Selasa, 12 Juli 2011

Contoh Analisis Sastra Bandingan


NOVEL SEUSAI PETANG KARYA M. JACOB
KAJIAN KESUSASTERAAN PASCAKOLONIAL ANALISIS SASTRA BANDINGAN


Disusun oleh :
ITSNA HADI SAPTIAWAN
(02/159046/SA/12298

SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2005
A. Latar Belakang
         Karya sastra merupakan sebuah media yang digunakan oleh pengarang dalam memberikan tanggapan terhadap lingkungannya. Oleh karena itu, karya sastra merefleksikan situasi sosial masyarakat melalui penggambaran dalam karya sastra sesuai dengan genre yang digunakan sebagai media penulisan.
         Berdasarkan hal ini, apa yang kemudian terjadi ialah munculnya berbagai wacana  tentang masyarakat yang menjadi subjek penulisan; masyarakat dilihat dari sudut pandang ekonomi, sosial, budaya serta politik yang melingkupinya. Wacana-wacana yang berkembang tersebut berupa pandangan/ideologi pengarang tentang masyarakat yang ditulisnya. Dalam novel perjuangan misalnya, banyak diperoleh kenyataan yang berbeda dengan cerita aslinya bila dilihat dari kacamata sejarah.
          Fenomena ini dapat diamati pada kesusasteraan pascakolonial. Seperti diungkapkan Suhaimi Abdul Aziz (2001: 147-163),”….Kesusasteraan pascakolonial membawa pandangan subversif terhadap penjajah dan penjajahan….”.  Sejurus dengan ini, menurut  Endraswara (2003:178) refleksi sastra yang berbau kolonial dapat berupa timbunan historis yang enak dan tidak enak, baik bagi pihak penjajah maupun masyarakat terjajah karena karya sastra yang dilahirkan oleh masing-masing pihak tentu akan melahirkan nuansa yang berbeda.
          Satu contoh yang dapat menjelaskan hal ini ialah  tulisan Sudibyo (2002: 173-185) yang membahas kisah perjalanan R. van Goens (1619-1682), seorang pegawai VOC. Tulisannya diberi judul Sang Lain Di Mata Ego Eropa: Citra Manusia Terjajah Dalam Sastra Hindia-Belanda. Disini secara jelas diungkapkan latar belakang kolonialisme di Indonesia, hingga imbas dari kolonialisme yang melahirkan sentimen rasial dan subjektifisme Eropa terhadap Hindia-Belanda.    
          Contoh lainnya yakni buku karangan Rob Nieuwenhuys yang ditulis kembali dalam bahasa Indonesia oleh Dick Hartoko dengan judul Bianglala Sastra (1985). Dalam buku ini tidak hanya terangkum pandangan-pandangan dari bangsa Belanda sebagai kontra dari Indonesia, tapi juga pandangan-pandangan dari bangsa Indonesia sendiri seperti Notosoeroto dan Suwarsih Djojopuspito. Hal pokok yang dipahami penulis dari buku ini ialah adanya empati terhadap Indonesia secara umum yang melihat Indonesia (Hindia Belanda) tidak hanya sebagai suatu negara yang merupakan koloni, tetapi juga menempatkannya sebagai negara yang elok mengingat alamnya yang indah.     
          Novel yang dibahas dalam makalah ini berjudul Seusai Petang (SP). karya M. Jacob. Penulis menganggap novel SP memiliki kemiripan dengan Bianglala Sastra dalam hal penulisan yang dilakukan oleh orang kolonial dan kandungannya yang berisi pengalaman dan pandangan tentang kehidupan masyarakat pribumi dan alam sekelilingnya. Kemiripan yang lain terungkap dalam bentuk simpati pengarang terhadap kehidupan masyarakat sekitar perkebunan karet.
          Kembali pada masalah pascakolonialisme. Menurut Endraswara (2003:178), kajian kesusasteraan pascakolonial tidak dapat dilepaskan dari aspek-aspek kolonial, yaitu  “penjajah” dan “terjajah”. Kedua kata ini diberi tanda petik karena dianggap memiliki implementasi yang sangat luas seperti penjajahan tidak hanya menyangkut bidang politik, tetapi juga merembes ke bidang-bidang lain yakni sosial dan budaya. Penjajah datang membawa budaya, pemikiran, dan pemahaman mereka tentang masyarakat jajahan yang kerap bersifat etnosentris atau yang kemudian lebih dikenal sebagai orientalisme (Aziz, 2001:149). Masyarakat penjajah memandang diri mereka sebagai bangsa dan negara yang memiliki pemikiran dan nilai budaya yang lebih unggul bila dibandingkan dengan masyarakat terjajah.
          Tema inilah yang ingin dikaji penulis dari novel Seusai Petang (SP). Untuk diketahui, pengarang merupakan warga Belanda yang menulis novel tentang Indonesia dengan setting zaman kolonial dan pascakolonialisme Belanda. Satu karya lainnya yang dapat terlacak berjudul Pemberontakan, Bukan Perang  yang menceritakan perang batin seorang serdadu Belanda yang melihat  kenyataan yang berbeda dari apa yang diceritakan para pemimpinnya di kemiliteran tentang masyarakat dan pejuang Indonesia. Novel SP sendiri menceritakan pengalaman seorang pegawai Belanda di di sebuah perkebunan karet yang penuh dengan konflik, bukan saja  antara para pegawai perkebunan, tapi juga antara para pekerja.
          Hal yang menarik dalam novel ini ialah isinya yang sesuai dengan tujuan penulisan makalah. Dalam novel digambarkan, meskipun terkadang secara tidak langsung, pandangan-pandangan tentang masyarakat pekerja perkebunan karet. Dalam hal inilah maka berlaku pandangan orientalisme/etnosentrisme  dalam novel berupa pelukisan karakter pegawai Belanda yang selalu memandang rendah kepada masyarakat  lokal, sementara yang lain menanggapi hal tersebut secara berbeda.            


B. Rumusan Masalah
          Penelitian ini memfokuskan perhatian pada hubungan antara tema, latar dan penokohan, serta dialog-dialog yang terjadi dalam novel Seusai Petang dengan pandangan tentang Indonesia dari Kajian Pascakolonial dan orientalisme. Bagaimanakah masyarakat Indonesia digambarkan dalam novel? apakah citra yang digambarkan dapat diterima secara logika? apakah pengarang dapat dianggap proporsional dalam memberikan pandangannya? Hal-hal inilah yang oleh penulis ingin diungkap berdasarkan analisis terhadap novel.

C. Landasan Teori          
          Dalam mengkaji hubungan antara karya sastra dan realitas sosial dalam konsep pengaruh maka studi sastra bandingan mutlak dibutuhkan. Wellek dan Warren (1989: 47-51) membagi konsep sastra bandingan menjadi tiga bagian. Pertama, istilah ini digunakan dalam studi sastra lisan terutama cerita-cerita rakyat dan migrasinya, serta waktu dan cara masuknya cerita-cerita rakyat dalam penulisan sastra yang lebih artistik. Kedua, istilah sastra bandingan mencakup studi antara dua kesusasteraan atau lebih. Wellek dan Warren merujuk pada studi yang dilakukan oleh para ilmuwan Prancis. Ketiga, istilah sastra bandingan disamakan dengan studi sastra menyeluruh. Di antara dua konsep sebelumnya, konsep terakhir  yang paling banyak menimbulkan polemik karena tidak adanya kejelasan batasan antara sastra dunia,sastra umum, atau sastra universal. Pada dasarnya menurut Wellek dan Warren (1989:51), perdebatan mengenai sastra bandingan,sastra umum, atau sastra saja timbul akibat konsep yang salah mengenai sastra nasional. Oleh karena itu, Wellek dan Warren menurut Ridoean (1986:118) kemungkinan ingin menegaskan batas dan pemakaian istilah tersebut. Kapan sastra bandingan, sastra dunia dan sastra nasional dipakai sebagai suatu istilah dan kapan ketiga istilah ini digunakan sebagai suatu studi.
                    Hal-hal penting yang harus dipahami sebelum melangkah jauh ke arah analisis dalam kajian sastra bandingan adalah konsep pengaruh, penetrasi, reputasi, dan popularitas (Ridoean,1986: 113-115). Ridoean menjelaskan pengaruh sebagai pengaruh seseorang pengarang atau pengaruh karya sastra dari suatu negara atau daerah, di daerah yang berbeda. Berdasarkan konsep pengaruh inilah maka dikenal dua aliran dalam kajian sastra bandingan yakni aliran Prancis dan aliran Amerika. Aliran Prancis bertolak dari pengertian sastra bandingan sebagai suatu studi yang membandingkan dua karya sastra atau lebih dengan penekanan pada aspek sastra.. berbeda dengan aliran Prancis, aliran Amerika memiliki kajian yang lebih luas yang tidak terbatas pada perbandingan antara dua karya sastra atau lebih, tapi sampai pada perbandingan antara karya sastra dengan displin-disiplin lainnya seperti filasafat, sejarah, ilmu sosial dan lain-lain.                  
          Kajian kesusateraan pascakolonial dapat dimasukkan dalam aliran Amerika karena mengkaji hubungan antara karya sastra dengan segi historis yang melatarbelakanginya. Menurut Endraswara (2003:176-177), kajian ini bermula dari apa yang dicetuskan oleh Bill Aschroft dkk. yang memperkenalkan pemahaman model  national dan black writing. Model national memusatkan perhatian pada hubungan antara negara dan bekas jajahannya dengan penekanan pada konsep pengaruh lingkungan ke sastra, pengaruh politik ke sastra, dan lain-lain. Model black writing, lebih menitikberatkan pada aspek refleksi etnisitas dalam ke dalam sastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Lack of happiness