Jumat, 24 Juni 2011

AIR LIUR RADEN

Aku sedang berlari kecil menuju lapangan sepakbola di selatan MAN Wanasaba saat seorang kawan menghentikanku. Genggamannya teguh di lenganku, menandakan adanya urusan penting yang hendak ia sampaikan. Namanya Khaerul, usianya empat tahun lebih tua dariku. Anaknya yang masih kecil meringkuk dalam gendongan. Tampaknya si anak sakit, karena sesekali merengek dan menyembunyikan kepala di dada bapaknya.
Khaerul tersenyum, kemudian berpaling ke arahku. "Mau kemana, main bola?" ujarnya berbasa-basi. "Ya, ini mau ke lapangan. Sepertinya ada 'tamu' dari Ambengan. Ada perlu apa sampai mencegat di jalan begini?"
"Ini aku mau minta tolong." Perlahan genggamannya mengendur. "Dari tadi aku mengamati orang-orang yang lewat, tapi tidak satupun yang bisa membantu."
"Oya, memang ada keperluan apa?" tanyaku menyelidik. Ia menggumam, lantas menunjuk ke arah anaknya.
"Anakku sakit, sudah dua hari ini susah makan. Setelah kuperiksa ternyata ada benjolan dalam mulutnya. Oleh karenanya, aku menghentikanmu tadi. Aku hendak minta bantuan," tukasnya mantap.
"Oo, anakmu ini sakit. Cup cup cup, kasihannya. Sudah kamu bawa ke mantri?"
Ia sejenak menatap penuh keraguan, sepertinya menimbang-nimbang ucapan selanjutnya. "Anak ini tidak perlu ke mantri. Karena itu aku tadi menghentikanmu. Aku minta tolong kau yang mengobatinya," katanya penuh keyakinan. Mendengar permintaan tersebut aku hendak tertawa, namun lantas kutahan karena raut wajahnya menggambarkan ia serius dengan kalimat yang baru saja ia ucapkan.
"Maksudmu?", kali ini kutanya ia penuh penekanan.
"Jadi kamu belum mengerti, ya? Kamu 'kan keturunan raden. Biarpun ayahmu keturunan amak tapi dari garis ibu kamu masih cucu Raden Ayum."
"Ya, lantas?" tanyaku penasaran.
"Nah, kata orang-orang tua, sakit mulut pada bayi atau anak kecil itu bisa diobati dengan cara mengoleskan air liur seorang keturunan raden ke bagian yang sakit. Katanya pasti sembuh." tegasnya. "Jadi, kau bisa menolongku bukan?"
Mendengar permintaannya aku tertegun, mata laki-laki yang sedang berbicara denganku ini memancarkan iba. Untuk sejenak kubiarkan diriku memahami maksudnya.
Kuatur sikapku, dan dengan tersenyum aku berkata padanya, "Maafkan aku, Rul. Kamu tahu lah aku tidak paham dengan hal-hal semacam itu. Ini tidak ada kaitannya dengan aku keturunan raden atau bukan. Tapi aku benar-benar tidak paham. Jadi, saranku bawalah anakmu ini ke Puskesmas. Pak mantri pasti tahu obat yang tepat. Ok?" kataku sambil mengelus-elus rambut anaknya.
"Masak sih kamu tidak bisa? Ayolah, bantu aku. Kamu tinggal mencelup jari yang telah diolesi ludahmu pada benjolan di mulut anakku. Mudah bukan?"
"Rul, Rul, Rul. Dengar! Aku ingin membantumu. Tapi aku tidak yakin dengan cara yang kau minta. Bagaimana anakmu bisa sembuh kalau aku saja tidak yakin, bukan?
Mendengar ucapanku, Khaerul mendesah. Ia tampak kecewa dengan jawaban tersebut. "Baiklah, tadi kupikir kamu paham. Sudahlah tidak apa-apa, mungkin nanti Mamik Da'is bisa membantuku sepulang beliau dari ladang."
"Ya sudah. Maafkan aku Rul." ujarku sembari beranjak pergi dengan berbagai tanda tanya yang masih menggelayut.
* * *
Air liur 'raden'. Ya, peristiwa itu masih membekas di benakku. Meski telah berlalu hampir delapan bulan, sedikitpun dari rinciannya tidak ada yang kulupakan.
Masih teringat jelas bagaimana seorang laki-laki sederhana terlihat berdiri mematung di pinggir jalan. Dari kain yang menggembung di perutnya aku tahu ia sedang menggendong anaknya. Aku tahu itu. Hanya saja, yang tidak kuketahui dan tidak kupahami kemudian adalah bagaimana ia menghentikanku dan mulai mengoceh tentang 'obat mujarab' tersebut.
Sore itu kuhabiskan dengan bermain sepakbola hingga menjelang azan magrib. Namun, hendak kukatakan bahwa aku tidak menikmati permainannya. Meskipun timku menang besar dengan skor 6-2, namun tetap saja ada ganjalan dalam hatiku.
* * *
Waktu telah menunjuk pada pukul 23.00 Wita saat tidak ada lagi sms atau telepon yang harus kubalas. Dan pada saat ini, kurenungkan kembali hal menyita ketenanganku sepanjang malam.
Khaerul dan anaknya telah membuatku menyadari keberadaan satu lagi kearifan lokal di daerahku. Di sebuah dusun yang terpencil, dengan penduduk yang dirongrong oleh gaya sinetron dan infotainment, terperangkap sebuah pemikiran sederhana: darah biru bisa menjadi penyelamat bagimu.
Aku ingin menganggap peristiwa bersama Khaerul sebagai suatu kejadian biasa, maka aku lantas mendiamkannya. Namun hanya sebentar saja bisa kutahan, selanjutnya darahku bergejolak memprotes tindakanku.
Sekali lagi, frasa itu terbayang. Air liur 'raden'. Tiba-tiba aku merasa mual. Aku ingin memuntahkan semua ludah yang ada di mulut dan kerongkonganku. Aku ingin menggosoknya keras-keras, membuatnya kering dan berdarah agar Khaerul bisa melihatnya berwarna merah. Aku ingin ia memasukkan jari-jarinya ke mulutku, lantas mencium bahwa baunya sama dengan bau apak tembakau yang ia hisap.
Aku sungguh marah pada diriku sendiri yang merasa terpelajar, namun nyatanya mengacuhkan rincian sederhana dari pola hidup masyarakat yang aku tinggali.
Feodalisme, istilah yang kuperoleh di bangku kuliah. Pada dasarnya aku membencinya, tidak hanya karena ia selalu berlandaskan mitologi dan teror, namun juga karena ia meletakkan manusia dalam kotak-kotak yang berbeda. Dan aku makin membencinya sekarang, karena leluhurku adalah pihak yang melestarikannya dengan topeng "kearifan lokal."
Pikiranku berkecamuk seputar pencipta mitos air liur raden ini. Sejenak terbayang para kaum raden bertitah bahwa mereka adalah kasta tertinggi, karenanya air ludahnya pun setara dengan madu yang bisa menjadi obat untuk para sudra, kaum jelata. Kemudian kubayangkan pula sekumpulan jelata yang terpukau oleh kesaktian seorang raden yang mampu mengobati anak kecil yang sedang sakit hanya dengan olesan air ludahnya. Maka berita kesaktian sang raden pun tersebar. Sejak saat itu, entah siapa yang memulai, kemudian diproklamirkan bahwa air liur seorang raden atau keturunannya adalah obat yang mujarab.
Kepalaku berdesingan oleh gambar-gambar yang kureka. Kebencianku membuncah namun agaknya selalu menghujam kembali ke jantungku. Aku menyerang, mengoyak-ngoyak sebuah ide, tindakan yang justru memukulku telak karena aku bagian dari pencipta ide tersebut.
Ingatanku beralih pada konsep 'local genius', setiap budaya memiliki praktik tradisional yang unik dan dilestarikan. Konsep 'kearifan lokal' ini bertujuan agar berbagai kegiatan, ritual, atau tradisi setempat tidak punah. Konsep ini kemudian menyarankan pada aspek pariwisata yang diproyeksi bisa menjadi katalis munculnya perlindungan terorganisir dari masyarakat dan pemerintah terhadap cagar budaya tersebut.
Yang kupermasalahkan kemudian, konsep kearifan lokal banyak bertentangan dengan konsep kesetaraan manusia. Aku tidak tersinggung dengan aturan yang melarang bersiul di malam hari, atau anjuran makan dengan wadah baskom bagi perempuan yang hamil tua. Yang justru membuatku sangat tersinggung dan marah adalah ketika manusia dikastakan berdasarkan keturunan dan hartanya.
Aku lebih lama membuka diri untuk pandangan yang menganggap kecerdasan spiritual, emosional, dan intelektual sebagai penentu kasta seseorang. Dan pada kenyataannya, justru pengkastaan seperti ini mendorong pada usaha untuk memperbaiki diri dengan ilmu-ilmu atau pengetahuan-pengetahuan baru.
* * *
Ah, tiba-tiba aku teringat pada Khaerul dan anaknya. Mungkin si anak telah sembuh seusai diludahi oleh Mamik Da'is.
Hm, sekarang telah 2001, dan aku tersenyum miris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Lack of happiness