenali ciri-ciri umum ragam baku bahasa Indonesia, pada bab berikutnya dicontohkan pembakuan di bidang ejaan, lafal, kata, dan kalimat. Dengan bekal contoh-contoh itu, diharapkan para pembuat surat dinas mempunyai pemahaman yang benar tentang cara menggunakan bahasa baku bahasa Indonesia. Bahasa baku merupakan bahasa formal. Ada aturan-aturan formal yang harus ditaati. Dengan menaati kaidah bahasa baku, diharapkan surat dinas itu tampil memadai karena sesuai. Pemilihan ragam bahasa baku untuk surat dinas itu ditempuh sesuai dengan faktor kebutuhan pembuat surat dinas akan alat komunikasi yang sesuai dengan situasinya.


DAFTAR PUSTAKA

Badudu, J.S. 1992. Cakrawala Bahasa Indonesia II. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Halim, Amran (ed.). 1984. Politik Bahasa Nasional 2. Jakarta: Balai Pustaka.

Moeliono, Anton M. 1988b. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Mustakim. 1992. Tanya Jawab Ejaan Bahasa Indonesia Untuk Umum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Ramlan, M. dkk. 1992. Bahasa Indonesia yang Salah Dan yang Benar. Yogyakarta: Andi Offset.

Suharsono. 1993. “Bahasa Indonesia”. tidak diterbitkan.







BAB II
EJAAN BAKU


            Ejaan adalah kaidah-kaidah cara menggambarkan bunyi-bunyi (kata, kalimat, dan sebagainya) dalam bentuk tulisan (huruf-huruf) serta penggunaan tanda-tanda baca (Moeliono, ed., 1988a). Poerwadarminta (1976) mendefinisikan ejaan sebagai cara atau aturan menuliskan kata-kata dengan huruf. Sementara itu, Tarigan (1985) menyatakan bahwa ejaan adalah cara atau aturan menulis kata-kata dengan huruf menurut disiplin ilmu bahasa. Ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan adalah sistem ejaan Indonesia yang sebagian besar sama dengan sistem ejaan Malaysia, yang termuat di dalam Surat Keputusan Presiden No. 57 Tanggal 16 Agustus 1972 dan yang sekarang menjadi ejaan resmi Indonesia.
            Bahasa surat dinas menggunakan ejaan dan kata yang baku. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan; Pedoman Umum Pembentukan Istilah; dan Kamus Besar Bahasa Indonesia menjadi sumber acuannya. Tidak sulit bagi penulis surat dinas untuk melatih kemahirannya dalam menulis huruf, kata, dan istilah serta menggunakan tanda baca karena sudah ada pedomannya.
            Pedoman ejaan bahasa Indonesia disebut pedoman umum karena karena pedoman itu pada dasarnya hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum. Adapun hal-hal yang sifatnya khusus, yang belum diatur dalam pedoman itu, dapat disesuaikan dengan bertitik tolak pada pedoman umum itu. Sementara itu, ejaan yang berlaku sekarang disebut ejaan yang disempurnakan karena ejaan itu merupakan hasil penyempurnaan dari beberapa ejaan yang pernah ada sebelumnya.
            Pengertian ejaan dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi khusus dan segi umum. Secara khusus, ejaan dapat diartikan sebagai perlambangan bunyi-bunyi bahasa dengan huruf, baik berupa huruf demi huruf maupun huruf yang telah disusun menjadi kata, kelompok kata, atau kalimat. Secara umum, ejaan berarti keseluruhan ketentuan yang mengatur perlambangan bunyi bahasa, termasuk pemisahan dan penggabungannya, yang dilengkapi pula dengan penggunaan tanda baca (Mustakim, 1992).
            Selanjutnya dikatakan bahwa di dalam suatu bahasa sistem ejaan lazimnya mempunyai tiga aspek, yaitu aspek fonologis, yang menyangkut pelambangan fonem dengan huruf dan penyusunan abjad; aspek morfologis, yang menyangkut pelambangan satuan-satuan morfemis; dan aspek sintaksis, yang menyangkut pelambangan ujaran dengan tanda baca. Dengan demikian, ketentuan yang mengatur pelambangan fonem dan huruf, penyesuaian huruf asing dengan huruf yang ada dalam bahasa Indonesia, serta pelafalan, pengakroniman, dan penyusunan abjad termasuk aspek fonologis.
            Ketentuan yang mengatur pembentukan kata dengan pengimbuhan, penggabungan kata, pemenggalan kata, penulisan kata, dan penyesuaian kosakata asing ke dalam bahasa Indonesia termasuk aspek morfologis.
            Di pihak lain, penulisan dan pelafalan frasa, klausa, serta kalimat termasuk aspek sintaksis. Satuan-satuan sintaksis itu dalam pelafalannya mengandung unsur-unsur suprasegmental, seperti intonasi, tekanan, dan jeda, yang dalam ragam tulis perlu dilambangkan dengan tanda baca.

2.1       Aspek Fonologis
            Kaidah dalam aspek fonologis ragam baku bahasa Indonesia, antara lain, menyangkut penulisan huruf, pelafalan, dan pengakroniman. Penulisan huruf bahasa Indonesia menyangkut soal abjad, vokal, diftong, konsonan, persukuan, dan nama diri.
            Pertama, abjad yang digunakan dalam bahasa Indonesia terdiri atas 26 huruf. Penulisan dan pelafalannya diatur dengan kaidah.
            Kedua, vokal di dalam bahasa Indonesia sebanyak 5 huruf vokal yaitu a, e, i, o, dan u. Vokal a dapat menduduki posisi di depan, di tengah, dan di belakang kata. Huruf e melambangkan bunyi [é] dan bunyi [e], taling dan pepet. Huruf e yang melambangkan vokal /é/ dan /e/ ini dapat menduduki posisi di depan, di tengah, dan di belakang kata. Vokal i dapat menduduki posisi di depan, di tengah, dan di belakang kata. Vokal o dapat menduduki posisi di depan, di tengah, dan di belakang kata. Vokal u dapat menduduki posisi di depan, di tengah, dan di belakang kata.
            Ketiga, diftong dalam bahasa Indonesia sebanyak tiga buah yaitu ai, au, dan oi. Diftong yang dieja ai, au, dan oi itu dilafalkan sebagai vokal yang diikuti oleh konsonan luncuran w atau y. Jadi, diftong bukanlah gabungan dua vokal. Istilah semivokal yang kadang-kadang dipakai untuk w dan y sudah menunjukkan bahwa keduanya bukan vokal. Diftong ai tidak terdapat di depan dan di tengah kata, hanya menduduki posisi pada akhir kata. Diftong au dapat menduduki posisi di depan, di tengah, dan di belakang kata. Diftong oi dapat menduduki posisi di tengah dan di belakang kata. Bila dibandingkan dengan diftong ai dan au, terlihat bahwa pemakaian diftong oi ini kurang produktif.
            Keempat, di dalam bahasa Indonesia terdapat konsonan-konsonan sebagai berikut: b, c, d, f, g, h, j, k, kh, l, m, n, ng, ny, p, q, r, s, sy, t, v, w, x, y, dan z. Selain c, j, dan ny, setiap konsonan itu menduduki posisi di depan, di tengah, dan di belakang kata. Konsonan c, j, dan ny tidak lazim menduduki posisi di belakang kata.
            Kelima, setiap suku kata Indonesia ditandai oleh sebuah vokal. Vokal itu dapat didahului atau diikuti oleh konsonan. Bahasa Indonesia mengenal empat macam pola umum suku kata,yaitu: V, VK, KV, dan KVK. Di samping itu, bahasa Indonesia memiliki pola suku kata yang berikut: KVK, KKVK, VKK, KVKK, KKVKK, KKKV, dan KKKVK. Pemisahan suku kata dalam bahasa Indonesia menyangkut kaidah pemisahan suku kata pada kata dasar dan kata jadian. Pemisahan suku kata pada kata dasar adalah sebagai berikut. a) Kalau di tengah kata ada dua vokal yang berurutan, pemisahan tersebut dilakukan di antara kedua vokal itu. b) Kalau di tengah kata ada konsonan di antara dua vokal, pemisahan tersebut dilakukan sebelum konsonan itu. Karena ng, ny, sy, dan kh melambangkan satu konsonan, gabungan huruf itu tidak pernah diceraikan sehingga pemisahan suku kata terdapat sebelum atau sesudah pasangan huruf itu. c) Kalau di tengah kata ada dua konsonan yang berurutan, pemisahan tersebut terdapat di antara kedua konsonan itu. d) Kalau di tengah kata ada tiga konsonan atau lebih, pemisahan tersebut dilakukan di antara konsonan yang pertama (termasuk ng) dengan yang kedua. Imbuhan, termasuk awalan yang mengalami perubahan bentuk, dan partikel yang biasanya ditulis serangkai dengan kata dasarnya dalam penyukuan kata dipisahkan sebagai satu kesatuan.
            Keenam, penulisan nama diri. Penulisan nama-nama sungai, gunung, jalan, kota, dan sebagainya disesuaikan dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD). Nama orang, badan hukum, dan nama diri lain yang sudah lazim disesuaikan dengan EYD, kecuali bila ada pertimbangan khusus.
            Dalam aspek fonologis, termasuk di dalamnya adalah kaidah penulisan huruf, yaitu huruf besar atau huruf kapital dan huruf miring.
            Selain penulisan huruf, pelafalan juga penting dalam kesempurnaan aspek fonologis. Beberapa contoh, misalnya, bagaimanakah melafalkan huruf a pada kata Allah dan kata serapan lain dari bahasa Arab? Manakah pelafalan yang benar [diharapkan] atau [diharapken], [makin] atau [mangkin]? Bagaimanakah melafalkan h dan e yang tepat?
            Kata Allah dalam pemakaian bahasa Indonesia sering dilafalkan dengan [alloh] dan sering pula dengan [allah]. Pelafalan Allah dengan [alloh] lazim dilakukan oleh para pemakai bahasa yang berlatar belakang agama Islam, sedangkan para pemakai yang berlatar belakang agama lain lazim melafalkannya dengan [allah]. Kedua cara pelafalan itu pada dasarnya tidak dipandang sebagai suatu kesalahan karena didasarkan pada dua sudut pandang yang berbeda. Pelafalan dengan [alloh] didasarkan pada asal kata itu (Arab), sedangkan dengan [allah] didasarkan pada lafal bahasa Indonesia. Sejalan dengan itu, huruf a pada kata-kata serapan dari bahasa Arab yang lain juga dapat dilafalkan dengan cara yang sama. Misalnya: nisab, insya Allah, Ramadan, salat. Sungguhpun kedua pelafalan itu dalam situasi tertentu dapat digunakan, cara yang dianjurkan ialah dengan mengikuti lafal bahasa Indonesia. Di samping itu, ejaan dan penulisannya pun harus tetap mengikuti ejaan bahasa Indonesia.
            Contoh lain perihal pelafalan adalah sebagai berikut. Dalam bahasa Indonesia, yang ada adalah akhiran ­–kan, bukan –ken. Sesuai dengan tulisannya, akhiran itu tetap dilafalkan dengan [-kan], bukan [-ken]. Sementara orang memang ada yang melafalkan kata semacam diharapkan dengan [diharapken]. Akan tetapi, pelafalan seperti itu jelas tidak tepat karena dalam bahasa Indonesia apa yang ditulis itulah yang dilafalkan.
            Timbulnya pelafalan yang tidak tepat itu di samping dipengaruhi oleh idiolek seseorang, juga besar kemungkinan dipengaruhi oleh lafal bahasa daerah. Sungguhpun demikian, pemakai bahasa yang memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia tentu tidak akan mengikuti cara pelafalan yang tidak tepat. Sebaliknya, dengan penuh kesadaran mereka akan terus berusaha meningkatkan kemampuannya dalam berbahasa Indonesia, termasuk dalam pelafalannya.
            Huruf h dalam bahasa Indonesia ada yang dilafalkan dengan kuat dan ada pula yang dilafalkan dengan lemah. Huruf h yang dilafalkan dengan kuat, misalnya pada kata Tuhan, suhu, tahap, dan rahasia, sedangkan yang dilafalkan dengan dengan h lemah, misalnya pada kata lihat dan tahun. Sekalipun demikian, huruf h yang diapit oleh vokal tidak terlalu dipertentangkan antara yang kuat dan yang lemah karena pada kenyataannya huruf h itu dapat dilafalkan dengan cara keduanya kecuali pada kata-kata tertentu yang dapat mengubah makna, misalnya pada kata tahu. Di samping ada yang diapit oleh vokal, huruf h ada pula yang terletak pada awal kata dan pada akhir kata atau sebagai penutup suku kata. Apabila terletak pada awal kata atau suku kata, lazimnya huruf h dilafalkan dengan h kuat, sedangkan jika terletak pada akhir kata atau suku kata, lazimnya dilafalkan dengan h lemah. Bandingkan, misalnya hutan, hasil, mafhum, dan hati dengan murah, pasrah, masih, dan mahligai, tentu dapat diketahui bahwa h pada awal kata atau suku kata pelafalannya lebih kuat daripada h pada akhir kata atau suku kata.
            Kaidah penyingkatan dan pengakroniman pun ada dalam bahasa Indonesia ragam baku. Singkatan berbeda dengan akronim. Singkatan adalah kependekan yang berupa huruf atau gabungan huruf, baik dilafalkan huruf demi huruf maupun dilafalkan dengan dengan mengikuti bentuk lengkapnya. Beberapa singkatan yang dilafalkan huruf demi huruf dapat diperhatikan dalam contoh berikut ini: SMU, UGM, DPRD, BNI, dan lan-lain. Singkatan ini dapat juga dilafalkan sesuai dengan bentuk lengkapnya. Singkatan yang dilafalkan sesuai dengan bentuk lengkapnya adalah Bpk., Sdr., dst., ybs., tsb., d.a., a.n., dsb., dll., dan sebagainya. Singkatan lambang adalah singkatan yang terdiri atas satu huruf atau lebih yang melambangkan konsep dasar ilmiah, seperti kuantitas, satuan, dan unsur. Dalam penulisannya, singkatan lambang berbeda dengan singkatan-singkatan lain, baik singkatan umum maupun singkatan nama diri. Perbedaan itu tidak hanya terletak pada cara penulisan, tetapi juga pada cara penandaannya. Dengan demikian, berbagai kesatuan yang berkenaan dengan penulisan dan penandaan pada singkatan umum dan singkatan nama diri tidak berlaku bagi singkatan lambang. Hal ini terjadi karena penulisan dan penandaan singkatan lambang pada umumnya disesuaikan dengan peraturan internasional. Dalam hal ini, singkatan lambang penulisannya tidak diikuti dengan tanda titik.
            Akronim adalah kependekan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, atau gabungan huruf awal dan suku kata, yang ditulis dan dilafalkan seperti halnya kata biasa. Misalnya: pilkades, siskamling, rapim, rakernas, hansip, menwa, inpres, tilang, dan pramuka.
            Dengan memperhatikan pengertian di atas, dapat diketahui bahwa perbedaan akronim dan singkatan pada dasarnya terletak pada cara pembentukan dan pelafalannya. Dalam hal ini akronim dibentuk dengan menggabungkan huruf dengan huruf, huruf dengan suku kata, atau suku kata dengan suku kata; sedangkan singkatan hanya dibentuk dengan menggabungkan huruf dan huruf. Bahkan, ada pula singkatan yang hanya terdiri atas satu huruf yang tidak bergabung dengan huruf lain, misalnya: m, g, dan l.
            Akronim dilafalkan seperti halnya kata biasa, sedangkan singkatan, selain dilafalkan huruf demi huruf, ada pula yang dilafalkan sesuai dengan bentuk lengkapnya, misalnya m, g, dan l.

2.2       Aspek Morfologis
            Kaidah ragam baku bahasa Indonesia yang menyangkut aspek morfologis adalah kata, baik pengimbuhan, penggabungan, pemenggalan, penulisan, maupun penyesuaian kosakata asing. Kata dasar, kata turunan (kata jadian), kata ulang, gabungan kata-kata ganti, kata depan, kata si dan sang, partikel, penulisan unsur serapan, tanda baca, dan penulisan angka dan bilangan penting untuk diperhatikan dalam ragam baku bahasa Indonesia.
            Kata yang berupa kata dasar ditulis sebagai satu satuan. Dalam hal kata turunan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai penulisan kata turunan: (1) imbuhan ditulis serangkai dengan kata dasarnya; (2) awalan atau akhiran ditulis serangkai dengan kata yang langsung mengikuti atau mendahuluinya kalau bentuk dasarnya berupa gabungan kata; (3) kalau bentuk dasar berupa gabungan kata sekaligus mendapatkan awalan dan akhiran, kata-kata itu ditulis serangkai; (4) kalau salah satu unsur gabungan kata hanya dipakai dalam kombinasi, gabungan kata itu ditulis serangkai.
            Dalam hal penulisan bentuk terikat, bila bentuk terikat tersebut diikuti oleh kata yang huruf awalnya huruf kapital, di antara kedua unsur itu dituliskan tanda hubung (-).
            Maha sebagai unsur gabungan kata ditulis serangkai kecuali jika diikuti oleh kata yang bukan kata dasar dan kata esa.
            Bentuk ulang ditulis secara lengkap dengan menggunakan tanda hubung.
            Dalam hal gabungan kata, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai penulisannya. (1) Gabungan kata yang lazim disebut kata majemuk, termasuk istilah khusus, bagian-bagiannya umumnya ditulis terpisah. (2) Gabungan kata, termasuk istilah khusus, yang mungkin menimbulkan salah baca, dapat diberi tanda hubung untuk menegaskan pertalian di antara unsur yang bersangkutan. (3) Gabungan kata yang sudah dianggap sebagai satu kesatuan ditulis serangkai.
            Kata ganti ku dan kau ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya; ku, mu, dan nya ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya.
            Kata depan di, ke, dan dari ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya, kecuali di dalam gabungan kata yang sudah dianggap sebagai satu kata seperti kepada dan daripada.
            Kata si dan sang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya.
            Ada beberap partikel yang berhubungan dengan masalah penulisan kata. Partikel lah, kah, tah ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya. Partikel pun ditulis terpisah dengan kata yang mendahuluinya, kecuali pun dalam kelompok kata yang sudah dianggap padu benar ditulis serangkai, misalnya adapun, andaipun, ataupun, bagaimanapun, betapapun, biarpun, kalaupun, kendatipun, maupun, sekalipun, sungguhpun, dan walaupun.
            Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai penulisan angka dan bilangan. (1) Angka dipakai untuk menyatakan lambang bilangan atau nomor. Di dalam tulisan lazim digunakan angka Arab dan angka Romawi. (2) Angka digunakan untuk menyatakan: ukuran panjang, berat, isi, satuan waktu, dan nilai uang. (3) Angka lazim dipakai untuk menomori jalan, rumah, apartemen, atau kamar pada alamat. (4) Angka digunakan juga untuk menomori karangan atau bagiannya. (5) Penulisan lambang bilangan dengan huruf dilakukan dengan mempertimbangkan sebagai bilangan utuh dan bilangan pecahan. (6) Penulisan kata bilangan tingkat dapat dilakukan dengan berbagai cara. (7) Penulisan kata bilangan yang mendapatkan akhiran –an dilakukan dengan menuliskan akhiran –an itu di belakang angka. (8) Lambang bilangan yang dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata ditulis dengan huruf kecuali jika beberapa lambang bilangan itu dipakai secara berurutan, seperti dalam perincian dan pemaparan. (9) Lambang bilangan pada awal kalimat ditulis dengan huruf; jika perlu, susunan kalimat diubah sehingga bilangan yang tidak dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata tidak terdapat lagi pada awal kalimat. (10) Angka yang menunjukkan bilangan bulat yang besar dapat dieja sebagian supaya mudah dibaca. (11) Kecuali di dalam dokumen resmi seperti akta dan kuitansi, bilangan tidak perlu ditulis dengan angka dan huruf sekaligus dalam teks. (12) Kalau bilangan dilambangkan dengan angka dan huruf, penulisannya harus tepat.
            Perkembangan bahasa Indonesia sangat pesat. Dalam perkembangannya itu bahasa Indonesia menyerap unsur dari pelbagai bahasa lain, baik bahasa daerah maupun bahasa aing seperti Sanskerta, Arab, Portugis, Belanda, dan Inggris. Berdasarkan taraf integrasinya, unsur pinjaman dalam bahasa Indonesia dapat dibagi dalam dua golongan besar. Pertama, unsur asing yang belum sepenuhnya terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti shuttle cock. Unsur-unsur ini dipakai dalam konteks bahasa Indonesia, tetapi pengucapannya masih mengikuti cara asing. Kedua, unsur asing yang pengucapan dan penulisannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia. Dalam hal ini usahakan agar ejaan asing hanya diubah seperlunya sehingga bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan dengan bentuk asalnya. Unsur serapan dalam bahasa Indonesia pada garis besarnya menyangkut tiga hal, yaitu: (a) gabungan vokal, vokal tunggal; (b) gabungan konsonan, konsonan tunggal; dan (c) gabungan vokal-konsonan atau konsonan-vokal yang berupa akhiran.
            Untuk lebih jelasnya, perihal ejaan dan istilah dapat dibaca Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah.
            Dalam uraian di atas telah dibicarakan pemakaian huruf, penulisan huruf, penulisan kata, penulisan unsur serapan, dan pembentukan istilah. Tidak kalah pentingnya dengan hal itu ialah pembicaraan mengenai tanda baca. Tanda baca yang perlu diperhatikan dalam ragam baku bahasa Indonesia ialah tanda titik (.), tanda koma (,), tanda titik koma (;), tanda titik dua (:), tanda hubung (-), tanda pisah (--), tanda elipsis (...), tanda tanya (?), tanda seru (!), tanda kurung ((...)), tanda kurung siku ([...]), tanda petik (“...”), tanda petik tunggal (‘...’), tanda ulang (-), tanda garis miring (/), dan tanda menyingkatkan atau apostrof (‘). Hal-hal yang berkaitan dengan kaidah penulisan tanda baca dapat dilihat pada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan.

2.3       Aspek Sintaksis
            Kaidah ragam baku bahasa Indonesia yang menyangkut aspek sintaksis meliputi frasa, klausa, dan kalimat. Berikut ini diuraikan serangkaian contoh yang menyangkut ketiga hal itu.
            Perihal frasa misalnya, mana yang benar, orang-orang tua, orang tua-tua, orang tua-orang tua? Orang tua yang berupa kata majemuk berarti ‘ibu bapak’; dapat pula frasa itu berarti ‘orang yang tua’. Karena kedua kata itu berbeda bentuk dan maknanya, bentuk ulangnya pun harus dibedakan (Badudu, 1989). Perhatikan kedua kalimat berikut.
(12)      Sekolah itu mengadakan pertemuan antara guru-guru dengan orang-orang tua murid.
(13)      Yang boleh menjadi anggota perkumpulan itu hanyalah orang tua-tua.

Dengan bentuk pengulangan kata itu dalam kedua kalimat di atas, jelas bahwa orang-orang tua murid ialah ‘para ibu bapak murid’, sedangkan orang tua-tua ialah ‘orang-orang yang sudah tua’ (dalam pengertian jamak). Pengulangan kata tua menjadi kata tua-tua menekankan pada sifat tua sebagai lawan sifat muda. Kalau dinyatakan orang tua-tua dan orang muda-muda tentulah yang dimaksud bukan seorang, tetapi banyak. Ada pula yang mengusulkan agar kata majemuk orang tua yang berarti ‘ibu bapak’ sebaiknya diulang seluruhnya menjadi ­orang tua-orang tua. Akan tetapi, yang seperti ini menyalahi kaidah bahasa asal bahasa Indonesia, yaitu bahasa Melayu. Dalam bahasa Melayu, baik kata mejemuk maupun kelompok kata (frasa) yan diulang hanyalah konstutuen pokoknya, sedangkan pewatasnya tidak usah diulang.
Gabungan kata atau kata majemuk jika akan diulang, tidak perlu seluruh unsurnya ditulis ulang. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari masalah yang cukup rumit, terutama apabila kita ingin mengulang gabungan kata yang bentuknya cukup panjang.
Atas dasar pertimbangan itu, kebijaksanaan yang ditempuh adalah bahwa pengulangan gabungan kata tidak perlu ditulis ulang seluruhnya, tetapi cukup dengan mengulang unsur yang pertama (Mustakim, 1992).
Meskipun demikian, harus diakui bahwa ada yang berubah dalam bahasa Indonesia sehingga tidak lagi sama dengan bahasa Melayu dulu. Dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1988) ada kata yang terbentuk dari dua morfem yang dituliskan serangkai seperti sepatah kata saja, misalnya hulubalang. Kalau kata gabung itu dituliskan serangkai seperti itu tidak lagi dipersoalkan bagaimana bentuk ulangnya; sekiranya kata-kata itu akan diulang, tentulah diulang seluruhnya menjadi hulubalang- hulubalang.
Angka dua sebagai penanda perulangan tidak digunakan di dalam EYD. Dalam hal ini kata atau bagian-bagian kata yang diulang ditulis kembali secara lengkap dengan menyertakan tanda hubungan di antara unsur yang diulang. Dengan demikian, dalam tulisan-tulisan yang bersifat resmi, misalnya surat dinas, naskah buku, karya tulis, laporan ilmiah, skripsi, dan berbagai karya tulis resmi yang lain bentuk ulang harus ditulis secara lengkap, tidak menggunakan angka dua.
Dalam hal cara menuliskan bentuk ulang yang mengalami perubahan fonem, seperti halnya kata ulang yang lain, pada kata itu pun unsur yang diulang ditulis kembali secara lengkap dengan disertai tanda hubung di antara keduanya. Jadi, unsur yang diulang itu tidak ditulis dengan angka dua ataupun ditulis ulang tanpa tanda hubung, misalnya gerak-gerik.
Dalam bahasa Indonesia dewasa ini, ada kecenderungan orang untuk selalu mengulang kata benda bila ingin menyatakan jamak, padahal dalam bahasa Indonesia ada cara lain untuk menyatakan jamak itu yaitu dengan menggunakan kata semua, banyak, beberapa, segala. Sering juga orang mengulang kata benda untuk menyatakan pengertian jamak, padahal pengulangan itu sebenarnya tidak perlu karena kata itu mengandung arti umum sehingga mencakup semua. Perhatikan contoh berikut.
(14)      Masyarakat diharapkan untuk melapor jika menemukan uang palsu.

Kata masyarakat dalam kalimat itu tidak perlu dijadikan masyarakat-masyarakat  karena yang dimaksud adalah ‘semua warga masyarakat’ atau ‘siapa saja’.
Di dalam bahasa Indonesia juga tidak dikenal concord atau agreement. Kita mengatakan beberapa orang dan bukan beberapa-beberapa orang karena makna jamaknya itu sudah cukup dinyatakan oleh kata beberapa itu. Kata bendanya tidak perlu dijamakkan. Begitu juga para menteri sudah menunjukkan jamak, tidak perlu dijadikan para menteri-menteri.
Perihal kata menyangkut pula idiom. Yang dimaksudkan dengan idiom ialah gabungan yang sudah teradat dan maknanya tidak dengan serta-merta dapat dijabarkan dari makna unsurnya masing-masing, misalnya meninggal dunia, air muka, mata pisau, besar hati, luar kepala, bermulut besar. Mengenali idiom suatu bahasa biasanya dicapai setelah belajar bahasa itu lama-lama. Kita dapat membedakan seorang penutur asli dengan yang bukan justru dengan memperhatikan ada tidaknya penggunaan idiom dalam ujarannya. Orang akan dianggap fasih berbahasa atau penerjemah yang terampil jika menguasai tata bahasa dan idiom bahasa tersebut dengan baik (Moeliono, 1984).
Dalam aspek sintaksis, seringkali ditemui kesalahan berbahasa ragam baku dalam hal penulisan subjek berkata depan, kalimat pasif bentuk diri, penghubung kalimat majemuk, pemakaian bentuk di mana, dalam mana, di dalam mana, dari mana, dan yang mana sebagai penghubung, pemakaian kata depan yang tidak tepat, penghilangan kata depan, penghilangan akhiran –i dan –kan, afiks pen-/-an dan per-/-an, pemakaian bentuk yang mubazir, dan pemilihan kata (Ramlan, 1992).
Contoh kesalahan kalimat dengan subjek berkata depan adalah berikut ini.
(15)      Di dalam keputusan itu menunjukkan kebijaksanaan yang dapat menguntungkan masyarakat umum.

Sepintas lalu kalimat itu termasuk kalimat yang benar, tetapi jika diamati dengan saksama ternyata kalimat itu mengandung kesalahan. Kesalahan tersebut berkaitan dengan fungsi subjek. Berdasarkan analisis fungsional, S yang dimaksudkan oleh penulis dalam kalimat itu ialah di dalam keputusan itu. Tentu saja, frasa ini bukan merupakan frasa benda, melainkan frasa depan atau frasa preposisional dengan kata depan di dalam. Dengan demikian, kalimat itu belum memenuhi kaidah bahasa Indonesia karena fungsi S-nya tidak diisi oleh kata atau frasa benda. Pembetulan terhadap kalimat (15) itu dilakukan dengan menghilangkan kata depan di dalam yang terdapat di tempat S sehingga kalimatnya menjadi seperti berikut ini.
(15a)    Keputusan itu menunjukkan kebijaksanaan yang dapat menguntungkan masyarakat umum.

            Penghilangan kata depan yang terdapat pada fungsi S bukanlah satu-satunya cara untuk membetulkan kalimat itu. Kalimat (15), misalnya, dapat dibetulkan dengan cara mengubah P kata kerja menunjukkan yang berawalan meN- menjadi P kata kerja yang berawalan di-­ sehingga kalimatnya menjadi seperti berikut.
(15b)   Di dalam keputusan itu ditunjukkan kebijaksanaan yang dapat menguntungkan masyarakat umum.

            Kesalahan yang lebih umum ditemui ialah kesalahan yang berupa objek (O) berkata depan atau objek yang diisi oleh frasa depan, misalnya kalimat di bawah ini.
(16)      Banyak anggota masyarakat belum menyadari akan pentingnya kesehatan lingkungan.

            Kalimat (16) di atas memiliki O yang berupa frasa depan, yaitu frasa yang didahului oleh kata depan. Objek yang dimaksud adalah akan pentingnya kesehatan. Objek yang diisi oleh frasa depan itu harus dihindari sebab menurut kaidah kalimat bahasa Indonesia yang umum O kalimat tidak boleh berupa frasa depan. Oleh karena itu, kalimat itu diperbaiki dengan cara menghilangkan kata depannya menjadi sebagai berikut.
(16a)   Banyak anggota masyarakat belum menyadari pentingnya kesehatan lingkungan.
            Kesalahan seperti ini disebabkan oleh kerancuan pemakaian kata kerja yang memang berkata depan dengan kata kerja transitif yang tidak berkata depan. Memang, terdapat kata kerja berkata depan yang hampir sama artinya dengan kata kerja transitif. Contohnya adalah berbicara tentang = membicarakan, suka akan = menyukai, tahu akan/tentang = mengetahui. Akan tetapi, jika bentuk transitif yang digunakan, kata depannya harus dihilangkan.
            Kalimat pasif bentuk diri merupakan salah satu contoh kesalahan aspek sintaksis dalam ragam baku bahasa Indonesia.
(17)      Rambu-rambu yang terdapat di jalan raya kamu harus perhatikan.

            Sepintas lalu kalimat (17) itu merupakan kalimat yang benar, tetapi jika diperiksa dengan teliti, ternyata kalimat itu salah. Kesalahan itu terletak pada penggunaan kamu harus perhatikan. Kesalahan ini dapat dibetulkan dengan mengubah susunannya menjadi seperti berikut ini.
(17a)    Rambu-rambu yang terdapat di jalan raya harus kamu perhatikan.

            Selain itu, kalimat majemuk memiliki bentuk yang lebih kompleks daripada kalimat tunggal karena jumlah klausa yang membentuknya lebih banyak. Kalimat tunggal hanya terdiri atas sebuah klausa, sedangkan kalimat majemuk terdiri atas dua klausa atau lebih.
            Kalimat majemuk sebenarnya terbentuk dari penggabungan kalimat-kalimat tunggal. Di dalam penggabungan itu sering terjadi penggantian dan penghilangan serta pengulangan unsur-unsur yang sama. Berdasarkan kedudukan-kedudukan klausa pembentuknya, kalimat majemuk dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk bertingkat.
            Kalimat majemuk setara ialah kalimat majemuk yang klausa-klausa pembentuknya memiliki kedudukan yang sama atau setara. Klausa-klausa kalimat majemuk setara itu berhubungan secara koordinatif. Kata-kata penghubung yang dapat digunakan untuk menandai hubungan koordinatif itu bermacam-macam. Beberapa di antaranya adalah tetapi, sedangkan, dan namun.
            Kalimat majemuk bertingkat adalah kalimat majemuk yang klausa-klausa pembentuknya berhubungan secara subordinatif. Salah satu klausanya, yaitu klausa bawahannya, merupakan bagian dari klausa inti. Ada bermacam-macam kata penghubung yang menandai hubungan subordinatif. Beberapa penghubung di antaranya adalah walaupun, karena, agar, dan asalkan.
            Sehubungan dengan penyusunan kalimat majemuk tersebut, terdapat dua jenis kesalahan yang sering ditemui, yaitu penggunaan kata penghubung yang kurang tepat dan penggunaan kata penghubung setara pada awal kalimat. Kesalahan kalimat (18) berikut ini disebabkan oleh kekurangtepatan pemilihan kata penghubung.
(18)      Penanaman rumput gajah bagi masyarakat pedesaan berguna untuk menyediakan makanan ternak juga mencegah adanya penggembalaan liar.

            Pemakaian kata juga dalam kalimat itu tidak tepat. Seharusnya diganti dengan kata dan sebab kata juga tidak lazim digunakan untuk menghubungkan klausa-klausa yang kedudukannya setara.
            Di dalam bahasa Indonesia sering dijumpai pemakaian bentuk-bentuk di mana, dalam mana, di dalam mana, dari mana, dan yang mana sebagai penghubung. Penggunaan bentuk-bentuk tersebut kemungkinan besar dipengaruhi oleh bahasa asing, khususnya bahasa Inggris where, in which, dan which. Dalam bahasa Indonesia karena sudah ada penghubung yang lebih tepat, yaitu kata tempat dan yang, kalimat yang menggunakan kata-kata itu harus diubah. Misalnya:
(19)      Rumah tempat ia tinggal sangat luas.
(20)      Sektor pariwisata yang merupakan tulang punggung perekonomian negara harus senantiasa ditingkatkan.

            Kata tempat pada kalimat (19) merupakan pembetulan terhadap frasa di mana, sedangkan kata yang pada kalimat (20) merupakan pembetulan terhadap frasa yang mana. Di dalam bahasa Indonesia memang terdapat bentuk-bentuk itu, tetapi tidak lazim digunakan sebagai penghubung. Bentuk-bentuk itu lazimnya dipakai untuk menandai kalimat tanya.
            Dalam bahasa Indonesia terdapat kata-kata seperti di, ke, dari, pada, terhadap, tentang, oleh, dan sebagainya. Kata-kata semacam itu tidak dapat berdiri sendiri sebagai subjek dan predikat serta fungsi-fungsi klausa yang lain. Kata-kata tersebut dapat dikatakan tidak pernah mengalami perubahan bentuk, seperti tampak dalam di rumah, ke Jakarta, dari Amir, pada orang, terhadap tanah air, tentang ilmu, oleh Tuti, dan sebagainya. Kata-kata yang mempunyai ciri semacam itu biasa disebut kata depan atau preposisi. Dalam penggunaan bahasa, orang harus cermat dengan kata depan karena kata depan itu secara semantik menandai pertalian antara kata atau frasa yang mengikutinya, atau yang disebut aksis, dengan kata atau frasa lain dalam kalimat atau frasa yang lebih besar.
            Dari pengamatan terhadap pemakaian bahasa Indonesia dapat diketahui bahwa kata depan daripada-lah yang sering digunakan secara tidak tepat. Ketidaktepatan pemakaian kata depan ini disebabkan oleh tidak dikuasainya kaidah pemakaian kata itu oleh penutur bahasa. Kata depan daripada dipakai untuk menandai makna perbandingan yang menyatakan bahwa terbanding itu lebih dibandingkan dengan pembandingnya. Jika tidak ada perbandingan, kata depan daripada tidak digunakan.
            Dalam bahasa Indonesia terdapat bermacam-macam kata depan. Menurut hasil penelitian tercatat 115 kata depan. Kata depan ialah kata yang menandai pertalian makna antara kata atau frasa yang mengikutinya dengan kata atau frasa lain dalam suatu kalimat. Pemakaian kata depan dalam kalimat sangat penting karena pemakaian itu untuk menandai makna kata atau frasa yang mengikutinya. Misalnya:
(21)      Sesuai dengan tujuan pembicaraan, makalah ini berbicara mengenai ragam baku bahasa Indonesia.


Sikap mengabaikan penulisan kata depan dalam ragam baku bahasa Indonesia tidak dibenarkan.
            Ragam baku bahasa Indonesia digunakan dalam situasi resmi. Dalam situasi resmi orang cenderung menggunakan bahasa secara lengkap, sedangkan dalam situasi tidak resmi atau santai orang cenderung menggunakan bahasa secara tidak lengkap. Ketidaklengkapan itu, misalnya, karena adanya penghilangan unsur-unsur tertentu. Salah satu unsur yang sering dihilangkan adalah afiks. Afiks yang sering dihilangkan adalah ber- dan meN- seperti terlihat pada contoh berikut ini.
(22)     Dalam makalah ini saya akan bicara tentang ragam baku bahasa Indonesia.
(23)      Pagi ini pemerintah berangkatkan lima puluh KK ke lokasi transmigrasi.

            Pada contoh (22) terdapat penghilangan ber- pada kata bicara, sedangkan pada contoh (23) terdapat penghilangan afiks ­meN- pada kata berangkatkan. Kedua contoh itu hanya boleh digunakan pada situasi tidak resmi sebab dalam situasi ini kelengkapan tuturan tidak dipentingkan dan yang diutamakan ialah pemahaman. Di salam situasi resmi kedua kalimat tersebut harus diperbaiki menjadi seperti berikut.
(22a)    Dalam makalah ini akan dibicarakan ragam baku bahasa Indonesia.
(23a)   Pagi ini pemerintah memberangkatkan lima puluh KK ke lokasi transmigrasi.

            Dalam kenyataan berbahasa Indonesia pemakaian akhiran –i dan ­–kan sering dikacaukan. Perhatikan contoh yang salah berikut ini.
(24)      Kepergianku tidak membawakan hasil yang memuaskan.
(25)      Orang itu dihadiahkan uang satu juta rupiah oleh pemerintah.

            Pengacauan seperti ini terjadi karena kurang atau tidak disadari bahwa akhiran –i dan –kan itu tidak sama. Ketidaksamaan antara keduanya terletak pada makna yang dinyatakannya. Pada contoh (24) akhiran ­–kan­ sebaiknya tidak digunakan karena tidak menyatakan makna apa-apa. Yang menyatakan makna pada contoh (24) itu hanyalah awalan meN-. Kekacauan yang terjadi pada contoh (25) terletak pada kesalahan pemakaian akhiran –kan. Akhiran –kan tidak dapat menyatakan makna ‘memberi apa yang tersebut pada kata yang dilekati’. Yang dapat menyatakan makna itu ialah akhiran –i. Oleh karena itu, pemakaian akhiran –kan pada kalimat (25) tersebut tidak tepat dan harus diganti dengan akhiran –i.
            Kecuali hal-hal yang diuraikan di atas, kemubaziran sering dijumpai, yang seharusnya tidak terjadi di dalam ragam baku bahasa Indonesia. Istilah mubazir maksudnya terlampau banyak, berlebih-lebihan sehingga sia-sia saja atau tidak berguna, misalnya sebab karena, oleh sebab karena, agar supaya, adalah merupakan, lalu kemudian, beberapa kaset-kaset, dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA
Badudu, J.S. 1992. Inilah Bahasa Indonesia yang Benar III. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Moeliono, Anton M. (ed.). 1988a. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Moeliono, Anton M. 1984. Santun Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mustakim. 1992. Tanya Jawab Ejaan Bahasa Indonesia Untuk Umum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Poerwadarminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Ramlan, M. dkk. 1992. Bahasa Indonesia yang Salah Dan yang Benar. Yogyakarta: Andi Offset.
Tarigan, H.G. 1985. Pengajaran Ejaan Bahasa Indonesia. Bandung: Angkasa.





BAB III
HURUF, KATA, KALIMAT, PARAGRAF BAKU


            Ejaan pada dasarnya mencakup penulisan huruf, penulisan kata, termasuk singkatan, akronim, angka dan bilangan, serta penggunaan tanda baca. Di samping itu, pelafalan dan peraturan dalam penyerapan unsur asing juga termasuk dalam ejaan (Mustakim, 1992).
            Di dalam bab ini hanya diuraikan sedikit contoh dari penulisan huruf, kata, kalimat, dan paragraf ragam baku bahasa surat dinas. Contoh yang diperikan diambil dari huruf, kata, kalimat, dan paragraf yang sering salah dituliskan oleh para penulis dalam menulis surat dinas. Contoh ini ditunjukkan beserta pembetulannya.

3.1       Huruf
            Pengertian huruf sering dianggap sama dengan fonem, padahal keduanya berbeda. Huruf adalah lambang atau gambar bunyi (bahasa), sedangkan fonem adalah satuan bunyi bahasa terkecil yang membedakan makna.
            Pemakaian huruf kapital dan huruf miring perlu diperhatikan. Huruf kapital atau huruf besar selain sebagai huruf pertama dalam awal kalimat, juga dipakai: (1) sebagai huruf pertama petikan langsung; (2) huruf pertama dalam ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan dan kitab suci, termasuk kata ganti untuk Tuhan; (3) sebagai huruf pertama nama gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang; (4) sebagai huruf pertama unsur nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang atau yang dipakai sebagai pengganti nama orang tertentu, nama instansi, atau nama tempat; (5) sebagai huruf pertama unsur-unsur nama orang; (6) sebagai huruf pertama nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa; (7) sebagai huruf pertama nama tahun, bulan, hari raya, dan peristiwa bersejarah; (8) sebagai huruf pertama nama geografi; (9) sebagai huruf pertama semua unsur nama negara, lembaga pemerintahan dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi kecuali kata seperti dan; (10) sebagai huruf pertama setiap unsur bentuk sempurna yang terdapat pada nama badan, lembaga pemerintahan dan ketatanegaraan, serta dokumen resmi; (11) sebagai huruf pertama semua kata di dalam buku, majalah, surat kabar dan judul karangan, kecuali kata seperti di, ke, dari, dan, yang, dan untuk yang tidak terletak pada posisi awal; (12) sebagai huruf pertama unsur singkatan nama gelar, pangkat, dan sapaan; (13) sebagai huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan seperti bapak, ibu, saudara, kakak, adik, dan paman yang dipakai dalam penyapaan dan pengacuan; dan (14) sebagai huruf pertama kata ganti Anda dan Saudara.
            Penulis surat dinas sering salah menuliskan huruf kapital untuk membedakan kata penunjuk hubungan kekerabatan. Kata penunjuk hubungan kekerabatan, sesuai dengan kaidah, huruf pertamanya ditulis dengan huruf kapital jika kata itu digunakan sebagai sapaan atau pengacuan. Akan tetapi, jika tidak digunakan sebagai sapaan atau pengacuan, kata penunjuk hubungan kekerabatan itu huruf pertamanya tetap ditulis dengan huruf kecil. Perhatikan contoh di bawah ini.
(26)      “Maaf, saya terpaksa berdusta kepada Bapak kemarin,” kata dia kepada orang tuanya.
(27)      Daftar peserta itu diumumkan oleh Pak Muhadjir.
(28)      Dalam pertemuan itu Ibu Ketua juga hadir.

            Kata Bapak pada kalimat (26) ditulis dengan huruf kapital karena kata penunjuk hubungan kekerabatan itu digunakan sebagai sapaan, yaitu untuk menyapa orang kedua atau orang yang diajak bicara (lawan bicara). Pada kalimat (27) dan (28) Pak Muhadjir dan Ibu Ketua masing-masing huruf pertamanya ditulis dengan huruf kapital karena gabungan kata itu digunakan untuk menyebut atau mengacu pada orang ketiga yang dibicarakan. Akan tetapi, dalam hal ini perlu diketahui bahwa tidak semua pengacuan atau ungkapan yang mengacu pada orang ketiga harus ditulis dengan huruf kapital. Pada umumnya pengacuan yang huruf pertamanya harus ditulis dengan huruf kapital adalah pengacuan yang bentuknya berupa gabungan antara penunjuk hubungan kekerabatan dan nama orang atau nama jabatan. Misalnya, Bapak Rektor, Ibu Dekan, Dik Anna, Pak Dukuh, Kak Sitti.
            Kata penunjuk hubungan kekerabatan yang digunakan sebagai sapaan huruf pertamanya ditulis dengan huruf kapital. Akan tetapi, jika tidak digunakan sebagai sapaan, penunjuk hubungan kekerabatan itu huruf pertamanya ditulis dengan huruf kecil.
            Penulis surat dinas sering bingung menulis nama-nama geografi yang digunakan sebagai nama jenis. Huruf pertama nama geografi yang digunakan sebagai nama jenis tidak ditulis dengan huruf kapital, tetapi ditulis dengan huruf kecil biasa. Misalnya: jeruk siam, gula jawa, rambutan aceh, beras delanggu, kacang bogor, salak bali, pisang ambon, dodol garut.
            Selain pemakaian huruf besar atau huruf kapital, yang sering salah dituliskan oleh para penulis adalah huruf miring. Huruf miring dipakai (1) untuk menuliskan nama buku, majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam tulisan; (2) untuk menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, kata, atau kelompok kata; (3) untuk menuliskan nama ilmiah atau ungkapan asing kecuali yang telah disesuaikan ejaannya. Catatan bagi para penulis surat dinas bahwa dalam tulisan tangan atau ketikan, bukan cetakan, huruf atau kata yang akan dicetak miring diberi satu garis di bawahnya.
            Contoh kesalahan yang sering ditemukan adalah sebagai berikut. pemakaian huruf miring juga masih dibingungkan oleh para penulis surat dinas. Penulisan judul artikel, judul sajak, judul bab buku, dan judul karangan yang belum diterbitkan ialah diletakkan di antara tanda petik. Hal ini berbeda dengan penulisan judul buku, nama majalah, dan surat kabar, yang dalam cetakan ditulis dengan huruf miring. Di samping untuk menuliskan nama buku, majalah, dan surat kabar, huruf miring juga digunakan untuk menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, kata, atau kelompok kata.
            Kata-kata asing, yang ejaannya belum disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia atau kata asing yang belum diserap ke dalam bahasa Indonesia harus ditulis dengan huruf miring. Penulisan kata yang berupa nama ilmiah pun harus dengan huruf miring. Alasannya adalah karena ejaannya yang masing menggunakan ejaan asing sehingga nama ilmiah itu pun dengan sendirinya masih dipandang sebagai bahasa asing.
            Penulisan huruf vokal, huruf konsonan, huruf diftong, gabungan huruf konsonan, dan pemenggalan kata juga perlu diperhatikan. Adakalanya pembuat surat dinas salah menulis pemenggalan kata. Terlebih dari itu, perlu diketahui bahwa akhiran –i tidak dipenggal. Termasuk dalam hal penulisan huruf ialah penulisan nama orang, badan hukum, dan nama diri. Nama orang, badan hukum, dan nama diri yang lain disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan kecuali jika ada pertimbangan khusus.

3.2       Kata
            Kata-kata yang sering salah ditulis dalam surat dinas adalah kata-kata berimbuhan, gabungan kata, kata ulang, kata depan, partikel, pemenggalan kata, singkatan, dan akronim.
            Kata dasar, kata turunan, bentuk ulang, gabungan kata, kata ganti –ku, kau, -mu, dan –nya; kata depan di, ke, dan dari; kata si dan sang; partikel; singkatan dan akronim; serta angka dan lambang bilangan perlu juga diperhatikan. Kesalahan-kesalahan yang menyangkut itu muncul dalam aneka rupa. Semua ini sudah ada aturannya.
            Sesuai dengan kaidah dalam bahasa Indonesia, gabungan kata atau yang lazim disebut dengan kata majemuk, unsur-unsurnya ditulis terpisah. Akan tetapi, jika gabungan kata itu mendapatkan awalan dan akhiran sekaligus, unsur gabungan kata itu ditulis serangkai. Misalnya:
            tanggung jawab                                                           pertanggungjawaban
            anak tiri                                                                       penganaktirian
            atas nama                                                                    mengatasnamakan
            sama rata                                                                     menyamaratakan
            warga negara                                                               kewarganegaraan
Contoh lain, jika frasa, bukan kata majemuk, mendapatkan awalan dan akhiran sekaligus, penulisannya sama, yaitu dirangkaikan. Misalnya:
            tidak adil                                                                     ketidakadilan
            ke samping                                                                  dikesampingkan

            Jika bentuk dasar yang berupa gabungan kata itu hanya mendapatkan awalan atau akhiran, yan ditulis serangkai hanya awalan atau akhiran tersebut dengan unsur yang langsung mengikuti atau mendahuluinya. Misalnya:
            adu pandang                                                               beradu pandang
            tekuk lutut                                                                   bertekuk lutut
            serah terima                                                                 serah terimakan
            tanda tangan                                                               tanda tangani

            Sekali lagi, gabungan kata yang sekaligus mendapatkan awalan dan akhiran ditulis serangkai, tidak diantarai dengan tanda hubung. Akan tetapi, jika gabungan kata itu relatif masih baru, belum banyak digunakan orang, tanda hubung dapat digunakan di antara kedua unsurnya. Penggunaan tanda hubung ini dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan terjadinya salah tafsir. Misalnya: tumbuh-kembang------->menumbuh-kembangkan. Penggunaan tanda hubung dalam bentukan kata semacam itu sesuai dengan kaidah yang menyebutkan bahwa gabungan kata, termasuk istilah khusus, yang mungkin menimbulkan salah tafsir dapat ditulis dengan tanda hubung guna menegaskan pertalian antarunsur yang bersangkutan.
            Gabungan kata juga sering salah dituliskan. Inter-, non-, pasca-, dan unsur terikat yang lain merupakan unsur terikat yang hanya dapat berdiri jika bergabung dengan unsur lain. Sejalan dengan kaidah, gabungan kata yang salah satu unsurnya berupa unsur terikat penulisannya dirangkaikan. Misalnya: interseksi, interdisipliner, nonaktif, nonformal, pascaperang, pascapanen, asusila, amoral, adikuasa, adibusana, antarkota, antardaerah, antikomunis, antiklimaks, awahama, awabusa, audiogram, audiometer, bilingual, bilabial, biokomia, bioekologi, dehumanisasi, debirokrasi, ekstrakurikuler, ekstranuklir, inframerah, infrastruktur, intrasekolah, intrakalimat, inkonvensional, indefisit, liberalisme, mahasiswa, mahakarya, mancanegara, mancadesa, makrokosmos, makrokriminologi, mikrobus, mikrofilm, dan lain-lain. Bentuk-bentuk terikat yang lain itu adalah mono-, multi-, nara-, poli-, pra-, pramu-, pro-, purna-, re-, semi-, sub-, supra-, kontra-, swa-, tele-, trans-, tuna-, ultra-, eka-, dwi-, tri-, catur-, panca-, sapta-, dasa-, dan lain-lain.
            Dalam penulisan unsur terikat perlu dipahami bahwa unsur terikat tertentu apabila dirangkaikan dengan unsur lain yang berhuruf kapital harus diberi tanda hubung di antara kedua unsur tersebut. misalnya: non-Indonesia, pro-Iran.
            Khusus berkenaan dengan unsur terikat maha-, unsur itu ditulis terpisah jika diikuti oleh kata esa atau kata yang sudah berimbuhan. Selain itu, huruf pertama pada setiap unsurnya ditulis dengan huruf kapital. Hal ini karena kata maha digunakan berkaitan dengan sifat Tuhan. Misalnya: Maha Esa, Maha Pengasih, Maha Pemurah, Maha Pengampun, Maha Penyayang.
            Kata ulang tidak ditulis dengan angka dua. Kata atau bagian kata yang diulang ditulis kembali secara lengkap dengan menyertakan tanda hubung di antara unsur yan diulang. Kata ulang yang mengalami perubahan fonem pun unsur yang diulang ditulis kembali secara lengkap dengan disertai tanda hubung di antara keduanya. Gabungan kata atau kata majemuk jika akan diulang, tidak perlu seluruh unsurnya harus ditulis ulang—kita akan menghadapi masalah yang cukup rumit, terutama apabila kita ingin mengulang gabungan kata yang bentuknya cukup panjang, seperti kereta api cepat luar biasa.
            Penulisan di sebagai kata depan dan di- sebagai awalan sampai saat ini sering dikacaukan orang. Hal ini tidak perlu terjadi jika para pemakai bahasa telah memahami perbedaan keduanya. Kata depan di, ke, dari, pada ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya. Misalnya: di Yogyakarta, di kamar, di pelukan bunda. Adapun, di- yang merupakan awalan ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya. Misalnya: diperiksa, dikumpulkan, ditulis.
            Dalam penulisan suatu judul buku atau karangan lain, kata depan di, ke, dari, pada huruf pertamanya tidak ditulis dengan huruf kapital, kecuali yang terletak pada awal judul. Perhatikan contoh di bawah ini.
(29)      Anak Perawan di Sarang Penyamun
(30)      Pada Sebuah Kapal
(31)      Di Bawah Lindungan Ka’bah

            Bentuk pun ada yang ditulis secara terpisah dan ada juga yang diserangkaikan. Bentuk pun yang ditulis terpisah dari unsur yang mendahuluinya adalah pun yang berpadanan kata dengan kata juga dan saja, sedangkan pun yang ditulis serangkai adalah yang telah membentuk satu kesatuan yang padu dengan unsur yang mendahuluinya. Bentuk pun yang sudah dianggap terpadu dan harus ditulis serangkai dapat diperhatikan pada contoh berikut: adapun, andaipun, ataupun, bagaimanapun, biarpun, kalaupun, kendatipun, meskipun, sekalipun, sungguhpun. Perhatikan contoh-contoh berikut ini.
(32)      Penelitian yang sudah ada pun perlu disempurnakan.
(33)      Datang dan duduk pun tidak cukup.
(34)      Sekalipun berat, penelitian harus dilaksanakan.

            Seperti halnya bentuk pun, bentuk per juga dapat ditulis serangkai dan dapat pula ditulis terpisah. Dalam hal ini, pemakaian bentuk per dapat ditinjau dari dua segi yang berbeda. Pertama, jika menyatakan bilangan pecahan atau sebagai awalan (bagian dari gabungan imbuhan), bentuk per ditulis serangkai dengan unsur yang mengikutinya. Kedua, jika menyatakan makna ‘mulai’, ‘demi’, atau ‘tiap’, per ditulis terpisah dari unsur yang menyertainya. Perhatikan contoh di bawah ini.
(35)      Tiga perempat bagian diberikan per orang.

            Perihal pemenggalan kata juga sering salah dituliskan. Kegunaan pemenggalan kata berkaitan dengan pemakaian bahasa di dalam ragam tulis. Dalam ragam tulis ini pemenggalan kata terutama diperlukan untuk memisahkan bagian-bagian kata dalam pergantian baris. Suatu kata yang terletak pada ujung baris apabila tidak cukup ditulis pada ujung baris itu tentu saja perlu dipenggal. Dalam pemenggalan itu antara bagian yang satu dan bagian yang lain dihubungkan dengan tanda hubung dan tidak didahului dengan spasi. Jadi, tanda hubung itu ditulis merapat dengan bagian kata yang mendahuluinya.
            Catatan bagi pemakai komputer, mesin pintar ini kadang membuat pemenggalan secara otomatis, yang kadang-kadang benar dan kadang-kadang juga salah. Untuk pemenggalan yang salah, penulis dapat memperbaikinya dengan meletakkan tanda hubung pada posisi yang dikehendaki. Dengan cara ini, komputer akan memenggal sesuai dengan kehendak penulis. Apabila cara ini pun tidak berhasil karena bagian kata sesudah tanda hubung tidak mau turun ke baris berikutnya, penulis dapat menambahkan spasi sesudah tanda hubung.
            Pada pergantian baris, tanda hubung ditulis di ujung baris, persis setelah bagian kata yang dipenggal. Tanda hubung itu tidak diletakkan di bawah ujung baris. Bagian kata, baik yang berupa suku kata maupun imbuhan, yang hanya terdiri atas satu huruf hendaknya tidak dipenggal. Hal ini dimaksudkan agar tidak terdapat satu huruf pada ujung baris atau pada pangkal baris. Apabila pada pergantian baris kata ulang akan dipenggal, sebaiknya pemenggalannya dilakukan di antara unsur-unsur yang diulang.
            Nama orang yang hanya terdiri atas satu unsur, misalnya Mustafa, sebaiknya nama itu tidak dipenggal. Apabila nama yang hanya terdiri atas satu unsur itu tidak cukup ditulis pada ujung baris, lebih baik nama itu dipindahkan pada pangkal baris. Jika pemindahan itu mengakibatkan margin kanan tidak rapi, dari segi bahasa hal itu tidak menjadi masalah. Kita lebih baik mengikuti kaidah dengan sedikit mengorbankan kerapian dan keindahan margin kanan daripada mengejar keindahan dengan mengorbankan kaidah. Jika lebih cenderung memilih alternatif  yang pertama, tentulah kita termasuk pemakai bahasa yang memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia.

BENTUK YANG SALAH
BENTUK YANG BENAR

(36)    Dengan demikian penelitian ini melalui tiga tahap.
(37)    Setelah pengambilan data penelitian a kan dilanjutkan dengan analisis data.
(38)    Observasi dan analisis data penelitianharus dilakukan dengan secermatnya.
(39)    Penelitian yang dipimpin Sutarmanto itu belum selesai.


(36a)    Dengan demikian, penelitian ini  melalui tiga tahap.
(37a)    Setelah pengambilan data, penelitian akan dilanjutkan dengan analisis data.
(38a)    Observasi dan analisis data penelitian harus dilakukan dengan secermat-cermatnya.
(39a)    Penelitian yang dipimpin oleh Sutarmanto itu belum selesai.


            Masih dalam hal penulisan kata, penulis surat dinas sering salah menuliskan singkatan dan akronim. Istilah singkatan berbeda dengan akronim. Singkatan adalah kependekan yang berupa huruf atau gabungan huruf, baik dilafalkan huruf demi huruf maupun dilafalkan dengan mengikuti bentuk lengkapnya. Akronim adalah kependekan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, atau gabungan huruf awal dan suku kata yang ditulis dan dilafalkan seperti halnya kata biasa. Perihal penulisan singkatan dan akronim, pedoman EYD layak diacu.
            Selain itu, angka dan lambang bilangan juga perlu diperhatikan karena masih sering dijumpai salah penulisannya. Tanda baca pun harus diperhatikan oleh penulis surat dinas. Untuk semua ini sudah ada pedoman yang dapat digunakan, yaitu Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan. Perihal unsur serapan, Pedoman Umum Pembentukan Istilah juga sudah mengaturnya. Penerapan kedua pedoman itu dan penggunaan kamus secara memadai menjadikan bahasa surat dinas kita baku. Akan tetapi, tidak cukup hanya itu,, perlu diingat bahwa kalimat pun harus disusun secara lengkap dan baku.
            Masih dalam hal kata, penulisan unsur serapan penting diperhatikan. Penulis selalu dihadapkan pada pilihan, apakah memilih kata Indonesia atau kata asing. Seperti diketahui bahwa dalam perkembangannya, bahasa Indonesia menyerap unsur dari pelbagai bahasa lain, baik dari bahasa daerah maupun dari bahasa asing seperti Sanskerta, Arab, Portugis, Belanda, dan Inggris.
            Berdasarkan taraf integrasinya, unsur pinjaman dalam bahasa Indonesia dapat dibagi atas dua golongan besar. Pertama, unsur pinjaman yang belum sepenuhnya terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti reshuffle, shuttle cock, l’exploitation de l’homme. Unsur-unsur ini dipakai dalam konteks bahasa Indonesia, tetapi pengucapannya masih mengikuti cara asing. Kedua, unsur pinjaman yang pengucapan dan penulisannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia. Dalam hal ini diusahakan agar ejaannya hanya diubah seperlunya sehingga bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan dengan bentuk aslinya. Misalnya: oksigen, rekonsiliasi, humanisme, reduplikasi.
            Kaidah ejaan yang berlaku bagi unsur serapan itu dapat dilihat pada pedoman penulisan unsur serapan.
            Yang juga perlu diperhatikan oleh penulis surat dinas adalah pemakaian tanda baca. Seringkali ditemukan kesalahan pemakaian tanda baca karena tidak diketahuinya aturan tentang hal itu. Tanda titik, tanda koma, tanda titik koma, tanda titik dua, tanda hubung, tanda pisah, tanda elipsis, tanda tanya, tanda seru, tanda kurung, tanda kurung siku, tanda petik, tanda petik tunggal, tanda garis miring, dan tanda penyingkat atau apostrof mempunyai aturan pemakaiannya.

3.3       Kalimat dan Paragraf
            Sering dijumpai kalimat surat dinas itu tidak efektif. Kalimat yang efektif harus tersusun sesuai dengan kaidah yang berlaku. Dari segi kaidah tata bahasa, sekurang-kurangnya kalimat itu harus memiliki unsur subjek dan predikat. Kalimat yang tidak bersubjek umumnya terjadi karena penggunaan kata depan pada awal kalimat. Contohnya adalah sebagai berikut.
(40)     Dari hasil penelitian di lapangan membuktikan bahwa angka mortalitas tinggi.

            Kata depan dari yang terletak pada awal kalimat itu dapat menghilangkan gagasan yang ingin disampaikan karena dengan adanya kata depan itu subjek kalimatnya menjadi kabur. Pada kalimat (40) tersebut subjeknya, sebenarnya, adalah hasil penelitian, yang didahului kata depan dari. Adanya kata depan yang mendahului subjek itu menyebabkan kalimat tersebut tidak memberikan informasi yang jelas. Oleh karena itu, agar informasinya jelas dan kalimatnya pun menjadi efektif, kata depan itu harus dihilangkan. Kaimat (40) itu seharusnya ditulis seperti berikut.
(40a)   Hasil penelitian di lapangan membuktikan bahwa angka mortalitas tinggi.

            Perbaikan dengan cara lain dapat juga dilakukan, yaitu dengan tetap mempertahankan kata dari, tetapi kata kerja membuktikan yang menjadi predikatnya harus diubah menjadi pasif seperti berikut.
(40b)   Dari hasil penelitian di lapangan terbukti bahwa angka mortalitas tinggi.
           
Kata dari pada kalimat (40b) itu tidak mendahului subjek, tetapi merupakan bagian dari keterangan karena subjeknya bukan lagi hasil penelitian, melainkan bahwa angka mortalitas tinggi.
            Sering dijumpai kalimat tidak berpredikat. Kalimat yang tidak berpredikat juga bukan merupakan kalimat efektif karena unsur-unsurnya menjadi tidak lengkap. Perhatikan contoh berikut ini.
(41)      Salah satu ciri logam yaitu akan memuai jika dipanaskan.


            Kata yaitu berfungsi untuk menjelaskan hubungan antara unsur sebelum dan sesudah kata itu. Keduanya tidak bersifat predikatif sehingga unsur yang terletak di belakangnya tidak dapat disebut sebagai predikat. Agar unsur di belakang kata itu menjadi predikat, yaitu harus digantikan dengan kata lain yang bersifat predikatif, misalnya ialah atau adalah. Perbaikan kalimat (40) menjadi seperti berikut.
(41a)    Salah satu ciri logam ialah akan memuai jika dipanaskan.

            Seringkali pula ditemukan adanya bagian kalimat majemuk yang ditulis terpisah dari bagian sebelumnya. Kalimat berikutnya biasanya diawali dengan kata agar, karena, atau sehingga. Kalimat seperti ini bukan kalimat efekif. Kata-kata itu merupakan penghubung intrakalimat atau penghubung yang berfungsi untuk menghubungkan bagian-bagian di dalam sebuah kalimat, bukan menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain. Sebagai bagian kalimat, unsur yang diawali kata penghubung itu tidak dapat berdiri sendiri sebagai kalimat. Sebaliknya, unsur yang disebut anak kalimat itu selalu tergabung dengan bagian kalimat yang lain, yang merupakan induk kalimatnya. Oleh karena itu, bagian kalimat tersebut harus ditulis serangkai dengan bagian kalimat yang lain.
            Jika bagian kalimat yang mengikuti kata penghubung itu ingin lebih ditonjolkan, bagian kalimat itu dapat saja ditempatkan pada awal kalimat. Bagian kalimat yang semula terletak di depan digeser ke belakang. Perhatikan contoh berikut ini.
(42)      Penelitian ini belum dapat dilaksanakan. Karena dana yang diusulkan belum turun.

            Kalimat (42) tersebut tidak efektif. Agar menjadi kalimat efektif, kalimat tersebut harus diubah menjadi seperti berikut.
(42a)    Penelitian ini belum dapat dilaksanakan karena dana yang diusulkan belum turun.
(42b)   Karena dana yang diusulkan belum turun, penelitian ini belum dapat dilaksanakan.

Kalimat tidak efektif juga terjadi karena tidak tersusun secara sejajar. Perhatikan contoh berikut ini.
(43)      Usulan penelitian ini sudah lama diajukan, tetapi kepala proyek belum menyetujuinya.

            Kalimat ini akan menjadi efektif bila unsur-unsurnya disejajarkan.
(43a)    Usulan penelitian ini sudah lama diajukan, tetapi belum disetujui oleh kepala proyek.
(43b)   Kami sudah lama mengajukan usulan penelitian ini, tetapi kepala proyek belum menyetujuinya.

Masalah yang sering dihadapi dalam penyusunan kalimat, terutama yang menyangkut penataan gagasan adalah masalah penalaran (Mustakim, 1994). Perhatikan contoh berikut ini.
(44)      Dewan Keamanan PBB mengecam keras atas terjadinya pembunuhan 21 warga Palestina yang tewas dan 200 lainnya yang luka-luka.

            Dalam memahami makna kalimat seperti itu pembaca dituntut untuk berpikir keras, bagaimana menghubungkan pembunuhan dengan warga yang tewas dan tang luka-luka. Dari segi penalaran, tampaknya tidak mungkin suatu pembunuhan itu dilakukan terhadap orang yang sudah tewas. Jika pembunuhan itu dilakukan terhadap orang yang luka-luka, hal itu masih mungkin meskipun sebenarnya tidak lazim dan, bahkan, tidak manusiawi. Kesalahan semacam ini mungkin tidak disadari oleh penulis. Kalimat di atas dapat diperbaiki menjadi seperti berikut.
(44a)    Dewan Keamanan PBB mengecam keras atas peristiwa yang menyebabkan 21 warga Palestina tewas dan 200 luka-luka.

            Beberapa gagasan yang bertumpuk dalam satu pernyataan dapat mengaburkan kejelasan informasi yang diungkapkan sehingga pembaca akan sulit memahaminya. Kalimat yang sarat informasi seperti ini sebaiknya dipecah ke dalam sejumlah kalimat. Perhatikan contoh berikut ini.
(45)      Peraturan Daerah untuk menata kawasan pemukiman penduduk sedang disusun pemerintah daerah setempat, menyangkut detail tata ruang kawasan itu sebagai tindak lanjut Keppres 48/1984 tentang penanganan khusus pemukiman di wilayah Surabaya.
(45a)    Peraturan Daerah untuk menata kawasan pemukiman penduduk sedang disusun pemerintah daerah setempat. Peraturan ini menyangkut detail tata ruang kawasan tersebut. Hal itu merupakan tindak lanjut Keppres 48/1984 tentang penanganan khusus pemukiman di wilayah Surabaya.

            Sering para penulis surat dinas menyusun kalimat majemuk yang kedua bagiannya merupakan anak kalimat dan tidak mempunyai induk kalimat. Perhatikan contoh berikut ini.
(46)      Meskipun peneliti ini belum terkenal, tetapi hasil penelitiannya banyak.

            Kalimat (46) disebut sebagai kalimat majemuk yang tidak berinduk kalimat karena kedua unsurnya masing-masing didahului dengan kata penghubung, yaitu meskipun dan tetapi. Kata penghubung seperti itu lazimnya menandai anak kalimat. Jika kedua unsurnya didahului kata penghubung, berarti setiap unsurnya itu berupa anak kalimat. Kalimat itu terjadi karena dua gagasan dipadukan menjadi satu. Ubahan kalimat itu dapat ditempuh sebagai berikut.
(46a)    Meskipun peneliti itu belum terkenal, hasil penelitiannya sudah banyak.
(46a)    Peneliti itu belum terkenal, tetapi hasil penelitiannya sudah banyak.

            Kata penghubung lain yang sebaiknya tidak digunakan secara bersama-sama—karena dapat menimbulkan kerancuan—adalah meskipun ... namun; walaupun ... tetapi; walaupun ... namun; jika ... maka; dan karena ... maka.
            Kalimat efektif antara lain dicirikan dari kehematannya. Kehematan itu dapat diperoleh dengan menghilangkan bagian-bagian tertentu yang mubazir. Hal itu, antara lain, berupa penghilangan subjek ganda, bentuk yang bersinonim, dan bentuk jamak ganda. Perhatikan contoh berikut ini.
(47)      Sebelum laporan penelitian ini dikumpulkan, laporan penelitian ini harus direvisi terlebih dahulu.
(47a)    Sebelum dikumpulkan, laporan penelitian ini harus direvisi terlebih dahulu.
(48)      PPK UGM adalah merupakan salah satu ....
(49)      PPK UGM merupakan salah satu ....
(50)      PPK UGM adalah salah satu ....

Dua kata atau lebih yang mendukung fungsi yang sama menyebabkan kalimat tidak efektif, misalnya adalah merupakan, seperti misalnya, agar supaya, dan demi untuk.
Dalam bahasa Indonesia dewasa ini, ada kecenderungan orang untuk selalu mengulang kata benda bila ingin menyatakan jamak. Selain itu, sebenarnya masih ada cara lain untuk menyatakan jamak tersebut, yaitu dengan menggunakan kata semua, banyak, beberapa, atau segala. Penulis surat dinas dapat menggunakan kedua cara itu secara bergantian sehingga bahasanya akan lebih kaya. Misalnya, kata anak dapat dijamakkan menjadi anak-anak atau banyak anak. Sering juga orang mengulang kata benda untuk menyatakan pengertian jamak, padahal pengulangan itu sebenarnya tidak perlu karena kata itu mengandung arti umum sehingga mencakup semua. Perhatikan contoh berikut ini.
(49)      Orang yang melanggar UU akan dihukum.

            Kata orang dalam kalimat itu tidak perlu ditulis orang-orang karena yang dimaksud adalah semua orang atau siapa saja.
            Demikian juga halnya, kata yang bermakna jamak, seperti semua, segala, seluruh, beberapa, dan segenap, dapat menimbulkan ketidakefektifan kalimat jika digunakan secara bersama-sama dengan bentuk ulang yang juga bermakna jamak. Kalimat (50) berikut ini adalah contoh yang kurang tepat yang dapat diperbaiki menjadi kalimat (50a) dan (50b).
(50)      Semua data-data itu dapat diklasifikasikan dengan baik.
(50a)    Semua data itu dapat diklasifikasikan dengan baik.
(50b)   Data-data itu dapat diklasifikasikan dengan baik.

            Dalam bahasa surat dinas, ungkapan idiomatik tidak boleh diabaikan. Ungkapan idiomatik yang unsur-unsurnya tidak boleh ditanggalkan, di antaranya adalah sesuai dengan, bergantung pada, terbuat dari, terdiri atas, berkenaan dengan, sejalan dengan, berkaitan dengan, sehubungan dengan.
            Kalimat efektif juga mengutamakan variasi gaya kalimatnya, yang dapat dicapai dengan menggunakan bentuk inversi, bentuk pasif persona, variasi aktif-pasif, dan variasi panjang pendek. Akan tetapi, bab ini belum memuat contoh-contohnya secara detail.
            Kalimat efektif berunsur padat, ada pilihan kata (diksi) yang perlu diperhatikan. Perhatikan contoh berikut ini.
(51)                  Terjangkitnya penyakit kelamin itu tentunya berkaitan dengan persepsi dan perilaku mereka terhadap penyakit menular yang diakibatkan melakukan           hubungan seks.
(51a)   Terjangkitnya penyakit kelamin itu berkaitan dengan persepsi dan perilaku mereka terhadap penyakit menular akibat seksual.

Kalimat (51a) lebih padat daripada kalimat (51) karena dihilangkannya kata tentunya yang mencirikan ragam lisan. Dalam bahasa tulis ragam resmi seperti halnya bahasa surat dinas, sedapat mungkin ciri ragam lisan dihindari. Kalimat (51a) juga lebih padat karena ada pilihan kata lain yang dimaksudkan untuk menggantikan frasa atau kelompok kata yang diakibatkan melakukan. Hal-hal seperti ini selayaknya diperhatikan oleh penulis surat dinas agar bahasanya padat dan efektif.
            Unsur predikatif sering dilupakan oleh penulis surat dinas. Perhatikan contoh berikut ini.
(52)      Surakarta juga sebagai kota transit antara Surabaya dan Jakarta.
(52a)    Surakarta merupakan kota transit antara Surabaya dan Jakarta.
           
Tiadanya kata merupakan sebagai unsur predikatif menjadikan kalimat (52) rancu.
            Kalimat efektif, pada gilirannya, akan menghasilkan paragraf yang efektif pula. Paragraf yang efektif adalah paragraf yang mengandung kesatuan (kohesi) dan kepaduan (koherensi).
            Paragraf yang berkesatuan adalah paragraf yang mengandung satu gagasan utama, yang diikuti oleh beberapa gagasan pengembang atau penjelas. Oleh karena itu, rangkaian kaimatnya hanya mempersoalkan satu gagasan utama.
            Paragraf yang berkepaduan adalah paragraf yang memperlihatkan kepaduan hubungan antarkalimatnya. Hal ini dapat diketahui dari susunan kalimat yang sistematis, logis, dan mudah dipahami. Kepaduan itu dapat dicapai jika jalinan kalimat-kalimatnya terangkai secara apik, misalnya dengan menggunakan sarana pengait kalimat dalam paragraf yang berupa penggantian, pengulangan, penghubung antarkalimat, dan gabungan dari ketiganya.
            Banyak hal lain belum diuraikan dalam bab ini. Selain perihal huruf dan ejaan, kata dan frasa, serta kalimat dan paragraf, masalah penulisan kutipan dan kepustakaan untuk publikasi juga perlu diperhatikan, yang dapat dilihat dalam bab berikutnya. Bila semua ini ditulis dengan benar, laporan Anda akan tampil layak.
            Lebih dari itu, yang paling awal diperlukan adalah sikap positif berbahasa Indonesia baku. Dengan sikap demikian, kesalahan berbahasa tidak dianggap sebagai kesalahan berat yang sulit diperbaiki. Berbahasa Indonesia baku itu mudah karena sudah ada pedomannya.
DAFTAR PUSTAKA
Mustakim. 1992. Tanya Jawab Ejaan Bahasa Indonesia Untuk Umum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
________. 1994. Membina Kemahiran Berbahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.



































BAB IV
Bahasa Baku Surat Dinas


            Fungsi bahasa itu bermacam-macam. Yang dimaksud dengan fungsi bahasa adalah nilai pemakaian bahasa yang dirumuskan sebagai tugas pemakaian bahasa itu di dalam kedudukan yang diberikan kepadanya. Yang dimaksud dengan kedudukan bahasa adalah status relatif bahasa sebagai sistem lambang nilai budaya, yang dirumuskan atas dasar nilai sosial yang dihubungkan dengan bahasa yang bersangkutan (Halim, 1984).
            Dilihat dari kedudukannya, bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat pemersatu berbagai suku bangsa yang berbeda-beda latar belakang sosial, budaya, dan bahasanya, (4) alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya. Di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan, (3) alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional serta kepentingan pemerintahan, dan (4) alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
            Dengan melihat berbagai fungsi bahasa Indonesia di atas, baik sebagai bahasa nasional maupun sebagai bahasa negara, fungsinya sebagai bahasa negara gayut dengan perihal bahasa surat dinas. Pengertian bahasa surat dinas dalam tulisan ini adalah bahasa yang fungsinya sebagai alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional serta kepentingan pemerintahan. Ragamnya pun adalah ragam formal, ragam resmi, ragam baku, atau ragam ilmu.
            Bahasa baku adalah bahasa yang tidak menyimpang dari kaidah-kaidah ejaan, peristilahan, dan tata bahasa. Ada keseragaman pemakaian dalam hal ketiga-tiganya. Bahasa baku mempunyai nilai komunikatif yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan bahasa yang tidak baku karena bahasa baku sudah mempunyai aturan-aturan tertentu, pola dan kaidah atau norma ejaan, istilah, dan tata bahasa pasti dan tertentu pula. Pada umumnya, yang layak dianggap baku adalah ujaran dan tulisan yang dipakai oleh golongan masyarakat yang paling luas pengaruh dan wibawanya.
            Bahasa baku merupakan ragam orang berpendidikan, yang dijadikan tolak ukur bandingan bagi pemakaian bahasa yang benar. Bahasa baku mempunyai kemantapan dinamis yang berupa kaidah dan aturan yang tetap. Kemantapan itu tidak kaku sehingga memungkinkan perubahan yang bersistem, teratur, dan mengizinkan perkembangan berjenis ragam yang diperlukan di dalam kehidupan modern. Bahasa baku mempunyai sifat kecendikiawanan yang menonjol. Proses pembakuan sampai taraf tertentu berarti proses penyeragaman kaidah, bukan penyamaan ragam bahasa atau penyeragaman variasi bahasa.
            Di samping pengertian ragam baku bahasa Indonesia, dikenal luas pengertian bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah penggunaan bahasa Indonesia yang sesuai dengan fungsi dan situasinya. Bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah bahasa Indonesia yang penggunaannya sesuai dengan situasi pemakaiannya dan sekaligus sesuai pula dengan kaidah yang berlaku (Mustakim, 1994). Bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah bahasa Indonesia yang baik sesuai dengan situasinya dan benar menurut kaidahnya.
            Dalam hal kepentingan pemakaian bahasa surat dinas yang baku, ada sumber-sumber aturan yang dipakai sebagai acuan. Pertama adalah Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD). Selain diterbitkan lepas sebagai pedoman, pedoman EYD ini juga terlampir di Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi pertama dan kedua. Pada edisi ketiga pedoman itu tidak lagi dilampirkan. Agar surat dinas yang kita tulis itu baku dengan bahasa yang baik dan benar, terlebih dahulu harus dipahami aturan main yang berlaku dalam ragam baku bahasa Indonesia.
            Ejaan bahasa Indonesia yang berlaku saat ini ialah Ejaan yang Disempurnakan, yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 03/A.I/72, tanggal 20 Mei 1972, dan diresmikan penggunaannya dengan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 52, tanggal 17 Agustus 1972. Meskipun telah diresmikan penggunaannya tahun 1972, sampai sekarang masih banyak di antara orang Indonesia yang belum dapat atau belum fasih menerapkan kaidah Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan itu dalam tulis menulis. Mungkin salah satu sebabnya adalah kurang tersebar-luasnya buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, yang disusun oleh Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
            Di dalam buku pedoman itu termuat hal-hal sebagai berikut. (1) Pemakaian huruf, yang meliputi huruf abjad, huruf vokal, huruf konsonan, huruf diftong, gabungan huruf konsonan, dan pemenggalan kata. (2) Pemakaian huruf kapital dan huruf miring meliputi huruf kapital atau huruf besar dan huruf miring. (3) Penulisan kata meliputi kata dasar, kata turunan, bentuk ulang, gabungan kata, kata ganti, kata depan, kata si dan sang, partikel, singkatan dan akronim, serta angka dan bilangan. (4) Penulisan unsur serapan. (5) Pemakaian tanda baca meliputi tanda titik, tanda koma, tanda titik koma, tanda titik dua, tanda hubung, tanda pisah, tanda elipsis, tanda tanya, tanda seru, tanda kurung, tanda kurung siku, tanda petik, tanda petik tunggal, tanda garis miring, dan tanda penyingkat atau apostrof.            Kedua, pedoman lain yang juga diperlukan adalah Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Agar tidak terjadi kesimpangsiuran dan salah pengertian di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, diperlukan pedoman pembentukan istilah. Pedoman pembentukan istilah yang berlaku saat ini adalah Pedoman Umum Pembentukan Istilah, yang diterapkan dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 0389/U/1988, tanggal 11 Agustus 1988. Sampai sekarang pedoman ini belum banyak diketahui orang Hal-hal yang dimuat adalah sebagai berikut. (1) Beberapa konsep dasar meliputi definisi istilah, tata istilah dan tata nama, istilah khusus dan istilah umum. (2) Sumber istilah meliputi kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa serumpun, kosakata bahasa asing (penerjemahan istilah asing, penyerapan istilah asing, penyerapan dan penerjemahan sekaligus, macam dan sumber bentuk serapan, istilah asing yang bersifat internasional, dan bagan prosedur pembentukan istilah). (3) Aspek tata bahasa dalam peristilahan meliputi penggunaan kata dasar, proses pengimbuhan, proses pengulangan, dan proses penggabungan. (4) Aspek semantik peristilahan meliputi perangkat istilah yang bersistem, sinonim dan kesinoniman, homonim dan kehomoniman, hiponim dan kehiponiman, kepoliseman. (5) Istilah singkatan dan lambang meliputi istilah singkatan, istilah akronim, huruf lambang, gambar lambang, satuan dasar sistem internasional, kelipatan dan fraksi satuan dasar, sistem bilangan besar, dan tanda desimal. (6) Ejaan dalam peristilahan meliputi ejaan fonemik, ejaan etimologi, transliterasi, ejaan nama diri, penyesuaian ejaan, penyesuaian huruf gugus konsonan asing, dan penyesuaian imbuhan asing (penyesuaian akhiran dan penyesuaian awalan).
            Ketiga, Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang sampai sekarang sudah terbit edisi ketiga, 1381 halaman, sudah seharusnya menjadi pedoman utama juga dalam tulis-menulis surat dinas berbahasa baku. Kamus ini merupakan khazanah perbendaharaan kata bahasa Indonesia yang menggambarkan tingkat peradaban bangsa Indonesia. Dalam edisi ketiga (2003) ini ada kosakata dan istilah baru, baik yang berupa kata dasar maupun kata turunan, yang jauh lebih banyak daripada edisi pertama (1991) dan kedua (1991). Adakalanya kata dan istilah yang telah ada pun maknanya mengalami perubahan.
                Keempat, buku tata bahasa berjudul Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia sudah selayaknya diacu jika kita kesulitan menerapkan kaidah tata bahasa. Demikian juga buku-buku lain yang merupakan sumber kebakuan tata ejaan, istilah, dan tata bahasa bahasa Indonesia menjadi sumber kebakuan kita berbahasa formal.         
                Dalam tulisan ini, bahasa surat dinas ditekankan dengan lebih banyak memperlihatkan contoh kesalahan disertai pembakuannya. Sekiranya ada uraian, uraian yang teoretik merupakan pengantar saja. Tulisan ini lebih menekankan praktik berbahasa surat dinas. Sehubungan dengan hal ini, terima kasih diucapkan kepada sumber-sumber yang telah menyediakan salinan sejumlah surat dinas sehingga contoh-contoh kesalahan dapat ditampilkan lebih akurat. Pembakuannya pun diharapkan lebih efektif terpahami sehingga kesalahan serupa tidak terulang lagi.
               
4.1          SURAT DINAS
                Pada   1995   telah   diluncurkan  Keputusan   Menteri   Pendidikan   dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 091/U/1995 tentang Pedoman Tata Persuratan dan Kearsipan di Lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sampai tulisan ini diturunkan, belum ada pedoman lain sebagai pengganti dan atau penyempurna pedoman tata persuratan dan kearsipan itu.
            Selain itu, ada pula Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 427/Dikti/Kep/1998 tentang Kode dan Penandatanganan Surat Dinas di Lingkungan Perguruan Tinggi Negeri dan Koordinator Perguruan Tinggi Swasta.
            Sekiranya dua hal itu sudah diketahui dan dilaksanakan, sudah semestinyalah kesimpangsiuran tata persuratan dan kearsipan di perguruan tinggi, khususnya UGM, tidak terjadi. Demikian juga halnya, ketidakbakuan bahasa surat tidak lagi ada jika setiap pengonsep dan pembuat surat dinas menerapkan aturan-aturan itu serta cermat dalam menerapkan kaidah tata ejaan, tata istilah, dan tata bahasa yang baku dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, realitas menunjukkan bahwa bahasa surat dinas di UGM khususnya dan di mana pun umumnya masih saja memperlihatkan ketidakbakuan. Berikut ini adalah hal-hal kebakuan dalam bahasa surat dinas yang mengacu pada dua keputusan di atas dan sumber-sumber lain perihal kebakuan bahasa Indonesia.
            Surat adalah suatu sarana komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan informasi tertulis oleh satu pihak kepada pihak lain. Ada berjenis-jenis surat. Jenis-jenis surat itu, antara lain, adalah surat dinas, nota dinas, memo, surat pengantar, surat kawat, surat keputusan, surat edaran, surat undangan, surat tugas, surat kuasa, surat pengumuman, surat pemyataan, surat keterangan, dan berita acara. Sekali lagi, materi ini hanya terbatas pada bahasa surat dinas, bukan pada model jenis-jenis surat.
            Surat dinas merupakan surat yang berisi hal penting berkenaan dengan administrasi pemerintahan dan pembangunan yang dibuat oleh lembaga pemerintahan. Surat dinas terdiri dari bagian-bagian (a) kepala surat dinas, (b) pembuka surat dinas, (c) isi surat dinas, dan (d) penutup surat dinas.
            Kepala surat dinas. Pada kepala surat dinas dicantumkan lambang Departemen Pendidikan Nasional, nama Departemen Pendidikan Nasional, unit organisasi atau unit pelaksana teknis dan unit organisasi pembinanya, alamat serta garis penutup. Perhatikan penulisan kepala surat dinas. Sering salah penulisan kata telepon pada alamat kepala surat. Jika harus disingkat, kata itu menjadi telp. Kata fax sudah diindonesiakan menjadi faks. Masih saja ada banyak surat dinas yang tidak berkepala surat. Alamat ditulis lengkap pada baris akhir tanpa singkatan disertai nama jalan, nomor, kecamatan, kabupaten/kotamadya, provinsi, kode pos, telepon, teleks, dan faksimile sesuai dengan keadaan. Jika mungkin ada alamat e-mail. Kepala surat dinas ditutup dengan menggunakan garis tebal.
            Pembuka surat dinas. Pembuka surat dinas terdiri dari nomor surat, lampiran surat, hal surat, penanggalan surat, dan alamat tujuan surat. Nomor surat dinas berisikan nomor urut, kode surat, dan tahun pembuatan surat. Kata nomor diketik 15 ketukan dari pias kiri kertas dan berjarak 3 kait dari garis bawah kepala surat dinas. Masih saja ada yang menuliskan kata nomer, kata ini tidak baku. Jika disingkat, kata nomor menjadi No. Kata lampiran diketik berjarak 1,5 kait di bawah dan sepias dengan kata nomor dengan menyebutkan jumlah lampiran. Penulisan jumlah dalam angka di lampiran tidak diperjelas dengan kata dalam tanda kurung. Perhatikan, jika surat dinas itu tidak memuat lampiran, kata lampiran tidaki diketik karena tidak ada yang dilampirkan. Singkatan kata lampiran adalah Lamp. Kata Hal diketik berjarak 1,5 kait di bawah dan sepias V dengan kata lampiran, dan apabila tidak ada yang dilampirkan, kata hal diketik 1,5 kait di bawah dan sepias dengan kata nomor. Hal berisikan inti keseluruhan isi surat dinas. Penanggalan surat dinas diketik pada sebelah kanan dimulai pada pias tengah, sebaris dengan nomor surat dan tidak melebihi 10 ketukan dari pias kanan. Penanggalan surat dinas tidak disertai nama tempat pembuatannya. Ada juga yang menuliskannya dengan model cap-penanggalan surat. Alasannya adalah karena surat dinas itu sudah dikonsep dan atau dibuat pada hari sebelumnya, juga karena alasan belum tahu pasti kapan tanggal surat itu harus dikirimkan, cap-penanggalan surat diberlakukan. Penulisan alamat didahului kata Yth., diikuti dengan nama jabatan atau nama orang yang dituju dan alamat lengkap. Kata Yth. diketik berjarak 3 kait di bawah dan sepias dengan kata hal. Nama tempat pada alamat yang dituju tidak didahului kata depan di. Perhatikan, tidak ditulis kata Kepada Yth. pada penulisan alamat. Kata kepada terletak di sampul surat.
            Isi surat dinas. Isi surat dinas terdiri atas pendahuluan, isi pokok, dan kalimat penutup. Pendahuluan merupakan kalimat pembuka isi surat dinas, ditulis singkat dan jelas. Awal kalimat pendahuluan isi surat dinas diketik berjarak 4,5 kait di bawah dan sepias dengan nama tempat yang dituju. Isi pokok merupakan uraian dari inti surat dinas. Kalimat penutup merupakan kalimat yang mengakhiri isi surat dinas. Isi surat dinas diketik 15 ketukan dari pias kiri dan tidak melebihi 10 ketukan dari pias kanan. Kalimat isi surat dinas diketik berjarak 1,5 kait, Alinea yang satu dengan alinea yang lain berjarak 3 kait.
            Penutup surat dinas. Penutup surat dinas terdiri dari nama jabatan penanda tangan, nama pejabat penanda tangan, tanda tangan, NIP, cap dinas atau cap jabatan, dan tembusan. Nama jabatan penanda tangan diketik di bagian kanan bawah, dimulai dari pias tengah, berjarak 4,5 kait dari baris akhir isi surat, dan tidak melebihi 10 ketukan dari pias kanan. Nama jabatan penanda tangan diketik dengan huruf kapital pada setiap awal kata, kecuali kata penghubung. Nama pejabat penanda tangan diketik berjarak 6 kait di bawah dan sepias dengan nama jabatan penanda tangan dengan huruf kapital pada setiap awal kata tanpa diapit dengan tanda kurung serta tanpa garis bawah. Tanda tangan penanda tangan surat dinas dibubuhkan di antara nama jabatan dan nama pejabat. NIP diketik dengan huruf kapital, berjarak 1,5 kait dan sepias dengan nama pejabat penanda tangan, tanpa diakhiri dengan tanda titik, dan diikuti dengan nomor tanpa jarak. Cap dinas atau cap jabatan dibubuhkan dengan menyentuh bagian sisi kiri tanda tangan penanda tangan surat. Tembusan diikuti titik dua, tanpa garis bawah, diketik dengan huruf kapital pada awal kata, sepias dengan kata Yth., dan sebaris dengan nama pejabat penanda tangan surat. Pihak yang diberi tembusan diketik berjarak 1,5 kait di bawah dan sepias dengan tembusan, dan apabila yang diberi tembusan lebih dari satu didahului dengan angka Arab.

4.2       BAHASA SURAT DINAS
            Pemakaian ragam baku bahasa Indonesia dalam surat dinas mencerminkan pikiran yang cendekia dan berwibawa. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kebakuan bahasa surat dinas.
            Dalam hal pemakaian huruf, yang masih sering salah ditulis adalah perihal pemenggalan kata. (a) Bentuk dasar pada kata turunan sedapat-dapatnya tidak dipenggal. Misalnya, kata berkelanjutan dipenggal menjadi ber-kelanjutan, berke-lanjutan, atau berkelanjut-an. Kata dasar lanjut tetap dipertahankjfn utuh. (b) Akhiran -i tidak dipenggal. Misalnya, dihindari menulis menindaklanjut-i, tetapi sekiranya harus memenggal kata itu, tulislah menjadi menindak-lanjuti atau me-nindaklanjuti. (c) Nama orang, badan hukum, dan nama diri yang lain disesuaikan dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempumakan kecuali jika ada pertimbangan khusus.
            Yang sering salah dituliskan adalah pemakaian huruf kapital sebagai huruf pertama nama tahun, bulan, hari, hari raya, dan peristiwa sejarah. Misalnya: bulan Maulid, hari Galungan, hari Jumat, hari Lebaran, hari Natal, tahun Hijriah (bukan Hijrah), dan tarikh Masehi (bukan tarih atau tarich).
            Ada banyak hal dalam tata ejaan yang terlihat salah di banyak surat dinas. Dengan mengingat terbatasnya media, berikut ini kesalahan-kesalahan itu ditampilkan sebagai contoh dalam kesatuan. Hal-hal lain yang berkenaan dengan pemakaian tata ejaan, tata kalimat, dan yang lain terlihat pada contoh-contoh yang salah berikut ini. Kesalahan itu dikomentari dan diikuti pembetulannya.
(1)           Sehubungan dengan akan diadakan Pameran Forum Dan Komersialisasi Hasil Riset Dan Teknologi Industri yang akan dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 3 s/d 5 Maret 2004, bersama ini kami sampaikan 1 (satu) lembar pamflet/ poster Publikasi Pameraan Teknologi, kami motion bantuan Saudara untuk di informasikan atau di sebar luaskan melalui penempelan di instansi Saudara.

            Perhatikan pemakaian kata Dan pada contoh di atas. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua unsur nama negara, lembaga pemerintahan dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi kecuali kata seperti dan. Kata Dan di atas seharusnya tidak berhuruf kapital.
            Singkatan umum yang terdiri atas tiga huruf atau lebih diikuti satu tanda titik, misalnya dll., dsb., dst., him., sda., Yth., tetapi s/d ditulis menjadi s.d. Digunakan tanda titik, bukan tanda garis miring.
            Bilangan tidak perlu ditulis dengan angka dan huruf sekaligus dalam teks kecuali di dalam dokumen resmi seperti akta dan kuitansi. Bilangan / (satu) lembar pada contoh di atas tidak perlu diperjelas dengan huruf sekaligus karena informasi itu bukan dokumen resmi atau kuitansi.
            Pamflet artinya surat selebaran. Arti denotatif kata pamflet ini berbeda dengan poster yang artinya plakat yang dipasang di tempat umum berupa pengumuman atau iklan. Pastikan penggunaan kata yang artinya tepat. Pada contoh terlihat bahwa kata pamflet disamakan dengan poster.
            Bentukan kata turunan pada di informasikan dan di sebar luaskan pada contoh juga salah. Seharusnya gabungan kata itu ditulis serangkai karena di pada
contoh bukan kata depan, melainkan awalan. Bentukannya menjadi diinformasikan dan disebarluaskan.  
            Contoh (1) di atas berkalimat panjang, yang informasinya bertumpuk. Agar efektif, kalimat itu dapat dipecah sehingga struktur kalimatnya benar. Perhatikan penggalan kalimat ... kami mohon bantuan Saudara untuk diinformasikan atau disebarluaskan melalui penempelan di instansi Saudara. Kalimat ini berstruktur salah, bukan ? Ubahannya dapat menjadi, misalnya, ... kami mohon bantuan untuk menginformasikannya di instansi Saudara. Selain kalimat contoh di atas rancu karena terlalu panjang, juga strukturnya pun salah.
(2)           Demikian, atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.

            Kata Demikian tidak diperlukan dalam kalimat di atas. Bentukan kata turunan kerjasamanya salah, seharusnya kerja sama. Ubahan kalimat contoh (2) di atas adalah Atas perhatian dan kerja sama Saudara kami ucapkan terima kasih. Akhiran -nya pada kata kerjasamanya tidak tepat. Sebut saja Saudara, Anda, Bapak, atau Ibu dengan setiap kata itu diawali dengan huruf kapital sebagai tanda ejaan sebutan penghormat.
(3)           Kepada Yth.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Lack of happiness