Selasa, 28 Juni 2011

Prefacing The (Dead) End

Quote #1
Dunia bukan lagi rumahku
Sebab langit berubah mendung
Sebab api menjelma abu
Sebab senyummu tidak semanis dulu.

Quote #2
Sejak Adam, bumi adalah sebuah kompor dan wajan penggorengan. Yang diatasnya manusia adalah ikan-ikan teri yang menggelepar.

Quote #3
Kita digilas dari atas dan bawah. Sebuah tragedi yang justru menambah kegilaan penghuninya. Matahari memanas membakar, dan di bawah sana, kolam-kolam bergolak mendidih. Terikat oleh cangkang telur yang akhir-akhir ini mulai mengelupas dan membuka.

Quote #4
Hutan-hutan selayaknya diolesi obat penumbuh rambut. Sebab rontoknya bukan hanya karena bakteri atau ketombe, tapi karena ia disisir terlalu keras.

Quote #5
Tambang-tambang hanya menambah pori dan flek pada wajah bumi, yang membuatnya semakin kusam dan berkeringat lebih banyak dari biasanya.

Quote #6
Kita telah ditembaki meteor sejak sekian lama. Namun yang harus diketahui, amunisinya masih peluru karet. Dan saat senapan dengan peluru metal telah dikokang, bumi tidak akan pernah bisa mengingat wajahnya. Tidak sama sekali.

BAYI, IBU, DAN SEORANG PEMABUK

Telah larut saat seorang bayi berceloteh tiada henti. Ia telah puas menyusu. Sementara itu, perempuan muda di sampingnya telah terpejam, meski bola matanya masih bergerak-gerak menandakan ia belum tidur. Itu ibunya. Dan perempuan ini tampak menguap. Sekali kepalanya menoleh ke kiri, tersenyum, kemudian terpejam lagi. Namun hanya sebentar saja. Karena setelah itu terdengar rengek si bayi.
Tidak lama berselang, seorang pemabuk membuka pintu. Bau alkohol dan keringat sontak memenuhi ruangan. Dengan terhuyung ia menghampiri sang ibu dan mulai mendekapnya.
30 menit berlalu. Si pemabuk terlentang di bawah ranjang. Bunyi dengkurnya yang keras mendesis seperti ular. Mulutnya menganga, berdecak, lelap dengan sangatnya.
Di atas ranjang, si ibu mulai merapikan bajunya, menggulung rambutnya yang kusut, sambil mengeringkan sisa keringat dengan ujung selimut. Wajahnya pucat pasi. Sebelumnya ia telah terdiam sejenak menatap ke langit-langit. Merasakan bulir-bulir hangat menetes dari matanya.
Ia telah seringkali menangis, beberapa diantaranya bahkan disertai memar pada wajah atau bagian tubuhnya. Dan ini adalah yang kesekian kali. Ia melongo. Ditatapnya bayi yang tertidur pulas di sebelah kirinya, lalu tatapannya berpindah pada laki-laki yang mendengkur di bawah ranjang.
Ia ingin menjerit dan meronta, namun tertahan wajah polos di sebelah kirinya. Pikirannya menerawang, ia seolah ingin berkata, "Bayi ini, daging kecil ini, meminta dunia dengan celoteh dan rengekan ingin susu. Ia menyusu karena naluri. Sementara laki-laki ini, pemabuk ini, meminta dunia dengan teriakan dan paksaan ingin susu. Ia menyusu karena birahi. Benarkah ia suamiku?"

SMS JENAKA

Pernah ga nerima sms kayak gini:
#1
Kepalkan jemarimu,


Angkat kelingking kananmu,


Pejamkan matamu,



Senyum,


Dan
Berjanjilah!!



Ga akan ngompol malam ini!
Hihi..

Atau seperti ini:
#2
Tmn2, XL skg bs TELPON GRATIS ke SEMUA OPERATOR. Caranya:Ketik NO TUJUAN tmbh kn 123 Truz d'blakangx Lampirkn SURAT KETERANGAN MISKIN dr desa/kelurahan.
He.he

Atau yang ini:
#3
Tringt mmory dMs itu..

Kau brdri dUjng jln..

Kau trsnym trsipu mlu..

Smbil mlmpar snym mnismu kau ulurkn tnganmu..

Smbil brkta..

SEDEKAH pak..
SEDEKAH bu..

Hahaha, para penulis awal sms ini harus diakui kreatif, konyol, kocak. Berbagi kelucuan dengan teman yang lain, menjadi media penghibur yang tepat setidaknya selama berhari-hari kalau tiba-tiba teringat dengan bunyinya. Dan jangan salah, saat sepi sms macam ini bisa bikin masam mesem atau ketawa ketiwi sendiri.
Nah, SMS telah lama jadi media yang ga sekedar untuk berbagi info saja, tapi juga pengembangan diri. Jika mengacu pada seni dagelan dalam konteksnya yang umum, sms bisa dikategorikan sebagai media paling provokatif karena 'traffic info' -nya yang gampang diakses, link/network pengguna berlimpah, dan unsur timbal baliknya lebih cepat dan efisien ketimbang nonton lawak di TV, chat di internet, atau interaksi lewat social network semacam Facebook, Twitter, Bebo, Myspace, dan sebagainya.

SMS Jenaka menurut 'isinya' bisa dibedakan menjadi:
1. Narsisme, isinya cuma nyanjung-nyanjung diri sendiri. Tapi dibuat kocak dengan utak atik bahasa yang bila perlu dibuat secampur aduk mungkin.
Contoh:
lagu apa yang paling imut?
La gue lah trs sp lg?
...

2. Ironi, sanjungn namun maksud sebenarnya mengejek.
Contoh:
Syg, km lki2 gnteng plg brbulu yg prnh ak knal. Ah, brsmamu ak mrsa slu piknik k Ragunan. Wkwkwk.

3. SARA, isinya sindiran tajam terhadap kelompok tertentu. Biasanya hanya dikirimkan kepada anggota/teman sesama kelompok sebagai bahan olok-olok. Contoh tidak akan ditampilkan.

4. Testimoni, isinya bukan testi yang umumnya dikenal. Lebih dekat kepada unsur obituaries yang berisi penilaian terhadap tokoh yang telah meninggal, tentu saja, dengan gaya kocak.
Contoh:
Mama Lauren vs Mama Lemon
Mbah Surip vs Bngun lagi tdur lg dr kbur
Meggy Z vs Teganya Teganya

5. Teka-teki (Puzzle)
Contoh:
knp kucing klo nybrang rel msti lompat hayo?
Sbb klo muter kjauhn.. Haghaghag

6. Konten Pornografi/Pornoaksi, biasanya memuat kata-kata atau gambar yang menjurus ke arah pornografi atau pornoaksi namun dalam bentuk yang jenaka.
Contoh:
9 Keistimewaan susu asli
Cacing, Seks, Alkohol, dan Otak Manusia

Faidahnya, penulisan sms jenaka ini bisa dianggap sebagai ladang pembantaian untuk jenuh atau stres. Adalah sebuah pilihan bagi anda untuk menentukan jenis sms mana yang hendak digunakan. Tentunya, dengan tidak merugikan orang lain.

TEKA-TEKI KEMATIAN

"... Dan aku merasa sangat mengantuk dan tidur lama sekali, karena orang muda agaknya butuh tidur lebih lama daripada orang tua, yang sudah tidur begitu banyak dan mulai menyiapkan diri untuk tidur selamanya." (Adso dalam The Name of The Rose, Umberto Eco)

SEKOLAH ITU PENTING

Aku terjaga oleh riuh rendah sekumpulan bocah di samping tembok kamarku. Samar-samar kupingku mendengar tingkah dan celoteh di antara mereka.
"Weekkk, tapi bapakku punya mobil. Aku sering diajak jalan-jalan." seru Noval, bocah yang berambut keriting.
"Lebih kaya aku. Aku punya rumah di mana-mana." tukas Mezi menimpali.
"Puih, itu rumah kakek nenekmu. Bukan rumahmu."
"Rumahku, aku sering tidur bersama mereka."
"Tapi tetap saja bukan rumahmu."
"Rumahku."
"Bukan."
"Woi, kalian berdua diam. Akulah yang paling kaya disini." kali ini giliran Reno yang berbicara.
"Bapakku ke Malesia, ibuku ke Saodi. Mereka akan buatkan aku rumah yang besaaar dikelilingi oleh sungai yang airnya sangat jernih." ujarnya mantap.
"Tetap aku yang paling kaya." seru Noval.
"Aku" giliran Mezi.
"Aku sih." jawab Reno dengan sengit.
Dan mereka terus saling menyombongkan keunggulan masing-masing. Mulai dari kekayaan terbanyak, baju terbagus, mobil-mobilan termahal, dan kembali lagi pada kekayaan terbanyak.
"Huh, kalian semua banyak omong." Kali ini Aldi yang sedari tadi terdiam, angkat bicara. "Katanya kaya, tapi tidak ada yang sekolah sepertiku. Bodo kalian semua." Lalu ia tertawa sekeras-kerasnya.
Hehe, aku tersenyum mendengar ucapannya. Ya, ia telah memberiku satu pencerahan pagi ini.

Tidak Paham Aku Yang Kutuliskan II

Jadi, seperti yang telah dijanjikan maka ia datang dengan warna-warna. Kelopak yang mekar menggantung. Pada sebuah taman yang landai, yang menyerahkan dunia pada rumput, air, dan kupu-kupu.
Seperti yang telah dijanjikan, ia datang bertudung sutra. Menyanyi dan menari di sepanjang kelok pancuran. Pada sebuah taman yang landai, yang menyerahkan dunia pada rumput, air, dan kupu-kupu.
Seperti yang telah dijanjikan, senyum berbenih di kuncup-kuncup tanah. Berbatang menjulang tinggi. Tegak dengan tepuk hangat pada pundak laki-laki yang menunggu. Pada sebuah taman yang landai, yang menyerahkan dunia pada rumput, air, dan kupu-kupu.

POSSESIF

Dik, bintik apa yang mengembun di keningmu?
Menetes pelan, mengalir di sepanjang urat rambut.
Acak-acakan, membuatmu terlihat seperti habis dijambak.

Dik, tissue apa yang kau pakai mengusap lipstikmu?
Bibirmu tak lagi ranum, sedikit belepotan di sela-selanya.
Terlihat agak memar, seperti habis dikulum atau digigit.

Dik, apa kau memakai parfum merek baru?
Baunya tajam menusuk hidung, sedikit tercium aroma cendana.
Melulur rata di sekujur tubuhmu, seolah ditumpah dan dioles-oles.

Dik, kenapa kau tidur tak menutup pintu?
Kulihat banyak puntung di meja, seperti dihisap entah oleh siapa.
Rokoknya Philip-Morris, ada bekas lipstik di salah satu puntungnya.

Dik, mengapa tak kau jawab aku?
Kau menatapku seolah hantu, menyerupakan dengan mahluk penunggu kubur.
Menganggapku bertaring, membuatku merasa seolah vampir.

Dik, apa katamu?
Suamimu ada di belakangku?

Jumat, 24 Juni 2011

AIR LIUR RADEN

Aku sedang berlari kecil menuju lapangan sepakbola di selatan MAN Wanasaba saat seorang kawan menghentikanku. Genggamannya teguh di lenganku, menandakan adanya urusan penting yang hendak ia sampaikan. Namanya Khaerul, usianya empat tahun lebih tua dariku. Anaknya yang masih kecil meringkuk dalam gendongan. Tampaknya si anak sakit, karena sesekali merengek dan menyembunyikan kepala di dada bapaknya.
Khaerul tersenyum, kemudian berpaling ke arahku. "Mau kemana, main bola?" ujarnya berbasa-basi. "Ya, ini mau ke lapangan. Sepertinya ada 'tamu' dari Ambengan. Ada perlu apa sampai mencegat di jalan begini?"
"Ini aku mau minta tolong." Perlahan genggamannya mengendur. "Dari tadi aku mengamati orang-orang yang lewat, tapi tidak satupun yang bisa membantu."
"Oya, memang ada keperluan apa?" tanyaku menyelidik. Ia menggumam, lantas menunjuk ke arah anaknya.
"Anakku sakit, sudah dua hari ini susah makan. Setelah kuperiksa ternyata ada benjolan dalam mulutnya. Oleh karenanya, aku menghentikanmu tadi. Aku hendak minta bantuan," tukasnya mantap.
"Oo, anakmu ini sakit. Cup cup cup, kasihannya. Sudah kamu bawa ke mantri?"
Ia sejenak menatap penuh keraguan, sepertinya menimbang-nimbang ucapan selanjutnya. "Anak ini tidak perlu ke mantri. Karena itu aku tadi menghentikanmu. Aku minta tolong kau yang mengobatinya," katanya penuh keyakinan. Mendengar permintaan tersebut aku hendak tertawa, namun lantas kutahan karena raut wajahnya menggambarkan ia serius dengan kalimat yang baru saja ia ucapkan.
"Maksudmu?", kali ini kutanya ia penuh penekanan.
"Jadi kamu belum mengerti, ya? Kamu 'kan keturunan raden. Biarpun ayahmu keturunan amak tapi dari garis ibu kamu masih cucu Raden Ayum."
"Ya, lantas?" tanyaku penasaran.
"Nah, kata orang-orang tua, sakit mulut pada bayi atau anak kecil itu bisa diobati dengan cara mengoleskan air liur seorang keturunan raden ke bagian yang sakit. Katanya pasti sembuh." tegasnya. "Jadi, kau bisa menolongku bukan?"
Mendengar permintaannya aku tertegun, mata laki-laki yang sedang berbicara denganku ini memancarkan iba. Untuk sejenak kubiarkan diriku memahami maksudnya.
Kuatur sikapku, dan dengan tersenyum aku berkata padanya, "Maafkan aku, Rul. Kamu tahu lah aku tidak paham dengan hal-hal semacam itu. Ini tidak ada kaitannya dengan aku keturunan raden atau bukan. Tapi aku benar-benar tidak paham. Jadi, saranku bawalah anakmu ini ke Puskesmas. Pak mantri pasti tahu obat yang tepat. Ok?" kataku sambil mengelus-elus rambut anaknya.
"Masak sih kamu tidak bisa? Ayolah, bantu aku. Kamu tinggal mencelup jari yang telah diolesi ludahmu pada benjolan di mulut anakku. Mudah bukan?"
"Rul, Rul, Rul. Dengar! Aku ingin membantumu. Tapi aku tidak yakin dengan cara yang kau minta. Bagaimana anakmu bisa sembuh kalau aku saja tidak yakin, bukan?
Mendengar ucapanku, Khaerul mendesah. Ia tampak kecewa dengan jawaban tersebut. "Baiklah, tadi kupikir kamu paham. Sudahlah tidak apa-apa, mungkin nanti Mamik Da'is bisa membantuku sepulang beliau dari ladang."
"Ya sudah. Maafkan aku Rul." ujarku sembari beranjak pergi dengan berbagai tanda tanya yang masih menggelayut.
* * *
Air liur 'raden'. Ya, peristiwa itu masih membekas di benakku. Meski telah berlalu hampir delapan bulan, sedikitpun dari rinciannya tidak ada yang kulupakan.
Masih teringat jelas bagaimana seorang laki-laki sederhana terlihat berdiri mematung di pinggir jalan. Dari kain yang menggembung di perutnya aku tahu ia sedang menggendong anaknya. Aku tahu itu. Hanya saja, yang tidak kuketahui dan tidak kupahami kemudian adalah bagaimana ia menghentikanku dan mulai mengoceh tentang 'obat mujarab' tersebut.
Sore itu kuhabiskan dengan bermain sepakbola hingga menjelang azan magrib. Namun, hendak kukatakan bahwa aku tidak menikmati permainannya. Meskipun timku menang besar dengan skor 6-2, namun tetap saja ada ganjalan dalam hatiku.
* * *
Waktu telah menunjuk pada pukul 23.00 Wita saat tidak ada lagi sms atau telepon yang harus kubalas. Dan pada saat ini, kurenungkan kembali hal menyita ketenanganku sepanjang malam.
Khaerul dan anaknya telah membuatku menyadari keberadaan satu lagi kearifan lokal di daerahku. Di sebuah dusun yang terpencil, dengan penduduk yang dirongrong oleh gaya sinetron dan infotainment, terperangkap sebuah pemikiran sederhana: darah biru bisa menjadi penyelamat bagimu.
Aku ingin menganggap peristiwa bersama Khaerul sebagai suatu kejadian biasa, maka aku lantas mendiamkannya. Namun hanya sebentar saja bisa kutahan, selanjutnya darahku bergejolak memprotes tindakanku.
Sekali lagi, frasa itu terbayang. Air liur 'raden'. Tiba-tiba aku merasa mual. Aku ingin memuntahkan semua ludah yang ada di mulut dan kerongkonganku. Aku ingin menggosoknya keras-keras, membuatnya kering dan berdarah agar Khaerul bisa melihatnya berwarna merah. Aku ingin ia memasukkan jari-jarinya ke mulutku, lantas mencium bahwa baunya sama dengan bau apak tembakau yang ia hisap.
Aku sungguh marah pada diriku sendiri yang merasa terpelajar, namun nyatanya mengacuhkan rincian sederhana dari pola hidup masyarakat yang aku tinggali.
Feodalisme, istilah yang kuperoleh di bangku kuliah. Pada dasarnya aku membencinya, tidak hanya karena ia selalu berlandaskan mitologi dan teror, namun juga karena ia meletakkan manusia dalam kotak-kotak yang berbeda. Dan aku makin membencinya sekarang, karena leluhurku adalah pihak yang melestarikannya dengan topeng "kearifan lokal."
Pikiranku berkecamuk seputar pencipta mitos air liur raden ini. Sejenak terbayang para kaum raden bertitah bahwa mereka adalah kasta tertinggi, karenanya air ludahnya pun setara dengan madu yang bisa menjadi obat untuk para sudra, kaum jelata. Kemudian kubayangkan pula sekumpulan jelata yang terpukau oleh kesaktian seorang raden yang mampu mengobati anak kecil yang sedang sakit hanya dengan olesan air ludahnya. Maka berita kesaktian sang raden pun tersebar. Sejak saat itu, entah siapa yang memulai, kemudian diproklamirkan bahwa air liur seorang raden atau keturunannya adalah obat yang mujarab.
Kepalaku berdesingan oleh gambar-gambar yang kureka. Kebencianku membuncah namun agaknya selalu menghujam kembali ke jantungku. Aku menyerang, mengoyak-ngoyak sebuah ide, tindakan yang justru memukulku telak karena aku bagian dari pencipta ide tersebut.
Ingatanku beralih pada konsep 'local genius', setiap budaya memiliki praktik tradisional yang unik dan dilestarikan. Konsep 'kearifan lokal' ini bertujuan agar berbagai kegiatan, ritual, atau tradisi setempat tidak punah. Konsep ini kemudian menyarankan pada aspek pariwisata yang diproyeksi bisa menjadi katalis munculnya perlindungan terorganisir dari masyarakat dan pemerintah terhadap cagar budaya tersebut.
Yang kupermasalahkan kemudian, konsep kearifan lokal banyak bertentangan dengan konsep kesetaraan manusia. Aku tidak tersinggung dengan aturan yang melarang bersiul di malam hari, atau anjuran makan dengan wadah baskom bagi perempuan yang hamil tua. Yang justru membuatku sangat tersinggung dan marah adalah ketika manusia dikastakan berdasarkan keturunan dan hartanya.
Aku lebih lama membuka diri untuk pandangan yang menganggap kecerdasan spiritual, emosional, dan intelektual sebagai penentu kasta seseorang. Dan pada kenyataannya, justru pengkastaan seperti ini mendorong pada usaha untuk memperbaiki diri dengan ilmu-ilmu atau pengetahuan-pengetahuan baru.
* * *
Ah, tiba-tiba aku teringat pada Khaerul dan anaknya. Mungkin si anak telah sembuh seusai diludahi oleh Mamik Da'is.
Hm, sekarang telah 2001, dan aku tersenyum miris.

Mengenai Saya

Foto saya
Lack of happiness